6. Cahaya Tenang

1575 Kata
Kamu adalah cahaya yang kutatap lewat jendela, Senyummu indah laksana surga, Namun, kamu juga adalah ketidakmustahilan. Yang selalu membuatku sadar diri. *** Ankala menatap gadis itu lama, wajahnya yang muram penuh duka. Bukan seperti wajah seorang wanita pemenang loterei. Matanya yang sayup seolah menanggung lelah dan beban. Dia mencari kebenaran di balik wajah itu, namun yang dia lihat hanya seorang gadis yang terluka dan menolak untuk membuat luka lebih dalam. Perlahan dia menarik napas panjang, lalu melangkah mundur seperti hendak menjaga jarak. “Oke, aku enggak akan memaksa kamu,” ucap Ankala. Zevana mengangguk kecil, memaksakan senyumnya yang lebih mirip seperti menggoreskan luka pada dirinya sendiri. Dia melepas jas hitam Ankala yang masih tersampir di bahunya, lalu memberikan pada pria yang merupakan cinta pertamanya, yang bahkan sampai kini masih membuat jantungnya berdebar tak karuan. “Terima kasih,” cicitnya. Sebelum gadis itu pergi, Ankala menoleh sekali lagi. Tatapannya penuh tanya, bercampur dengan rasa iba dan simpati yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. “Aku enggak tahu alasanmu menikah dengan papa, tapi ... kamu enggak pantas diperlakukan seperti tadi.” Zevana terdiam, jantungnya berpacu kian cepat. Kata-kata itu sederhana, namun untuk pertama kalinya malam itu dia merasa tidak sepenuhnya sendirian. Dan di hati Ankala, sebuah dinding yang baru dia bangun dengan amarah pun mulai retak. Dipukul dengan air mata seorang gadis yang seharusnya dia benci, namun justru membuatnya ingin melindungi. Zevana menuju kamar Prabu, dia tak menyangka pesta sudah usai, apakah dia terlalu lama berada di atas? Pria itu sudah melepas jasnya dan menatap Zevana yang tertunduk dan berjalan ingin melewatinya. “Tunggu Zevana,” ucap Prabu. Sorot matanya menatap gadis itu dengan rasa bersalah yang kentara. “I-iya Pa?” ucap Zevana takut. Prabu menghela napas panjang, “maaf atas kejadian hari ini,” ucapnya pelan. Zevana mengangguk kecil. “Ankala yang mengajak kamu ke kamar itu?” tanya Prabu membuat Zevana mengangguk. “Iya, maaf aku hampir membuat papa malu,” ungkapnya. “Saya bersyukur ada dia, saya masih mencari tahu tentang tadi, tapi di kamar itu ... adalah kamar pribadi istri saya. Saya enggak menyangka Ankala membawamu ke sana, padahal dia paling posesif dengan ibunya,” ucap Prabu dengan senyum terpaksa. “Mungkin dia enggak mau aku mempermalukan papa dengan pakaian yang tadi,” ucap Zevana sambil mendongak menatap suami bohongannya itu. Wajah mereka memang cukup mirip, hanya saja Ankala jauh lebih muda. “Jika dia mengizinkan kamu memakai baju ibunya, mungkin dia juga memperbolehkan kamu memakai baju lainnya. Bertemanlah dengan dia selama dia di sini, dia anak yang baik hanya saja kebaikannya sering salah diartikan oleh orang,” ucap Prabu, Zevana hanya mengangguk kecil. “Istirahatlah, kamu lelah,” ucap Prabu yang diangguki oleh Zevana, membuka kamar pribadinya. Dia bisa bernapas lega di kamar itu, perasaannya yang gundah, ada rasa sedih namun juga rasa tenang yang tiba-tiba menyeruak. Tenang karena di rumah yang begitu kokoh ini, ternyata dia menemukan cinta pertamanya yang mungkin tidak sepenuhnya membencinya. Setelah membersihkan diri, Zevana memutuskan untuk beristirahat sepenuhnya. Dia benar-benar mengantuk kini. *** Terbangun dari tidurnya, Zevana membaca pesan dari Prabu yang mengajaknya sarapan bersama. namun Zevana berkata dia akan