Bab7 - Tak Pernah Menyerah

1338 Kata
Azmi masih belum bisa memejamkan matanya. Sejak pulang dari kantornya tadi siang, Azmi sama sekali tidak keluar dari kamar pribadinya itu. Selama menikah dengan Syakila, Azmi memang jarang tidur satu kamar dengan Syakila, dia lebih sering tidur di kamar pribadinya itu jika pikirannya kalut, dan itu semua karena memikirkan tentang Rindang. Hari sudah larut malam, Syakila sudah terbiasa dengan tabiat suaminya yang seperti itu, selalu mengurung diri di dalam kamar pribadinya itu. Syakila membiarkan Azmi mengurung diri di kamarnya itu. Bayang-bayang bagaimana dulu Azmi memperlakukan seorang gadis bernama Rindang itu masih terus menghantui Azmi, meski sebelas tahun telah berlalu. Hingga selarut ini Azmi masih belum bisa memejamkan matanya. “Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa dulu aku percaya begitu saja dengan perkataan Lira, tanpa harus mencari tahu dulu kebenarannya?” gumam Azmi yang kembali larut dalam sebuah kubagan penyesalan mendalam yang ia rasakan selama ini. Belum lagi kilasan wajah kecil yang cantik dan manis itu. Gadis berkepan dua yang cantik dan manis itu, yang kemarin sempat ia lihat, semkain menambah beban berat dalam hati Azmi. Hingga Azmi pun harus kembali menelan obat tidur agar bisa mengistirahatkan tubuhnya. Akhirnya, Azmi pun bisa memejamkan matanya, setelah meminum obat tidur yang dia dapatkan dari seorang psikiater yang selama hampir sebelas tahun ini menangani kesehatan mentalnya. Iya, kesehatan mental Azmi. Jika ada yang mengira Azmi baik-baik saja selama ini, maka pendapat itu salah besar! Karena, pada kenyataannya sudah sebelas tahun lamanya, Azmi belum bisa lepas dari seorang psikiater yang selam ini dia temui secara diam-diam. Sejak mengetahui Rindang pergi dan menghilang entah di mana. Jiwa Azmi benar-benar terguncang, belum lagi ia mengetahui bahawa janin di dalam rahim Rindang, hasil dari perbuatannya itu, dilenyapkan oleh Rindang. Itu semakikn menambah beban mental untuk Azmi. Dulu, sebelum Azmi berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya di sana. Azmi sempat datang ke panti asuhan, tempat di mana Rindang tinggal. Ia datang ingin meminta maaf pada Rindang, dan ingin bertanggung jawab menikahi Rindang, meski nantinya ia gagal kuliah di luar negeri, bahkan dia sudah siap jika orang tuanya mengusir dirinya karena perbuatannya. Namun, ibu panti mengatakan kalau Rindang sudah pergi meninggalkan panti, dan janin yang ada di perutnya juga sudah digugurkan oleh Rindang. Begitu terkejutnya Azmi saat itu, bahkan hatinya sangat hancur mendengar semua itu. Bayi yang tak berdosa, ikut menanggung sakit karena perbuatannya. Hingga suatu ketika, Azmi hendak mengakhiri hidupnya saat dia berada di Jerman, negara yang ia pilih untuk menyelesaikan studinya. Azmi sengaja ingin loncat dari lantai atas di apartemennya kala itu. Namun, Tuhan tampaknya masih belum mengizinkan kalau Azmi pergi dari dunia itu sebelum menyelesaikan urusannya dengan Rindang. Hingga akhirnya seorang Psikiater yang memang sedang berada di rooftop melihat Azmi yang hendak mengakhiri hidupnya kala itu. Seorang bernama Antonio, dia menarik tubuh Azmi, dan akhirnya Azmi terselamatkan. Sejak itu, Azmi menjadi salah satu pasiennya. Pria paruh baya itu kerap memberikan nasihat baik kepada Azmi, supaya Azmi tidak putus asa. Azmi pun menceritakan semuanya pada Antonio, bahkan Antonio mendorong Azmi untuk mencari Rindang, dan menyelesaikan urusan mereka berdua sampai tuntas. Akan tetapi, usaha Azmi sia-sia, karena Azmi hanya mengandalkan nama Rindang, sedangkan sejak Rindang pergi dari kotanya itu, Rindang telah mengganti identitasnya menjadi Ayu Utami. Bahkan Azmi tidak memiliki satu pun foto Rindang saat itu, hingga membuat pencarian Rindang terkendala. Pihak sekolah pun sudah menghancurkan semua informasi tentag Rindang, hingga akhirnya Azmi benar-benar kehilangan jejak dari seorang Rindang. ^^^ Azmi kembali mendatangi butik milik Ayu. Dia tidak mau melewatkan sehari pun untuk tidak mengujungi butik milik Ayu. Dia harus bisa bicara dengan Ayu, menjelaskan semuanya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya ....” Ucapan Ayu terhenti kala melihat siapa yang datang ke butiknya. Lagi dan lagi pria dengan setelan jas lengkap dan sangat rapi itu datang menghampiri Ayu kala Ayu