Cintaku adalah bentuk rahasia,
Yang bersembunyi dalam jelaga,
Agar dunia tak pernah tahu,
Bahwa aku tak bisa bernapas saat dekatmu.
***
Lampu gantung kristal berkilau, cahayanya menerangi seluruh rumah megah yang dipenuhi tamu berpakaian mewah. Senyum, tawa dan bisikan berbaur di udara. Namun semua mata terus menoleh pada sosok yang berdiri di samping Prabu, Zevana.
Gaun pernikahan yang digunakannya memang tampak sangat indah dan klasik meski terlihat sederhana. Cara bersikap Zevana sungguh sangat kaku, matanya menunduk, seakan ingin menghilang dari pandangan dunia.
Diana berdiri di panggung kecil yang sudah disiapkan. Memegang microphone dengan tangan dan posisi yang tegap. Usianya memang sudah menginjak 75 tahun, namun aura yang dia pancarkan tampak lebih kuat dari siapa pun. Dagu runcingnya yang terangkat dan sorot mata tajam dari irish abu muda itu seolah siap menerkam siapa saja yang hendak mengancam keberadaannya.
“Tuan-tuan dan nyonya sekalian,” ucapnya dengan suara serak namun berwibawa, “malam ini saya dengan bangga memperkenalkan ... istri baru anak saya, Prabu,” tuturnya sambil tersenyum miring.
Tepuk tangan terdengar, tidak meriah karena hanya seperti formalitas belaka. Diana tersenyum dingin, “wanita beruntung ini bernama Zevana, gadis muda dari desa kecil di pinggir kebun sawit, yang beruntungnya, kita miliki. Ya kan Prabu?” tanyanya pada Prabu yang hanya terdiam menatap ibunya dengan pandangan serba salah. Nada suaranya menyelipkan ejekan halus, membuat sebagian tamu tertawa kecil dan memilih menutup mulut dan menahan tawa itu.
Zevana hanya menunduk, kerongkongannya begitu kering, dia menelan salivanya sambil menunduk lebih dalam.
Di antara tamu, seorang wanita maju, Miralda. Tubuhnya tinggi, anggun dengan perhiasan berkilau di leher dan tangan, senyumnya manis, namun matanya tampak mengandung racun yang siap membunuh.
“Mas Prabu,” ucapnya dengan suara manja yang dibuat-buat, “aku tidak menyangka, akhirnya kamu memilih dia,” ucapnya sambil menatap Zevana dari atas ke bawah, lalu tersenyum miring.
Miralda memegang bahu Zevana, sedikit meremas dan meninggalkan jejak kukunya di bahu yang bebas itu, “cantik. Dengan caranya sendiri. Meskipun tampaknya belum terbiasa berada di circle seperti ini. Tapi jangan khawatir, Sayang. Kamu akan belajar.”
Beberapa tamu kembali berbisik, menutup tawa mereka dengan kipas dan gelas anggur. Prabu segera meraih tangan Zevana, menatap ibunya dengan tajam. “Cukup, malam ini bukan untuk menghinanya, dia istriku dan itu yang seharusnya kalian hormati.” Ucapannya terdengar begitu tegas seolah tak dapat dibantah.
Diana hanya mengangkat alis, berpura-pura tidak tersinggung, lalu mengangkat gelas anggurnya, “oh tentu saja, Prabu. Kita semua menghormatinya, malam ini adalah buktinya,” ucap Diana tersenyum miring dan mengedipkan mata ke arah Zevana yang kembali tertunduk takut.
Saat awal Zevana menerima permintaan Prabu, tak pernah terbayang dia akan mengalami hal seperti ini. Otak kecilnya sepertinya tidak berfungsi dengan benar. Dia hanya berpikir untuk pura-pura menikah saja, menjadi penghias di rumah Prabu. Dia tak tahu bahwa pria itu memiliki ibu yang tampak pendendam, dan anak yang ... tampan dan merupakan cinta pertamanya. Yang kini menjadi anak tirinya.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Ankala berdiri. Menyaksikan semuanya. Sejak awal dia hanya menganggap perempuan ini adalah gadis matrealistis yang nekat menikahi ayahnya demi harta.
Namun, semakin dia tatap, ada sesuatu berdenyut di dadanya. Wajahnya terasa tidak asing. Seperti sesuatu yang terus berdengung meminta untuk mengingatnya. Sesuatu dari masa lalu yang menariknya. Di mana dia pernah melihatnya? Pikirnya.
