Chap 5. Perasaan Hambar

1253 Kata
Satu Minggu kemudian Satria berdiri bersedekap sembari memandangi hujan yang turun deras sore ini melalui jendela ruang kerjanya. Pikirannya masih dipenuhi oleh wajah cantik milik gadis yang dia temui di malam resepsi pernikahan Bima satu minggu yang lalu. Dia tidak tau apa-apa tentang gadis itu, semua samar. Untuk bertanya pada Bima pun dia enggan, karena yakin adiknya itu pun tidak akan tau apa-apa. Sepertinya semua buntu. “Satria, jadi?” Pria itu menoleh ke arah belakangnya di mana salah seorang temannya melongokan kepalanya melalui pintu ruang kerjanya di cafe. “Hujan, Bro.” Satria memutar tubuhnya dan berjalan ke arah kursi kerjanya. “Ketemuan di hotel, kalau gak mau kita bisa batalin. Lalu, buat janji baru lagi, bagaimana?” Satria menengadahkan kepalanya ke langit-langit, seolah sedang berpikir. “Pindah ke cafe aja, gimana?” tanyanya yang kali ini memandang pada temannya. ”Boleh. Bentar gue call orangnya.” “Oke.” Satria sudah menemukan lokasi untuk cafe dan restoran barunya sejak beberapa bulan lalu saat dia masih berada di Milan. Dia meminta salah seorang temannya untuk mencarikan tempat strategis dan berhasil dapat. Kali ini dia akan merenovasi tempat itu sehingga menjadi lebih mewah dan berkelas. “Sat, udah. Katanya dia mau datang malam ini,” ucap Bayu, temannya. ”Oke. Atur aja, Bro.” Satu jam kemudian, Satria dan Bayu sudah berdiskusi dengan seorang arsitek design yang akan mengurus bangunan cafe dan restorannya. Di luar hujan sudah mulai reda dan hanya menyisakan gerimis kecil. “Butuh berapa lama kira-kira pengerjaannya?” tanya Satria setelah mendengar apa-apa saja yang harus dilakukan. “Tergantung berapa banyak kita pakai tenaga. Kalau lebih dari tujuh kita bisa selesai lebih cepat.” Satria dan Bayu saling berpandangan. Kemudian keduanya mengangguk. “Kita mau ini selesai kurang lebih satu bulan. Bisa?” tanya Bayu ikut bersuara. “Bisa, bisa. Yang penting semua terkendali.” Akhirnya mereka bertiga sepakat. Selanjutnya mereka mulai mengobrol santai membahas tentang food and beverage yang sedang booming ini. “Semua tergantung tempat dan lokasinya sih, masalah harga bisa mengikuti dari penyajian dan tempatnya," terang si arsitek tersebut. ”Kayak cafe Lo aja gini, enak buat nongkrong dan harganya juga ramah di kantong karena menyasar anak-anak milenial. Mereka suka tempat-tempat yang catchy and cozy, yakin mereka betah kalau ada stage mini gini.” Kalau soal itu Satria sudah paham, kini dia ingin membangun cafe dan resto yang sama persis tetapi lebih besar dari cafe miliknya ini dan tentunya lebih elegan. *** “Baru mandi kamu?” tanya Rayhan di seberang sana. Saat ini Sabrina sedang melakukan video call dengan tunangannya itu. Mereka sudah berbaikan setelah Sabrina mendiamkan pria itu selama beberapa hari akibat foto perselingkuhan Rayhan yang diketahui dirinya. Akhirnya Rayhan meminta bantuan Indah untuk membujuk dirinya agar mau berbaikan. Sabrina mengatainya pria itu dengan sebutan ‘Anak mami’. “Hu'um, tadi pulang kerja kehujanan.” “Makanya aku bilang belajar nyetir, Sab. Biar kamu bisa bawa mobil sendiri dan gak ngojek online terus.” Sabrina hanya memutar bola matanya mendengar ocehan pria itu yang sering kali memintanya untuk belajar menyetir mobil. “Kalau kamu mau, minta ajarin mbak Reva, Sab. Andai aku ada di sana udah aku ajarin kamu.” “Sudah, ya. Aku mau istirahat, aku lapar belum makan sejak tadi siang.” Sabrina melihat Rayhan menghela napas panjang. “Ya, sudah. Sampai nanti calon istri.” “Bye!” Sabrina lantas mematikan sambungan teleponnya. Sejujurnya, dia sudah sangat malas dengan Rayhan, setelah mengetahui kalau pria itu selingkuh di belakangnya. Perasaannya pada Rayhan perlahan-lahan sudah tidak menunjukkan getarannya lagi, berbeda seperti dulu di mana jantungnya akan berdegup kencang ketika mereka akan melakukan video call atau hal lainnya. Kini jarak membentang memisahkan mereka sejak dua tahun lalu, dan keadaannya sudah tidak sama lagi. Sejak