menyusul. Setelah mandi, Zevana pun keluar dari kamar pribadinya, dia menoleh ke kamar wardrobe milik mendiang ibu Ankala. Langkahnya terarah ke sana, dia ingin memandangnya satu kali lagi. Dia pun menatap baju-baju yang tergantung dengan rapih seperti baru ditinggalkan kemarin. Banyak gaun yang indah di lemari itu. Lalu dia menatap nakas yang atasnya ditutupi kaca, etalase berisi tas-tas dan dia penasaran dengan satu buku sketsa berukuran cukup besar. Dia pun membukanya, tampak banyak sekali sketsa baju di tiap lembarannya. Apakah ibu Ankala adalah seorang designer? Zevana kemudian mendengar dering ponselnya, ponsel yang diberikan oleh Prabu, keluaran terbaru yang juga membuatnya betah berlama di kamar. “Iya Pa, aku ke sana,” ucap Zevana menerima panggilan itu. Waktunya sarapan di pagi hari, rumah itu seperti dibangun dengan peri ajaib. Sepagi ini semua sudah rapih seperti seolah tidak ada pesta malam tadi. Zevana melihat para pelayan rumah itu yang mondar mandir menyiapkan makanan dan keperluan pagi. Lalu dia menghampiri Prabu yang tampak berbincang dengan Ankala di ruang makan. Dia pun duduk di samping Prabu menghadap ke arah Ankala. Dia menatap ke sekeliling, kursi yang biasa ditempati Diana kini ditempati oleh Prabu. “M-mami?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar. “Masih istirahat, semalam terlalu banyak meminum anggur, makanlah dengan tenang Zevana,” jawab Prabu. Entah mengapa Zevana terlihat lebih tenang, senyum kecilnya terbit membuat Ankala menahan tawanya. “Pa, siang ini aku mau cari buku di mall kota. Boleh ajak Zevana, barang kali ada barang yang mau dia beli?” ucap Ankala. Prabu menatap Zevana yang tampak terkejut. “Hmmm boleh, ajak dia jalan-jalan, kasihan dia di rumah terus,” ucap Prabu. “Siap, Pa. Kita shopping Zev, beli semua yang kamu mau di sana, kartu papa unlimited,” tutur Ankala. “Boleh, kah. Pa?” tanya Zevana takut-takut. “Tentu, kamu boleh beli semua yang kamu mau, pakai kartu Ankala dulu, saya masih menyiapkan kartu kamu,” ucap Prabu membuat Ankala mengernyitkan keningnya. Jadi ... Zevana belum mendapatkan uang papanya? Atau selama ini dia mendapat uangnya dengan cara ditransfer? Entahlah. Pagi ini, untuk pertama kalinya sejak menginjak rumah ini. Zevana bisa makan lebih banyak karena tidak takut diinterupsi atau disindir oleh Diana. Dia bisa makan dengan tenang, meski cara makannya menunjukkan kehidupan dia sebelumnya, yang tergesa dan begitu lahap. Padahal saat ada Diana, dia sangat susah menelan makanan yang enak ini. *** Setelah sampai perusahaan, Prabu duduk di ruang kerjanya yang luas, di bawah lukisan ayahnya yang terpajang di dinding. Wajahnya tenang, namun jemarinya mengetuk meja tanpa henti. Ketukan lambat yang menandakan pikirannya sedang bergolak. Dika, asisten pribadinya berdiri di hadapan dengan wajah cemas. “Pak, saya sudah memeriksa semua laporan dari staf malam ini di rumah bapak,” ucapnya. Prabu mengangkat alis tanpa bicara, menyuruhnya melanjutkan. “Gaun yang harusnya dipakai oleh bu Zevana malam ini, bukan gaun itu. Penjahit bersumpah dia mengirim gaun rancangan khusus dengan bordir sutra. Bahkan ibu Diana sendiri yang menerimanya dan bukan kemeja dengan celana robek-robek ala cowboy,” ucap pria tinggi dan tegap itu. Prabu menatapnya tajam, “dan kamu tahu siapa yang menggantinya?” Dika menelan salivanya, sedikit menunduk, “kami memeriksa rekaman CCTV, sesaat sebelum acara di mulai, ibu Diana memberikan gaun itu pada