Acara kemudian berlanjut dengan dansa dan perkenalan. Diana terus membawa Zevana berkeliling memperkenalkan Zevana pada circle yang pasti tak pernah dia bayangkan akan dia masuki. Mereka semua rata-rata pengusaha, konglomerat. Sebagian besar bermata sipit dan berkulit putih.
Diana menyebutkan Zevana dengan nada yang manis namun penuh sindiran.
“Ini istri baru anakku, masih muda namun ... berhati besar.”
“Wow, sepertinya dia lebih pantas jadi cucu menantu,” kekeh wanita yang tampak seusia dengan Diana.
“Untuk cucu menantu, aku pasti akan lebih selektif, setidaknya dari kelas kita juga,” ucap Diana dengan angkuhnya. Zevana hanya menunduk dan mengekor ketika wanita tua itu terus memperkenalkannya dengan yang lain. Jangan tanya di mana Prabu? Karena pria tua itu sepertinya lebih tertarik dengan bisnis tanpa memikirkan perasaan Zevana yang terintimidasi.
“Halo, Diana. Lama tidak berjumpa,” sapa seorang pria yang tampak berpakaian sangat perlente, jas hitam yang begitu pas di tubuh tuanya. Tongkat dengan kepala naga sebagai pegangannya. Kaca mata dihiasi dengan tali yang mungkin terbuat dari emas.
“Hai, kamu datang juga, bukankah kamu sedang di Jerman? Bagaimana pencangkokan hati istrimu?” tanya Diana berbasa basi.
“Berhasil meskipun harus menghabiskan satu perusahaan, tapi tidak masalah. Anakku bisa mencetak beberapa perusahaan lain nantinya,” ucapnya, lalu melirik ke arah Zevana sambil tersenyum tipis. “Dia pasti sangat pintar tentang pengelolaan saham?” senyumnya tampak tulus, namun Zevana menganggap senyum itu seperti sebuah ancaman yang tak terlihat.
“Dia lebih paham tentang cara mencuci pakaian dibandingka dengan ... saham,” kekeh Diana melirik sinis ke arah Zevana. Wanita yang semula sudah mengangkat wajah untuk tersenyum itu kini memilih menunduk malu. Meratapi sepatu indah yang dipakainya, nyatanya tak seindah kenyataan.
Prabu kemudian menghampirinya dan menyapa pria tua itu, mereka berbicara dalam bahasa inggris yang fasih. Zevana hanya tahu sedikit dan dia menyimpulkan pembicaraan itu yang mengarah pada kemungkinan Prabu akan memiliki bayi karena dirinya yang masih muda dan segar.
Tatapan Prabu mencoba menenangkan ketika Diana kembali menyindir dengan mengatakan bahwa dia mungkin akan memiliki beberapa cucu lagi untuk membuat Zevana dipertahankan. Setiap kata yang dikeluarkan Diana membuat nyalinya kian menciut. Namun, dia hanya terdiam.
Malam itu bukan pesta perayaan. Malam itu bagi Zevana hanyalah sebuah panggung yang diciptakan untuk menghancurkannya.
Dan di antara kerumunan, Ankala terus mengamati dengan perasaan campur aduk. Antara sinis, bingung dan sedikit terusik.
Pesta belum usai, namun Zevana merasa kan sesak. Prabu memegang lengannya dan mengajaknya meninggalkan ruang besar itu. Diana masih menyapa para tamu dengan ekspresi puas, seolah malam ini dia telah berhasil mencetak kemenangan.
“Di lantai tiga, kamu bisa ke balkon dan sedikit menenangkan diri, dari sini lurus, ada lift dan tekan lantai tiga, lalu belok kiri, buka saja pintunya,” ucap Prabu.
“Apa enggak apa-apa saya meninggalkan pesta ini?” tanya Zevana dengan suara yang bergetar.
“Saya akan bilang kalau kamu sedang kurang enak badan,” ucap Prabu, “maafkan kata-kata mami, dia hanya ... terkejut,” imbuh Prabu tak enak hati.
Zevana mengangguk kecil. Lalu dia melangkahkan kaki, ketika dia menoleh dia mendapati Prabu masih menatapnya dengan pandangan iba dan pria tua itu mengangguk seolah meminta Zevana terus berjalan.
