10.Berbahayakah?

914 Kata
“No! Mak Jum toloong!” pekik Wahda ketakutan. “Diam!” bentak Kenrich ganti. “Enggak! Gue nggak mau!” “Ada apa ini, Den?” Jum datang tergopoh-gopoh, membuat Wahda sedikit tenang. Cepat-cepat wanita itu berjalan kesulitan menuju belakang tubuh Jum. “Mak, urus dia. Didik dan disiplinkan dia! Satu lagi. Jangan sampai dia kabur dari sini.” Kenrich segera pergi ke kamar setelah mengatakan itu. “Mak, saya takut. Dia mau melec*hkan saya.” Jum justru terpingkal-pingkal. “Aden cuma nggertak saja itu, Nya. Ya sudah, saya antar ke kamar.” “Katanya Mak mau menjelaskan semua.” “Nanti saya akan ke kamar Nyonya setelah membersihkan semuanya.” Wahda hanya mengangguk ragu. Ia lalu dibantu Jum masuk kamar dan segera mengunci dari dalam. Takut kalau Kenrich masuk seenaknya. Kamar yang ditempati Wahda berukuran sedang. Ada ranjang, lemari pakaian, jendela berteralis besi, dan meja rias. Juga ada beberapa kaligrafi yang tertempel di dinding. Masih ada sedikit tempat untuk salat. Sementara kamar mandi ada di luar. Kamar ini, tidak jauh beda dari kamarnya di rumah. Rumah. Wahda mendadak sendu kala mengingat satu kata itu. Keluarganya pasti tidak peduli dengan keberadaannya. Dirinya kini sedang dalam masalah, keluarga tidak ada yang tahu. Ia juga tidak ingin keluarganya tahu. Wahda berjalan tertatih dengan kruknya menuju ranjang dan duduk di sana. Ia sudah melaksanakan empat rakaat wajib tadi. Kini,hanya tinggal istirahat. Gagalnya pertunangan sekaligus bertemu dengan Kenrich adalah musibah besar. Hidup yang awalnya baik-baik saja, mendadak naik curam dalam beberapa hari ini. Terlebih sekarang ia berada dalam sangkar yang dibuat oleh Kenrich. Siapa pria itu sebenarnya? Asal usulnya? Orang baik atau jahat? Semua akan ditanyakan pada Jum nanti. Setidaknya Wahda sedikit bersyukur. Di saat sakit seperti ini, ada Jum yang akan merawatnya. Wanita paruh baya itu sepertinya orang baik. Beberapa saat menunggu dengan duduk di ranjang, terdengar ketukan dari luar disertai gagang pintu yang naik turun. “Ini saya Jum, Nyonya!” Suara dari luar terdengar. “Iya bentar, Mak!” Dengan pelan, Wahda berjalan dan membukakan pintu. “Saya bawakan obat sekalian air minum untuk Nyonya.” Wahda mengangguk seraya tersenyum, mempersilakan Jum masuk. Pintu pun kembali ditutup dan dikunci. Ia lalu kembali ke ranjang dan duduk di sana. Jum membuka plastik bertuliskan rumah sakit yang berisi obat. Ada beberapa bungkus. Ada obat polosan tanpa merek, ada juga yang tablet dengan nama jelas. ia mengambil satu obat pada tiap plastiknya. Lantas duduk di depan Wahda, memberikan obat itu. “Diminum dulu obatnya, Nyonya.” “Ini obat asli dari rumah sakit, kan, Mak?” “Lah iya tho.” “Bukan apa-apa, saya takut sudah diganti racun sama Ken gila itu.” Jum tertawa. “Curiga boleh, tapi suudzon jangan. Den Ken ndak sejahat itu. Apalagi ....” “Apalagi?” tanya Wahda penasaran karena ucapan Jum tidak selesai. “Ah, bukan apa-apa. Mak berani jamin, ini obat sungguhan dari rumah sakit.” Dengan berat hati, akhirnya Wahda menerima dan menelannya bersama air. Meninggal gara-gara minum obat ini pun bukan masalah. Justru lebih baik. “Obatnya Mak taruh sini. Diminum tiga kali sehari setelah makan kata Tuan tadi. Kontrol tiga hari lagi ke klinik pribadi dokter saja.” “Ken juga yang nyuruh kontrol ke tempat praktik dokter pribadi?” Jum mengangguk. Ia menatap Wahda dalam seraya tersenyum. “Kamu itu lho, kok ayu banget.” Wahda hanya tersenyum tipis. “Sekarang tolong Mak ceritakan pada saya tentang Ken.” “Bagian mana yang belum kamu tahu?” “Semuanya. Saya nggak kenal siapa dia, orang mana, keluarganya, semuanya. Mak, saya dan dia hanya bertemu tidak lebih dari dua kali sebelumnya. Bahkan namanya saja baru saya tahu pas di rumah sakit. Dia klien saya saat memesan gaun pengantin bersama tunangannya di tempat kerja saya.” “Oh, sama Nyonya Tisya?” “Itu nama tunangan Ken? Mak Jum tahu?” “Iya. Mereka bertunangan beberapa bulan lalu dan pernikahannya sebentar lagi. Dua mingguan lagi mungkin.” “Tisya katanya meninggal karena kecelakaan. Dia yang menabrak saya, tapi saya yang disalahkan Ken sampai saya dibawa ke sini. Saya yang disuruh tanggung jawab gantiin nikah sama dia. Nggak adil banget, kan? Dan kenapa kami harus bertemu di Yogya sini? Padahal dia tinggalnya di Jakarta.” “Iya, Mak sudah dengar semuanya.” “Apa saya beneran salah, Mak?” “Kata anak buah Ken yang Mak dengar tadi, kamu awalnya mengebut saat kejadian. Tapi tiba-tiba memelankan laju kendaraan. Tisya yang mengemudi di belakangmu, bingung. Karena telanjur berkecepatan tinggi, akhirnya dia menabrakmu, lalu banting setir ke kanan dan menabrak pembatas jalan.” “Tisya beneran meninggal?” tanya Wahda lagi memastikan. “Entahlah, Mak juga ndak tahu. Tapi saksi di tempat kejadian ndak ada yang menyalahkanmu. Tetap saja, orang tuanya ndak terima. Mungkin Den Ken sengaja membawa Nyonya ke sini sebagai bentuk perlindungan.” Wahda berpikir sejenak. “Masa sih, Mak? Saya malah takut dia balas dendam pada saya atas kematian Tisya.” “Kalau seperti itu pemikiran Nyonya, bisa juga. Tapi semoga saja ndak.” “Yang paling aneh itu kenapa ada di daerah ini? Mak tahu?” “Katanya di sini sedang mengurus sesuatu. Den Ken juga pas di sini, kan? Mereka datang ke sini berdua.” “Lalu sebenarnya siapa Ken itu, Mak? Tolong ceritakan pada saya sejelas-jelasnya tentang jati dirinya.” “Nyonya beneran ndak kenal?” Wahda menggeleng. “Dia itu orang penting, orang berpengaruh dalam negeri. Makanya jangan berani atau macam-macam sama Den Ken.” “Berbahayakah? Semacam mafia atau psik0pat?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN