Chap 6. Teman Lama?

1131 Kata
Cafe baru Satria sudah hampir rampung setelah pengerjaan memakan waktu kurang dari tiga pekan. Beberapa hari ini dia sudah sangat sibuk memantau perkembangan cafe-nya. Mereka akan menyewa interior design untuk mengurus segala isi cafenya. Satria hanya terima beres saja dan tak mau repot-repot. “Sat lihat pengunjung yang duduk di arah jam sembilan,” ujar Ario memberitahu Satria. Satria pun memandang ke arah yang disebutkan oleh asistennya. Tepat di sana seorang gadis cantik sedang duduk seorang diri. “Dia datang sekitar setengah jam lalu, sendirian.” Beritahu Ario lagi. ”Lalu?” tanya Satria tanpa minat. “Ya, mana tau Lo mau kenalan,” balas Ario sembari terkekeh. Satria berdecak. Dia tidak akan semudah itu mengajak kenalan bila tidak ada alasannya. Satria mengabaikan ucapan Ario dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Tidak lama kemudian, Meira datang ke kafe Satria dan menghampiri perempuan yang dibahas oleh Satria dan asistennya. “Teman adek Lo ternyata,” celetuk Ario. Satria kembali melirik ke arah di mana perempuan tadi duduk sendiri dan saat ini sudah ada Meira yang duduk bersamanya. Sampai saat ini Bima masih menawarkan diri untuk memperkenalkan teman wanitanya pada Satria. Namun, Satria selalu menolak dan memilih ingin mencari sendiri, toh, dia masih mampu. Ditambah dia juga masih berharap untuk bisa bertemu dengan gadis di malam pesta pernikahan Bima sebulan lalu, meskipun harapannya hanya sepuluh persen. “Sat, ini!” “Apaan?!” tanyanya ketus. “Pesenan adek Lo, dia minta Lo yang antar. Gue yakin dia ada niat mau ngenalin Lo ke cewek itu.” Ario berasumsi. ”Ayolah, Sat, jangan nolak rejeki!” Lagi-lagi, Satria berdecak. Tapi tak urung dia mengambil juga nampan berisi pesanan adiknya. Sepertinya Meira sedang berlomba-lomba dengan Bima untuk mengenalkan dia pada teman wanitanya. Satria mendengus kesal mengetahui hal itu. Satria berjalan menuju meja yang dihuni oleh Meira dan perempuan yang entah siapa karena dia baru melihat gadis itu datang berkunjung ke sini. “Selamat sore,” ucap Satria sembari menyebutkan satu persatu pesanan dan meletakkan ke atas meja. “Selamat menikmati,” katanya lagi setelah semua sudah tertata. “Abang, tunggu dulu!” Meira mencegah Satria dengan menahan tangan pria itu. Satria hanya menatap adiknya dengan raut tak suka, karena dia sudah bisa menebak apa yang diinginkan oleh adiknya itu. “Mei mau kenalin Abang ke teman,” ucap Meira tanpa canggung. Satria pun menoleh ke arah perempuan di depan adiknya dan keduanya saling berjabatan tangan. “Nadia,” ucap gadis itu menyebutkan namanya. “Satria. Terima kasih sudah datang berkunjung,” balas pria itu yang kemudian kembali ke kitchen. “Abang Lo cuek banget.” Meira mengangguk sembari meringis. “Biasanya dia friendly, mungkin waktu yang mengubahnya jadi cuek begitu,” ungkap Meira. “Dia kenapa?” tanya Nadia penasaran, dengan mata yang memandang ke arah konter di mana pria itu berdiri di baliknya. Meira hanya menceritakan sedikit hal yang di alami oleh kakaknya. Tidak terlalu rinci, tetapi masih bisa dimengerti. “Itu artinya dia pria yang setia,” ucap Nadia setelah mendengar sepotong kisah pria bernama Satria, yang katanya susah move on meski sudah lima tahun. ”Yeah, mungkin saja. Lo masih berminat buat deketin Abang gue?” tanya Meira. Nadia terdiam sejenak memikirkan cara. “Gue mesti cari cara buat bisa berkomunikasi sama dia, Mei. Apa lagi dia itu cuek banget, butuh usaha keras untuk membuatnya tertarik