Zevana menekan tombol lift, selain tangga besar yang indah, ternyata ada lift juga. Sepertinya dia memang belum banyak berkeliling di rumah ini.
Di lantai tiga dia pun melangkah keluar. Di sekitarnya dia melihat seperti ruang keluarga, dengan meja billiard di salah satu ruangan. Dia terus berjalan menatap pintu-pintu kaca. Dicoba dorong salah satu pintu dan terbuka.
Zevana berjalan pelan ke sayap rumah yang sepi, mengenakan gaun putih gadingnya. Kakinya terasa berat, dadanya sesak oleh semua tatapan dan sindiran yang ditahannya.
Begitu tiba di balkon yang sangat luas menghadap ke pemandangan kebun yang terhampar, dia tak kuasa lagi. Tangannya menutupi wajah, dan air matanya jatuh dengan deras. Suara isakannya tertahan, namun jelas terdengar di keheningan malam.
Dia menangis bukan hanya karena hinaan Diana atau bisikan dari para tamu. Namun, dia menangis karena dirinya sendiri yang begitu bodohnya langsung menerima ajakan untuk pernikahan pura-pura ini.
Dia menangis karena terjebak di tengah keluarga asing yang hanya menilainya dari penampilan, dan karena cinta pertamanya kini berdiri di hadapan sebagai anak tirinya. Sebuah cinta yang seharusnya indah, kini terasa seperti dosa.
Dari kejauhan Ankala mengikutinya, memandang Zevana yang terisak dan tampak rapuh. Angin dingin bahkan seperti tak mengganggunya. Padahal bagian atas tubuh Zevana terbuka dan pastinya dia didera rasa dingin.
Ankala merasa ingin pergi, namun tubuhnya terpaku. Zevana, wanita yang dia anggap gemar memanfaatkan orang, kini tampak rapuh. Tidak ada senyum licik, tidak ada sikap haus harta, hanya seorang gadis muda yang menangis sendirian, terjebak dalam dunia yang terlalu besar untuknya.
Dadanya tiba-tiba nyeri, dia tak mengerti kenapa? Tapi melihat air mata itu membuatnya ikut sedih. Jika benar dia menikahi ayahnya karena uang, kenapa dia terlihat begitu hancur malam ini? Pertanyaan itu terus berdengung di kepalanya.
Ankala kemudian melangkah maju, membuka pintu perlahan, dia melepas jasnya dan memakaikan di punggung Zevana yang menerimanya dengan terkejut. Dia buru-buru menghapus air matanya, lalu menunduk, mencoba menyembunyikan wajah, meski jas milik Ankala kini tersampir di bahunya meninggalkan aroma yang harum.
“Maaf aku enggak bermaksud mengganggu,” ucap Ankala pelan. Dia pun berjalan dan bersandar di pembatas balkon dengan santai, lalu membalik tubuh menatap Zevana. Dimasukkan kedua tangannya ke saku.
“Enggak apa-apa,” jawab Zevana, dia memegang pembatas balkon dan berdiri di samping Ankala, dia mendongak menatap langit yang luas bertabur bintang. Cahaya rembulan tampak bersinar terang dan penuh.
“Langit di sini memang berbeda ya? di Jakarta sangat jarang bisa melihat langit seterang ini,” ucap Ankala.
Hening beberapa saat. Hanya terdengar angin malam yang mendesau perlahan. Zevana mengeratkan jas Ankala yang melekat di tubuhnya.
“Enak ya tinggal di sana?”
“Sama saja, enggak jauh berbeda dengan di sini.” Ucap Ankala pelan. Kecuali kota yang tak pernah tidur itu, hampir semuanya sama.
Lama terdiam, hanya kebisuan yang menguasai percakapan. Lalu Ankala menoleh ke arah Zevana yang kedapatan menatapnya dan buru-buru menunduk, “kenapa kamu menikahi papa?” tanya Ankala pada akhirnya. Bukan marah, melainkan bingung.
Zevana terdiam, jemarinya saling meremas. Matanya kembali basah, namun dia tak mau menjawab.
“Aku ingin tahu alasannya,” desak Ankala meski nada suaranya terdengar lembut,
Zevana hanya menggeleng, berbisik hampir tak terdengar, “aku enggak bisa mengatakan alasannya.”
***