awal Sabrina tidak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Tapi, dia memaksakan diri. Sehingga Rayhan berinisiatif untuk mengikatnya dan akhirnya mereka bertunangan. Gadis itu kalut. Dia sendiri pun merasa buruk karena telah menyerahkan kegadisannya pada pria asing. Sabrina merasa sangat bodoh sekali. Sabrina mengambil ponselnya lagi, dan mulai mencari kontak Alia. Dia butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya yang tidak bisa dia pendam sendiri. “Halo?” Terdengar suara lembut Alia di seberang sana. “Al, lagi apa? Aku ganggu gak?” tanya Sabrina sembari menggigit kuku jarinya. “Gak, dong. Kenapa?” “Aku mau curhat.” “Sekarang atau nanti?” tanya Alia. “Besok deh, gimana?” “Oke. Sampai ketemu besok ya!” Dia tidak yakin untuk menceritakan tentang semuanya atau tidak. Tapi, dia butuh seseorang. Keesokan harinya,Alia memilih tempat bertemu di cafe milik Satria. Dia sudah beberapa kali datang ke sini saat masih berpacaran dengan Bima. Alia sudah mengirim lokasinya kepada Sabrina, dan temannya itu akan datang sekitar sepuluh menitan lagi. “Hai, Al. Sendirian?” sapa Satria begitu melihat seorang yang dia kenal. “Aku janjian sama teman mau ngobrol di sini.” Satria mengangguk. “Pesan aja apa yang kamu mau, Al," titahnya. Alia tertawa. “Jangan lah, aku mau seperti pengunjung biasa aja, gak mau diistimewakan.” “Oke. Terserah kamu saja. Aku tinggal ke dalam dulu, ya!” ucapnya seraya melangkah ke ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Tidak lama kemudian, Sabrina datang. Alia melambaikan tangannya ke arah sahabatnya itu. Kemudian mereka saling berpelukan sembari cium pipi. “Udah aku pesenin minuman kesukaan kamu, Sab.” “Makasih, Al,” balas Sabrina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu. Dia baru mengetahui tempat ini. “Kamu gak kerja, Sab?” tanya Alia yang jelas tau kalau Sabrina bekerja di butik milik ibunya Rayhan, tunangannya. “Aku izin, dan diperbolehkan.” “Jelas saja boleh, kan mau jadi camer.” Sabrina mencebikkan bibirnya. Seorang waiter mengantarkan pesanan mereka. Keduanya mulai menikmati minumannya. “Kamu gak honeymoon, Al?” tanya Sabrina mengingat kalau sahabatnya itu masih menjadi pengantin baru. “Baby-nya gak bisa di ajak kompromi, Sab,” katanya sembari mengusap perutnya. Sabrina manggut-manggut, dia cukup mengerti. Kepalanya kembali memindai ruangan cafe ini yang menurutnya sangat nyaman. “Katanya kamu mau curhat?” tagih Alia seperti yang Sabrina katakan kemarin di telepon. Gadis itu hanya tertawa ditanya seperti itu. “Ayo, cerita! Aku penasaran, seorang Sabrina mau ngajakin curhat. Kan langka banget tuh!” Sabrina berdecak menanggapi ucapan Alia. Sementara temannya itu hanya tertawa kecil. “Pas acara pernikahan kamu, aku dapat kabar kalau Rayhan selingkuh.” “Beneran?!” tanya Alia terkejut. Sabrina mengangguk. “Aku gak tau itu sudah berlangsung berapa lama. Aku marah banget, Al.” Alia mengusap lengan Sabrina, mencoba memberikan semangat kepada temannya itu. “Lalu, aku buat kesalahan, Al,” ucap Sabrina sembari menunduk. “Apa itu?” “Aku ... tidur dengan seorang pria asing.” “Apa maksud kamu, Sab?!” Alia sudah memasang wajah horor. Sabrina mengangkat kepalanya dan menatap Alia. Kemudian dia mengangguk kaku. “Masih di malam yang sama, saat itu aku lagi kesal dan muak sama Rayhan dan kakaknya. Aku milih mabuk dan aku ketemu sama lelaki itu, lalu kami ... yeah, terjadi begitu saja, Al. Bahkan aku gak tau dia siapa.” Alia menutup mulutnya tak percaya dengan yang baru saja diucapkan oleh temannya itu. Sabrina yang dia kenal tidak seperti itu. Sabrina menggigit bibirnya dan menatap meja. Bersamaan dengan Satria yang melintas hendak keluar dari cafe. Pria itu hanya mengangguk pada Alia yang menatapnya, tanpa menyapa karena dia tau adik iparnya itu sedang bersama temannya. “Sab,” panggil Alia seraya menyentuh lengan sahabatnya itu. Sabrina menoleh ke arah Alia. “Aku gak apa-apa, Al. Aku cuma bodoh aja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN