“Mak, jangan menakut-nakuti saya deh.”
Jum malah tertawa. “Baiklah kalau kamu memang ndak tahu sama sekali. Den Ken itu pemilik pabrik sekaligus merek terkenal bernama ‘BV’. Tahu kan sampai sini?”
Wahda menggeleng, sedikit tercengang. “Tahu merek itu, tapi nggak tahu sama sekali kalau pemiliknya pria gila itu.”
BV atau Beelovali adalah merek sepatu dan tas yang diproduksi khusus untuk laki-laki. BV memproduksi barang kualitas biasa sampai premium yang terkenal awet dan bagus. Produk ini menjadi incaran masyarakat karena kualitasnya yang tidak diragukan lagi. Awet dan modelnya selalu inovatif. Wahda sama sekali tidak menyangka kalau Kenrich adalah pemiliknya.
“Itu bisnis keluarganya kan?”
“Bukan. Milik Den Ken sendiri. Kalau keluarganya justru menjalankan bisnis bank. Bank ACB tahu? Itu perusahaan keluarganya. Den Ken ndak mau mengusik bisnis keluarganya.”
Wahda geleng-geleng. Ternyata Kenrich dan keluarganya memang bukan orang sembarangan.
“Papanya orang Australia kalau ndak salah. Mamanya orang Bekasi. Den Ken sulung dari tiga bersaudara, laki-laki semua. Adik-adiknya sudah menikah semua, justru Den Ken yang belum. Mau menikah, tapi justru calonnya meninggal.”
“Sudah lama menjalin hubungan sama Tisya?”
“Saya ndak tahu pasti. Tapi saya dengar, mereka dijodohkan.”
“Usia Ken berapa, sih, Mak?”
“Usianya sama dengan anak kedua saya, sekitar 36 atau 37 mungkin.”
“Apa! Setua itu?”
Wahda menghitung dengan usianya. Selisih sepuluh tahun dengannya. Ia justru khawatir pria itu penyuka sesama jenis karena setua itu belum menikah.
“Den Ken itu meskipun ndak banyak bicara dan terkesan galak, tapi aslinya baik. Dulu, Mak adalah salah satu ART di rumahnya. Tapi baru beberapa tahun harus berhenti karena harus mengurus suami yang sakit. Beberapa tahun kemudian suami Mak meninggal, anak Mak punya banyak utang. Rumah terjual. Mak ke rumah Den Ken lagi untuk minta pekerjaan lagi, tapi ditolak sama Nyonya Besar. Saat itu Den Ken tahu, lalu mengejar saya dan membantu saya. Rumah ini Den Ken yang membeli, saya hanya menempati saja. Aden juga memberi saya modal usaha.”
“Sebaik itu? Mak Jum usaha apa?”
“Pentol daging bumbu kacang. Dulu Mak menjualnya di depan, sekarang membuat dalam jumlah besar, diambil sama orang-orang.”
“Tapi sejak tadi Mak kayaknya nggak sibuk?”
“Kebetulan pas libur tiga hari. Capek. Di belakang ada tempat khusus untuk usaha Mak. Ada beberapa orang yang membantu.”
Wahda manggut-manggut.
“Mak pernah berniat pindah rumah karena sudah bisa beli rumah sendiri, tapi Aden malah marah. Boleh beli rumah, asal bukan untuk ditempati. Tinggal harus tetap di sini, merawat rumah sederhana ini. Akhirnya, rumah ditempati anak-anak. Mak tetap di sini.”
Ah, entah. Makin mendengar penjelasan Jum, rasa takut Wahda sedikit terkikis. Namun, segala kemungkinan buruk tetap saja bisa terjadi.
“Asal ndak membuat Aden marah, Aden itu baik. Asal nurut sama dia.”
“Lalu saat saya akan dibawa ke sini, apa Mak diberitahu sebelumnya sama Ken?”
“Iya. Katanya mau nitip seseorang pembangkang agar Mak didik dengan benar. Mak mana bisa?” Jum tertawa.
“Lalu Tisya dan keluarganya? Mak tahu gimana kabarnya sekarang?”
“Mak ndak tahu. Asal Nyonya tahu, Nyonya adalah satu-satunya wanita yang dibawa ke sini. Sebelumnya, Aden ndak pernah mengenalkan gadis pada Mak.”
“Ya, itu karena saya disekap di sini, Mak. Saya itu tawanannya. Saya harus menggantikan Tisya jadi pengantin penganti. Kalau bukan manusia edan, apa itu namanya?”
Jum tertawa. “Nyonya ini ada-ada saja. Ya sudah, istirahatlah. Mak mau membuatkan kopi untuk anak buah Aden. Kalau ada yang ditanyakan lagi, besok lagi ya?”
Wahda mengangguk. Ia mengekor di belakang Jum, langsung mengunci pintu setelah wanita paruh baya itu keluar.
“Dia itu ternyata perjaka tua. Tapi ogah gue manggil pak atau om. Panggil nama langsung aja. Pura-pura nggak tahu umurnya.”
Wahda sedikit lega. Setidaknya malam ini ia bisa tidur tenang karena tahu Kenrich tidak seburuk yang dikira. Semoga saja ancaman pria itu tidak benar-benar terjadi.
Kemungkinannya memang dua. Pertama pria itu sengaja melindungi Wahda dari amukan orang tua Tisya. Atau kedua karena murni balas dendam karena kematian Tisya dengan caranya sendiri.
“Tauk ah. Yang penting gue tidur. Entah besok mati atau masih hidup, terserah.”
**
Wahda tertarik dari alam tidur ketika mendengar suara azan. Ia mengerjap, lalu mencubit pipi. Terasa sakit. Itu artinya, dirinya masih hidup.
“Alhamdulillah, gue belum mati.”
Wahda merenggangkan tubuh. Tidurnya lumayan nyenyak daripada saat masih di rumah sakit. Setelah tubuhnya bisa diajak kompromi, ia turun dari tempat tidur. Dibantu kruk, ia keluar kamar menuju kamar mandi.
Di kamar mandi, sudah ada kursi plastik hingga memudahkan Wahda mandi. Ia tidak membasuh seluruh tubuh, hanya yang tidak dibungkus gips saja. Selebihnya, hanya diusap dengan air dan sabun. Baju dan rok yang dibelikan Kenrich juga berkancing depan semua. Wanita itu tidak terlalu kesulitan membuka atau melepasnya. Hanya bagian underware yang membuatnya sedikit kesulitan. Meski begitu, ia harus bisa melakukan sendiri. Tidak mungkin terus bergantung pada Jum.
Selesai mandi dan bersuci sebisanya, Wahda keluar kamar mandi. Ada Jum yang menyambut.
“Harusnya bangunkan Mak tho, Nya.”
“Nggak apa-apa, saya bisa sendiri kok.”
“Yakin?”
“Iya. Mak lakukan apa pekerjaan Mak saja.”
Jum tersenyum, mengangguk.
Dua rakaat ditunaikan Wahda dengan khusyuk sambil duduk. Selesai salat, ia juga meminta diberi kekuatan dan sekiranya Allah memberinya petunjuk terbaik untuk langkah selanjutnya.
Saat hari sudah terang, Wahda keluar rumah. Ia duduk di kursi teras, berjemur. Membiarkan sinar matahari menghangatkan tubuhnya. Di pos dekat gerbang terlihat dua orang pria tengah berjaga. Sementara mobil yang membawanya kemarin sudah tidak terlihat.
“Apa Ken sudah pergi?” gumam Wahda. Ia penasaran.
Beberapa saat kemudian, Jum datang membawakan segelas minuman dan camilan.
“Susunya diminum dulu, mumpung belum minum obat.”
“Nggak usah repot, Mak. Saya nggak terbiasa dilayani seperti ini.”
“Sudah tugas saya. Ingat, sama Aden harus nurut.”
“Ken sudah pergi, Mak?”
“Sudah, tadi tengah malam.”
“Syukurlah.”
“Aden berpesan agar Nyonya untuk ndak kabur.”
Wahda tersenyum. Bagaimana bisa kabur, berjalan saja kesulitan. Ditambah para penjaga di gerbang yang terlihat menakutkan.
“Pria-pria itu selalu di situ?” Wahda menunjuk para penjaga.
“Biasanya ndak. Ada di sini karena menjaga Nyonya.”
“Mak, boleh pinjam ponsel nggak? Saya perlu menghubungi tempat kerja.”
Jum menggeleng. “Maaf, Nya. Aden ndak mengizinkan Nyonya memegang ponsel. Takut kabur. Tolong pengertiannya.”
“Buat mengabari tempat kerja. Itu aja.”
“Semua sudah diatur sama Aden. Nyonya tenang saja.”