Kuingin waktu berhenti,
Saat aku berada di dekatmu,
Melihatmu berpeluh keringat,
Melempar bola ke ring,
Yang justru berhasil masuk ke hatiku.
***
Perjalanan terasa sangat canggung pada mulanya. Radio memutar lagu-lagu pop asing, udara pendingin mobil terasa terlalu dingin di kulitnya. Zevana hanya memandangi jendela. Pohon-pohon kelapa sawit berganti menjadi ruko lalu gedung-gedung tinggi dengan papan reklame raksasa.
Ankala sesekali mengajaknya berbicara, terkadang hanya terdengar seperti gumaman belaka.
Zevana tak terbiasa dengan dunia seperti ini, saat dia merantau pun dia tak tinggal di pusat kota. Di matanya, kota tampak seperti panggung yang sangat besar. Orang-orang melintas dengan pakaian indah, senyum yang diatur, tawa yang terdengar palsu. Namun, Ankala tampak begitu selaras dengan semua itu, santai, percaya diri, seolah setiap jalan sudah mengenalnya.
Ketika mobil berhenti di parkiran basement, Zevana sempat menelan salivanya, “Ankala, aku merasa enggak pantas dengan pakaian ini ke tempat seperti ini,” ucapnya dengan gugup.
Ankala menoleh, menatapnya dari balik kaca mata, “kamu sudah pantas kok. Jangan terlalu memikirkan pandangan orang,” ucapnya.
Zevana menunduk, namun diam-diam jantungnya berdebar dengan cepat. Mall itu sangat besar, lantainya mengkilap seperti tak pernah terinjak kaki seorang. Setiap toko tampak seperti dunia yang berbeda yang berwarna sangat indah.
Zevana berjalan setengah gugup di samping Ankala, menahan diri agar tak terlihat norak dan membuat Ankala malu karena dirinya yang tampak seperti orang dari gowa yang baru pertama kali keluar dari hutan.
Ankala berhenti di depan butik pakaian pria, “aku harus beli jas baru, bantu aku pilihkan warnanya,” ucap Ankala.
Zevana tampak tertegun, “aku? Tapi aku enggak tahu soal mode,” ucapnya masih dengan ekpresi yang canggung.
“Bagus dong, artinya kamu jujur,” ucap Ankala tertawa kecil.
Ankala masuk lebih dulu sambil menoleh, “ayo aku butuh bantuan kamu,” ucapnya.
Zevana mengekornya dengan langkah pelan, dalam butik itu seorang staff langsung menyambut dengan senyum profesional. Ankala mencoba beberapa jas, sementara Zevana duduk di sofa kecil. Memperhatikan diam-diam, ada sesuatu yang aneh, Ankala tampak berbeda ketika tersenyum pada orang lain, terlihat lebih dingin dan klise. Namun pada Zevana, senyumnya tampak lebih lembut meski terkadang tampak seperti mengejek.
“Kamu lebih suka warna abu-abu atau biru tua?” tanyanya sambil berputar di depan cermin.
Zevana berpikir sejenak, “yang abu-abu kelihatan lebih muda, lebih ringan, dan enggak kelihatan angkuh,” jawabnya.
“Angkuh?” tanya Ankala sambil menatapnya lewat pantulan cermin.
Wajah Zevana tampak memerah, “maksudku ... maaf aku enggak bermaksud—“
Ankala tertawa, “enggak apa-apa, kamu benar, biru tua terlalu kaku. Aku suka kejujuranmu,” ucapnya. Zevana kembali menunduk, namun dalam hatinya ada sesuatu yang hangat, menjalar ke hatinya.
Setelah ke beberapa toko, mereka berhenti di kafe yang menghadap ke atrium besar. Musik lembut terdengar, aroma kopi bercampur dengan harum kue yang dipanggang dengan mentega.
Ankala duduk bersandar dengan santai, menatap orang-orang berlalu lalang, “dulu waktu mama masih hidup, aku sering di ajak ke sini,” ucapnya tiba-tiba.
“Mama kamu?” tanya Zevana, Ankala mengangguk. Lalu Zevana teringat dengan buku sketsa di ruang ganti.
“Tadi aku ke kamar wardrobe, maaf ya, tanpa izin.”
“Enggak apa-apa, kamu sudah menikah dengan papa, seharusnya itu jadi kamarmu juga,” ucap Ankala, kembali menyesap kopinya.
“Dan aku enggak sengaja melihat buku sketsa gaun, sangat indah, tapi sepertinya banyak yang belum selesai?”
Ankala tersenyum, senyumnya tampak lebih lembut, namun menyimpan duka di baliknya, dia meletakkan gelas kopinya dan menatap Zevana, “namanya Kalinda, mama itu desainer. Tapi bukan desainer besar. Hanya perempuan yang suka kain dan jarum. Kebetulan kakek dari mama dulu adalah pengusaha kain, jadi mama terbiasa dengan hal itu. Dia punya ruang jahit sendiri di rumah. Waktu kecil aku suka terbangun dengan suara mesin jahit yang terdengar seperti detak jam.”
Zevana mendengarkan tanpa berani menyela, “dia juga punya butik kecil di kota ini. Butik itu dulunya ramai. Tapi setelah mama meninggal. Enggak ada yang meneruskannya. Papa terlalu sibuk dengan perusahaannya, dan aku ... aku enggak tahu apa-apa tentang dunia itu.”
“Kenapa butiknya enggak dijual?” tanya Zevana berhati-hati.
“Entah, mungkin papa enggak tega. Atau mungkin dia enggak mau kehilangan apa pun yang mengingatkannya sama mama,” ucap Ankala yang kemudian menatap Zevana, “kamu mau lihat?”