sedang mengganti display baju di rak display. “Seperti janjiku padamu kemarin, aku datang lagi. Aku mohon mari kita bicarakan ini,” ucap Azmi pada Ayu. “May ... tolong layani Tuan ii, ya? Mbak mau ada urusan ke ruang produksi,” perintah Ayu pada Maya. “Mohon maaf, Tuan. Dengan asisten saya dulu, ya? Saya ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan,” pamit Ayu. Ia harus bersikap biasa saja, supaya Maya tidak curiga dengannya saat berhadapan dengan Azmi. Padahal Maya sudah menangkap gelagat Ayu yang gugup dan sedikit takut saat orang itu bicara pada Ayu tadi. Maya juga baru lihat, kalau Ayu meninggalkan pelanggannya begitu saja, dan menyerahkan semua padanya, padahal jika ada pelanggan datang padanya, Ayu selalu melayaninya dengan baik. “I—iya, Mbak,” jawab Maya dengan sedikit bingung melihat sikap bosnya yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Setelah Ayu masuk ke dalam, Maya pun segera menghampiri Azmi yang sedang menata dirinya dengan tatapan dingin, hingga membuat gadis itu merinding melihat tatapan Azmi yang dingin mencekam. “Permisi, Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan ramah, padahal dia masih takut dengan orang yang ada di hadapannya itu, tapi dia mencoba ramah, karena Azmi adalah pelanggannya. “Tidak ada!” jawab Azmi singkat. Lalu pergi begitu saja, meninggalkan butik milik Ayu tanpa pamit. Itu semua membuat Maya semakin kebingungan oleh sikap dua manusia dewasa yang ada di depannya tadi. Yang pertama Ayu, dan sekarang Azmi. “Huh ... mereka itu kenapa sih? Aneh sekali? Mbak Ayu tadi begitu, terus orang itu juga begitu? Mereka terlihat aneh menurutku, tapi apa Cuma perasaanku saja yang melihat keanehan mereka?” gumam Maya dengan bingung. ^^^ Tidak pernah menyerah sama sekali, Azmi setiap hari selalu mendatangi butik milik Ayu. Dan, tidak terasa sudah satu bulan lamanya Azmi melakukan hal itu setiap harinya, bahkan ia rela seperti minum obat, pagi, siang, sore, selalu mendatangi butik milik Ayu, meskipun selalu ditolak oleh Ayu, dan Ayu melemparkan semuanya pada Maya. Seperti pagi ini, Azmi datang lagi ke butik milik Ayu. Maya menghela napas panjang saat Azmi lagi dan lagi datang ke butik. Entah dia mau apa, Maya sendiri tidak tahu. Yang pasti Azmi akan pergi, tanpa membeli apa pun di butik setelah bertemu dengan Ayu, meski mereka tak saling bicara. “Maaf, Tuan, apa yang sebenarnya anda cari? Kenapa hampir setiap hari anda datang kemari, tapi tidak satu pun anda membeli baju di sini? Sebenarnya apa tujuan anda, Tuan? Sampai seperti minum obat saja, sehari tiga kali ke sini, pagi, siang, sore?” tanya Maya. Ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu pada Azmi. “Saya ke sini untuk bicara dengan Rindang, bukan untuk membeli baju, atau memesan baju!” jawab Azmi dengan dingin. “Rindang? Siapa Ridang? Di sini tidak ada yang namanya Rindang. Karyawan di sini juga tidak ada yang namanya Rindang, di kasir Mbak Mila, itu mereka bertiga juga gak ada yang namanya Rindang? Bagian produksi dan bagian lain juga gak ada yang namanya Rindang?” ucap Maya dengan mengingat-ingat nama karyawan Ayu. “Dia pemilik Butik ini!” ucap Azmi. “Maaf, Tuan, sepertinya Tuan ini salah orang, salah alamat juga deh? Pemilik butik ini namanya Ayu Utami, Tuan. Bukan Rindang. Anaknya namanya Alina, dan saya Maya, jadi di sini gak ada yang namanya Rindang,” jelas Maya. “Ya sudah panggilkan pemilik toko ini!”’ “Maaf, tapi Mbak Ayu sedang tidak ada di tempat, Mbak Ayu sedang antar Alina sekolah, dan sekalian bertemu dengan klien di luar, Pak,” ucap Maya. “Jangan bohong, kamu!” “Tuan, maaf. Tuan setiap hari ke sini tiga kali sehari, pasti Tuan paham, kalau ke sini pasti Tuan lihat mobil hitam terparkir di sana, sekarang ada atau tidak?” ucap Maya. “Iya, saya selalu melihat! Sekarang tidak ada. Lalu apa hubungannya?” “Itu mobil Mbak Ayu, sekarang mobilnya tidak ada, jadi sudah pasti Mbak Ayu pun tidak ada di sini, Tuan?” Tidak menjawab pertanyaan Maya lagi, Azmi langsung pergi begitu saja meninggalkan butik. Maya membuang napasnya kasar, lega sekali dia sudah selesai menghadapi orang aneh pagi ini. “Gila tuh orang sepertinya!” umpat Maya dengan kesal. “Lagian kenapa Mbak Ayu menghindar terus sih? Ada apa sebenarnya mereka?” tanyanya dalam hati dengan penuh rasa penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN