Wahda sudah tidak lagi berselera dengan makanan yang sudah dimasaknya. Namun, ia berpikir daripada mubazir, lebih baik tetap memakannya meskipun sedikit. Wanita itu meletakkan nasi, sayur, dan lauk ke dalam piring lalu mulai menyantap perlahan. Rasa lezat makanan bercampur asinnya air mata. Perpaduan yang sangat menyiksa. Makanan itu seperti duri menusuk, yang melewati mulut sampai tenggorokan. Wahda kian tersedu-sedu. Ingin mengakhiri makan, tetapi sayang. Akhirnya ia makan dengan suapan besar dan terburu-buru sampai tersedak. “Aaah!” Wahda berteriak. Selama menikah, belum pernah ia merasa sekacau ini. Semua ini hanya karena salah paham dan mungkin Kenrich tengah cemburu buta. “Aku harus gimana biar kamu kayak dulu lagi, Ken? Aku tersiksa kamu abaikan seperti ini.” Wahda menelungkup