ibu Miralda dan ... ibu Miralda, dibantu oleh seorang pelayan rumah tangga, merusak gaun itu dan mengganti dengan baju yang lain untuk ibu Zevana.” “Miralda?” tanya Prabu yang diangguki oleh Dika. Keheningan menguasai atmosfer. Prabu bersandar pelan di kursinya, matanya terpejam sesaat. Tak ada ledakan emosi dan makian, hanya napas panjang yang keluar perlahan, namun justru ketenangan itu yang paling menakutkan. “Jadi dia ingin mempermalukan Zevana di depan semua orang,” gumamnya pelan. Nada suaranya rendah dan dalam seperti menganduung bara api yang membakar diam-diam dari dalam. Dika mengangguk. “Saya kita begitu, Pak. Kami juga melihat dia memberi instruksi pada dua pelayan baru, mungkin orang suruhannya. Tapi saya belum berani mengambil tindakan tanpa izin bapak.” Prabu berdiri. Dengan langkah tenang dia mengambil jas hitam panjang dari sandaran kursi. Lalu menatap Dika, “siapkan mobil. Sekarang.” “Sekarang, Pak?” “Ya, sekarang.” Pagi menjelang siang ini, namun lampu kristal tetap menyala di toko perhiasan milik Miralda. Wanita itu duduk di balik meja panjang dengan gaun hitam. Menghitung kalung berlian dengan rambut terurai rapi. Dia berada di ruangan khusus VIP yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang pilihan. Hingga manager tokonya bergegas ke ruangan itu. “Bu, ada pak—“ ucapnya terputus. Miralda melihat ke arah pintu masuk ruang VIP itu. “Mas Prabu,” sapa Miralda, senyum menggoda mengembang di wajahnya. Suaranya begitu lembut seperti bisikan angin malam. Prabu berdiri di ambang pintu, tinggi, tegap dengan wajah tanpa ekspresi. Ruangan itu mendadak hening. Miralda mengangguk pada managernya seolah memberi kode untuk meninggalkan mereka berdua saja. “Jadi ... ada hal penting apa yang membuat kamu menemuiku secara pribadi?” tanyanya terkekeh dan sedikit menyelipkan nada manja. “Jangan berimajinasi Miralda,” ucapnya pelan. Miralda tertawa kecil, melangkah mendekat dengan langkah ringan. “Oh kamu marah ya? Karena pesta malam ini? Ayolah mas Prabu. Semua orang tahu gadis itu bukan levelmu. Aku hanya membantu dunia melihat kenyataan.” Prabu menatapnya tanpa berkedip, “dengan menukar gaunnya?” tanya Prabu. Miralda berhenti tertawa, suasana berubah tajam. Angin dari pendingin udara meniup lembut tirai panjang di belakangnya. “Siapa yang memberitahumu hal itu?” tanyanya pelan. “Tidak penting.” Prabu melangkah maju, hingga jarak mereka tinggal sejengkal. “Yang pentng adalah kenyataan bahwa kamu sengaja hampir mempermalukan istriku di depan semua orang. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu inginkan. Kamu ingin membuatnya tampak konyol agar aku malu dan kamu ingin membuat ibuku terhibur. Kamu ingin tempat itu tetap terbuka untukmu.” Miralda menelan salivanya, mundur selangkah, “aku hanya—“ “Diam!” Satu kata itu keluar pelan, namun terdengar begitu berat. Suara yang tidak tinggi namun cukup membuat Miralda membeku. “Dengarkan aku baik-baik Miralda,” ucap Prabu, suaranya pelan seperti gumaman, namun tajam seperti pisau, “jika sekali lagi kamu menyentuh Zevana, menyakitinya, mempermalukannya atau bahkan menyebut namanya dengan niat jahat. Aku pastikan semua toko perhiasanmu di kota ini tutup sebelum matahari terbit pada esok harinya.” Wajah Miralda memucat, “kamu mengancamku?” Prabu tersenyum tipis, “bukan ancaman. Aku hanya menjelaskan konsekuensi, jika kamu ingin bermain dengan Prabu Alvarendra!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN