Bisa dibilang, Wahda betah tinggal bersama Jum meskipun gerak dan kegiatan serba dibatasi. Walaupun bosan, wanita itu mencoba berdamai sementara dari keadaan. Di sana, ia disayang laiknya anak sendiri. Sementara Kenrich tidak lagi datang beberapa waktu ini. Bahkan saat kontrol ke dokter beberapa kali pun, hanya anak buah Kenrich dan Jum yang menemani.
Kondisi kesehatan Wahda juga kian membaik. Luka-luka gores sudah sepenuhnya kering. Hanya saja, patah tulangnya yang belum sembuh. Ia mencoba menurut dengan apa yang diperintah dan dilarang Kenrich. Setidaknya itu yang terbaik untuk saat ini. Demi kebaikan dan kesembuhannya.
Wahda mencoba mendekatkan diri dengan para pekerja di rumah Jum. Ia sedikit punya hiburan.
Suatu pagi, seperti biasa Jum mendapat telepon dari Kenrich. Hampir setiap hari pria itu memantau Wahda dari Jum atau anak buahnya via telepon. Tanpa menunggu nanti, wanita itu langsung mengangkatnya.
“Ya, Den.”
“Wanita itu bagaimana? Nggak berontak, kan?”
“Ndak kok, Den. Tenang saja. Nyonya nurut dan sangat manis di sini. Bahkan jadi primadona–“
“Apa maksudnya?”
“Biar ndak suntuk, dia sering berbaur di dapur ikut anak-anak masak membuat adonan pentol. Mereka juga tahu kalau Nyonya tamunya Aden, jadi ndak berani macam-macam.”
“No, Mak! Jangan biarkan dia berinteraksi sama orang lain. Bagaimana kalau dia diam-diam meminjam ponsel dan merencanakan kabur!”
“Maaf, Den. Tapi Mak sudah mewanti-wanti semua agar ndak meminjamkannya.”
“Pokoknya jangan lagi biarkan dia berbaur dengan orang lain. Saya masih ada kerjaan, sebentar lagi saya jemput dia. Tapi selama itu, tolong jangan dulu biarkan dia bersikap semaunya.”
“Baik, Den. Sekali lagi maaf.”
“Hm. Coba ganti pakai video call, saya pengen tahu seperti apa polahnya saat di dapur.”
“Ya, Den.”
Jum mengganti dengan panggilan video. Ia berjalan ke halaman belakang dan mengarahkan kamera pada Wahda bersama anak-anaknya yang sedang bergurau di dapur khusus produksi miliknya.
Wahda terlihat fokus memperhatikan tiap takaran tepung dan bumbu, lalu bagaimana saat adonan diuleni. Cukup sampai di situ sebab ia belum bisa membuatnya langsung. Tangannya masih sakit.
“Panggil dia, suruh masuk kamar,” titah Kenrich.
Jum mengangguk takut. Saat panggilan video sudah dimatikan, ia menghampiri Wahda.
“Nya, ada yang perlu Mak bicarakan. Ayo masuk rumah.”
“Ah, iya, Mak.”
Tiba di dapur rumah yang terpisah dari dapur produksi, Jum mencekal pergelangan tangan kanan Wahda yang tidak sakit.
“Nya, maaf. Aden ndak memperbolehkan Nyonya ke dapur lagi. Takutnya Nyonya pinjam ponsel salah satu anak Mak atau pekerja lain untuk kabur. Maaf. Tolong kerja samanya. Mak ndak mau kalau sampai Aden marah.”
Wahda mengangguk, tersenyum. “Iya, nggak apa-apa. Dia kok nggak pernah datang lagi, ya, Mak?”
“Nyonya kangen, ya?”
“Enggaklah. Amit-amit. Cuma penasaran aja apa sebenernya rencana dan maunya dia sama saya. Kok sampai sekarang masih membiarkan saya hidup.”
“Meskipun ndak telepon langsung, Aden selalu menanyakan kondisi Nyonya. Bahkan sering saya kirimi foto atau video Nyonya. Aden yang minta.”
“Maak! Jangan lagi deh! Nanti foto itu dijadikan bahan santet untuk saya.”
Jum malah terbahak-bahak. “Jaman sekarang, Nya. Ndak ada yang kayak gitu. Santet ndak mempan. Lebih mempan dikasih duit langsung.”
Wahda hanya memukul pelan lengan Jum. “Mak Jum bisa aja.”
“Kalau bosan di kamar terus, Mak ajari masak saja. Nyonya bisa masak?”
“Bikin mi instan sama masak air bisanya. Saya terbiasa tinggal di kos-kosan, Mak. Selalu beli daripada masak sendiri. Ribet.”
“Ya udah, nanti Mak ajari masak masakan desa sederhana kayak sayur asem, lodeh, pecak terong, pepes, bumbu rujak.”
“Mau-mau.”
“Tapi juga harus tetap menjaga sakitnya biar ndak tambah parah.”
Wahda mengangguk antusias. Rasanya, Jum lebih sayang padanya dibanding ibunya sendiri. Ibu kandung dari dulu lebih menyayangi Wirda. Apa-apa harus mengalah dengan sang adik. Bahkan pasangan pun, harus tergeser karena keadaan.
“Aku cinta sama Mak Jum.”
Jum hanya mencebik. “Halah!”
**
Dua minggu berlalu. Itu artinya, waktu yang katanya adalah hari pernikahan Kenrich dan Tisya harusnya terjadi hari ini. Namun, belum ada tanda-tanda pria itu mengunjungi Wahda lagi.
Wahda sedikit tenang, tetapi tidak bisa dipungkiri ia juga merasa waswas. Takut jika tiba-tiba Kenrich datang menagih janji pernikahan.
Mengenai pernikahan, ia menganggap Kenrich tidak serius. Mungkin pria itu punya rencana lain.
Wanita itu juga sudah sedikit abai dengan pekerjaannya. Persetan jika nanti dipecat karena tidak pernah memberi kabar pada kantor. Jika menganggur, ia akan mendesak Kenrich mencarikan pekerjaan sebab ini semua salah pria itu yang menyekapnya.
Kemampuan memasak Wahda juga meningkat berkat ajaran Jum. Satu menu diajarkan, akan dipraktikkan esok harinya. Itu cukup membuatnya gembira dan terhibur. Sejauh ini, ia merasa Kenrich tidak seburuk yang dikira.
Suatu siang saat Wahda sibuk mengamati isi kulkas bingung mau memasak apa di dapur, ada seorang pria yang tiba-tiba masuk.
“Loh loh loh. Siapa kamu?” tanya pria itu terkejut. “Kamu maling?”
“Sembarangan! Harusnya saya yang tanya, kamu siapa?”
“Saya anak pemilik rumah ini. Keluar cepat! Kamu pasti punya niat buruk!”
Pria itu mencekal lengan Wahda yang sakit, lalu sedikit menyeretnya.
“Awh! Sakit!” pekik Wahda. Ia terjatuh ke lantai karena kaki kirinya belum bisa menopang tubuh tanpa alat penyangga.
“Kamu pasti maling!”
“Mak Jum toloong!” teriak Wahda lagi. “Saya bukan maling! Saya tamu di sini!”
Wahda mengelus tangan dan kakinya. Gips yang masih terpasang, tidak terlihat karena pakaian dan roknya yang panjang.
“Maaak!” Wahda mulai merintih kesakitan.
“Maling mana ada yang mau nga–“
“Ada apa ini ribut-ribut!” teriak Jum yang baru datang. “Ya Allah, Nyonya! Jak, apa-apaan kamu ini!”
Jum berjongkok, membantu Wahda.
“Dia maling, kan, Mak?”
“Maling gundulmu! Dia tamunya Den Ken! Kamu apakan dia? Dia patah tulang kaki dan tangannya!”
Pria yang dipanggil Jak itu ternganga.
“Bantu Emak!”
“I-iya iya.”
“Nggak usah!” Wahda mulai sewot. Ia berdiri dibantu Jum, lalu duduk di kursi.
“Kalau sampai kenapa-napa sama Nyonya, habis kamu sama Den Ken!” ancam Jum lagi.
“Maaf, aku benar-benar nggak tahu.”
“Dia Jaka anak saya, Nya. Laporkan saja sama Aden.”
“Mak, kok gitu?”
“Sepertinya sekarang tulang saya bukan geser lagi, Mak. Tapi patah. Sakit banget,” keluh Wahda sambil mendesis kesakitan.
**
Wahda tidak lagi keluar kamar setelah tragedi menyakitkan itu selain ke kamar mandi. Meskipun beberapa kali Jaka mendekat untuk meminta maaf, Wahda masih kukuh dalam diamnya. Untuk makan, Jum mengantarkannya ke kamar.
Malam itu, Jum mengetuk pintu untuk mengantarkan makan. Wahda membukanya dengan hati-hati.
“Makan dulu, Nya. Habis ini ke dokter. Tadi saya sudah buat janji sama dokternya. Adanya jam terakhir malam ini. Ndak apa-apa, ya?”
“Nggak usah, Mak.”
“Mak takut tulangnya kenapa-napa.”
Wahda diam. Memang cederanya terasa agak sakit. Namun, ia tetap menggeleng.
“Mak juga takut dimarahi Den Ken. Maaf, saya ndak bilang atas kejadian tadi. Tolong, jangan mengadu sama Aden, ya, Nya. Saya takut Jaka diapa-apakan sama Aden.”
Ponsel di saku Jum berdering. Wanita itu mengambil, lalu mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon.
“Ya, Den.”
Jum terlihat mendengarkan dengan saksama.
“Iya, ini saya sedang sama Nyonya."
"Baiklah." Jum memberikan ponselnya pada Wahda. “Aden mau bicara.”
Meski sedikit enggan, Wahda menerimanya. “Kapan lo bebasin gue!”
“Besok saya ke sana.”
“Bunvh saja gue sekalian!”
“Malah akan saya nikahi. Persiapkan dirimu.”