Kenrich tidak menjawab. Ia malah terpejam sambil bersedekap. Wahda berdecak kesal. Akhirnya mengalah, memilih diam. “Ken, bukankah rencana awal nikah di KUA? Kenapa jadi di rumah?” tanya Wahda setelah keheningan menyelimuti. “Biar tidak ribet gotong-gotong kamu.” Wahda mengangguk paham. “Thanks. Thanks juga buat baju-bajunya selama ini. Kamu tahu betul ukuranku. Juga gaun pengantin. Impianku bisa memakai brand milik Bu Diana dan kamu mengabulkannya tanpa aku minta. Gaun itu akan kusimpan baik-baik.” Wahda menatap suaminya tulus. Meskipun nikah tanpa cinta, setidaknya mereka bisa menjadi teman, bukan? “Hm.” “Ck! Kebiasaan diajak ngomong panjang lebar jawabnya hm hm aja. Kita langsung ke Jakarta?” “Tidak. Saya masih ada kerjaan di sini. Ke hotel dulu, berangkat Jakarta besok.” Wahd