sama gue.” Meira manggut-manggut. Dia mengerti dengan yang diucapkan oleh temannya itu. “Gue ada ide!” seru Meira dengan senyum misteriusnya. “Apa idenya?” tanya Nadia. Meira lantas membisikan sesuatu ke telinga Nadia. Lalu, keduanya tersenyum tipis. Selang beberapa menit kemudian, Meira menghampiri Satria. Sementara Nadia sudah pulang lebih dulu karena ada urusan. “Abang, ada lowongan buat pegawai di restoran yang baru gak?” tanya Meira sembari memainkan ujung rambutnya. Satria melirik ke arah adiknya sekilas. “Bayu yang urus itu semua, bukan abang.” “Tapi, Abang bisa kan bantu ... please bang ...” “Buat siapa?” Wajah Meira seketika berbinar cerah, dia tau kalau dia akan mendapat kesempatan. “Nadia yang tadi, dia baru aja resign dan lagi nyari kerja.” “Kirim aja CV-nya ke email Abang, nanti Abang kasih Bayu.” “Tapi, pasti lolos kan ya?” Satria menatap adiknya dengan sorot sebal. “Semoga aja.” Malam harinya, Satria masih bertahan di cafenya. Suasana cafe malam ini sedikit ramai mungkin karena malam weekend. Satria baru saja keluar dari ruang kerjanya dan hendak pulang ke rumah orangtuanya. “Yo, gue balik duluan.” “Yoi, Bos!” Satria yang tak sengaja melirik ke depan meja konter dan terkejut mendapati seorang yang tidak pernah dia duga sebelumnya akan datang ke sini. Tanpa berpikir panjang pria itu pun menghampirinya. “Gue tebak, Lo pasti cuma lewat dan gak sengaja masuk ke sini.” “Cuma mau nyapa teman lama," sahut pria itu. Satria yakin yang dia maksud ‘teman lama’ pria itu adalah dirinya. Siapa lagi yang pria itu kenal di sini selain dia. “Teman lama? Sejak kapan kita berteman,” sanggah Satria seraya tertawa mengejek. “Terserah!” balas pria itu tak acuh sembari menyesap kopi hitamnya. Satria pun batal pulang dan memilih mengambil duduk tepat di sebelah pria yang awalnya berambut gondrong, kini sudah memangkas rambutnya menjadi rapi. Bahkan, Satria sempat tidak mengenalinya kalau tidak memperhatikan secara cermat. “Apa kabar, Raf?” tanya Satria akhirnya. “Untungnya masih hidup. Lo sendiri?” Pria itu bertanya balik. “Gue? Baik-baik aja, tapi berantakan di dalam sini," balasnya bercanda. “Ck! Sejak kapan Lo jadi cowok drama begini? Najis!” maki Raffa murka. Satria tergelak. Satu menit kemudian keduanya diselimuti keheningan. “Gue dapat kabar katanya Lo udah balik, makanya gue iseng ke sini cuma mau nyapa aja.” “Sudah gue duga.” “Bukan Sammy," kata Raffa mematahkan dugaan pria itu. Satria mendesah. “Apa yang dia katakan?” “Dia cuma mau mastiin kalau Lo baik-baik aja. Gue sempat kesal sih, karena dia masih peduli sama Lo, tapi karena gue sayang sama dia ya ... gue turutin datang ke sini dan liat Lo langsung. Biar puas dia!” Satria mengembangkan senyumnya. Dia bisa menebak kalau Syera juga merindukan dirinya. Mereka masih saling mencintai dan terpaksa harus saling melepas karena keadaan yang tidak mendukung cinta mereka. “Lo udah punya keluarga, Raf?” tanya Satria iseng. Pasalnya dia masih ingat sekali kisah asmara lelaki itu seperti apa, yang menurutnya lebih tragis darinya. “Gue belum kepikiran buat ngajak anak orang hidup susah," ujar Raffa seraya terkekeh kecil. Satria berdecak. Dia sangat tau kalau saat ini Raffa sudah memiliki kehidupan lebih baik. Raffa sudah membangun studio sendiri dan beberapa anak buah yang bekerja padanya. Mustahil kalau hidupnya tidak berubah selama lima tahun ini. Satria yakin kalau Raffa sama halnya dengan dirinya yang kesulitan move on.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN