Tangan Kenrich terdiam dalam posisi terangkat untuk beberapa saat. Namun, ketika melihat wanita ini terus menangis tidak terkendali, ia membalas pelukan itu dengan pelan. Dielusnya kepala wanita tersebut, sedikit diacak-acak seraya tertawa. “Dasar cengeng. Bukannya bahagia karena menang, malah menangis.” “Terharu.” “Terharu karena menang? Apa karena saya datang?” Dalam dekapannya, Wahda mengangguk. Itu salah dua alasannya. Masih banyak alasan lain yang membuatnya menangis. Terdengar pintu private room itu diketuk. Tidak lama kemudian, seorang pramusaji muncul. “Encik, maaf mengacau. Adakah mau pesan sekarang apa nanti?” Kenrich berusaha melepaskan Wahda, tetapi pelukan wanitanya ini terlalu erat. “Mau pesan sekarang apa nanti?” tanya Kenrich pada sang istri. Wahda hanya menggele