Elia menarik nafas lega setelah Wira menyelesaikan ceramahnya. Suara Wira jelas, tapi tetap lembut. Air mata jatuh di pipi Elia. Merasa bangga dengan putranya. Sejak dini Wira dan Zia dibimbing tentang agama, tapi Elia tak pernah berpikir kalau putranya bercita-cita menjadi seorang ustadz. Wira tak banyak bicara, kecuali bila ditanya, pasti akan menjawab dan menjelaskan apa yang ditanyakan padanya. Wira sangat peka pada Zia. Wira selalu tahu apa arti kata yang diucapkan Zia saat orang lain tak bisa memahaminya. Wira seperti Abba nya, selalu sabar menghadapi pertanyaan Zia yang terkadang tak ada habisnya. "Alhamdulillah, Abang bisa. Apapun hasilnya aku tetap bangga padanya," gumam El. "Iya, Bang. Aku juga bangga padanya." "Psst, Zia nanti mau ikut lomba juga." Zia yang dipangku Raka be