“Lihat apa?”
“Butik itu. Masih ada meski tutup bertahun-tahun. Kalau kamu mau, aku bisa ajak kamu ke sana,” ucap Ankala.
Zevana mengerjapkan matanya, “sekarang?”
Ankala mengangkat bahu, “kenapa enggak?” tanyanya. Lalu dia memutar sendok di gelas kopinya, mengedikkan dagu seolah meminta Zevana juga menikmati santapan itu.
“Kamu kenapa enggak kuliah? Kamu enggak punya impian?” tanya Ankala.
Zevana menyesap kopi lattenya dengan gugup, matanya menghindari tatapan Ankala. Impian? Dulu impiannya adalah bisa menikah dengan Ankala lalu hidup bahagia seperti di dongeng-dongeng. Namun, dia sendiri yang merasa telah menghancurkan impian itu.
Zevana menggeleng, “aku bukan dari keluarga kaya raya, aku juga enggak pintar jadi enggak dapat beasiswa untuk kuliah,” ucap Zevana.
“Enggak pintar di bidang akademik kan belum tentu juga enggak pintar di non akademik, coba kamu gali bakat kamu sendiri. Kamu suka melakukan apa? Hobi apa? Menggambar? Menulis?” tanya Ankala membuat Zevana hampir tersedak. Tak mungkin dia berkata dia memiliki hobi menulis, dia khawatir suatu hari Ankala akan mengingat buku puisi memalukan yang dibuatnya itu.
Pada akhirnya Zevana hanya menggeleng kecil, “enggak ada,” cicitnya.
Ankala menatapnya lekat, dalam hati berkata, apakah ada seorang yang enggak memiliki impian? Atau dia memiliki impian namun menidurkan impian itu karena merasa tak bisa menggapainya?
Perjalanan ke butik tua itu memakan waktu setengah jam. Mereka meninggalkan keramaian kota, memasuki kawasan yang mulai sepi. Sebuah bangunan yang berdiri kokoh dengan gerbang tinggi putih yang menjulang, catnya terkelupas. Ankala turun dari mobil dan membuka gerbang itu dengan kunci yang selalu dibawanya.
Setelah gerbang terbuka, dia mengarahkan mobilnya ke dalam. Rumput tumbuh di antara celah paving block. Nama butik itu pudar oleh waktu.
Mobil berhenti di depan bangunan itu, di atas pintu kaca ada papan bertuliskan Kalinda Atelier. Masih tergantung miring, huruf-hurufnya terkelupas sebagian namun masih bisa dibaca.
Zevana memandanginya lama, ada sesuatu yang lembut, seperti nostalgia pada moment yang bukan miliknya.
Ankala turun lebih dulu, lalu membuka pintu dengan kunci tua dari gantungan kecil di saku. Pintu itu berderit pelan, mengeluarkan aroma debu dan kain lama.
Zevana melangkah masuk perlahan, mengedarkan pandangan ke sekitar, banyak gaun yang masih tergantung di manekin. Sofa yang ditutup oleh kain putih, juga foto-foto yang dipajang di dinding.
“Indah banget,” ucap Zevana memegang salah satu gaun berwarna merah terang yang tampak begitu mewah dan indah.
Ankala tersenyum kecil, “dulu jauh lebih indah, dinding penuh sketsa, mama dan karyawan yang mondar-mandir saat ada pengunjung, juga orang-orang yang datang untuk melihat-lihat pakaian yang dibuatkan mama, tak jarang mereka sudah membawa bahan dan mama mengukurnya dengan senyum yang lebar.”
Ankala berjalan ke sudut ruangan, menyentuh mesin jahit tua berwarna hitam dengan ukiran emas, “Mama sering duduk di sini sampai malam, kadang aku ketiduran di sofa. Aku masih ingat bagaimana dia memegang kain, seperti memegang anaknya sendiri,” ucap Ankala.
Zevana berdiri di sampingnya, matanya menyapu ruangan, melihat potongan kain di lantai, kotak berisi pita-pita, beberapa buku pola yang sudah menguning. Di salah satu rak dia melihat buku sketsa mirip seperti yang dilihatnya di kamar wardrobe milik mendiang ibu Ankala.
“Boleh aku lihat?” tanyanya ragu.
“Tentu,” jawab Ankala,
Zevana membawanya ke sofa yang sudah dibuka penutupnya oleh Ankala, sementara Ankala duduk di sampingnya, begitu dekat hingga Zevana merasa jantungnya nyaris copot dan lompat dari tempatnya semula.
Namun, dia berusaha bersikap biasa saja dengan membuka buku itu perlahan, di dalamnya, ada puluhan gambar gaun, beberapa tampak sederhana, beberapa tampak lebih berani dan seksi. Semuanya di gambar dengan tangan lembut yang begitu mendetail, dan di salah satu halaman ada catatan kecil, “keindahan bukan pada kainnya, tapi pada jiwa yang memakainya.”
Zevana membacanya berulang kali. Kata-kata itu seperti menusuknya dengan rasa yang aneh, seperti sesuatu yang memanggilnya dan menggetarkan hatinya.
“Kamu tahu?” ucap Ankala sambil menoleh ke arah Zevana, mata mereka bertatapan dengan lekat, lalu Zevana memutuskan pandangan itu dengan memilih menatap buku di tangannya. “Kadang aku ngerasa bersalah, karena butik ini mati begitu saja. Aku bisa menyelamatkannya kalau aku mau, tapi aku enggak pernah mencoba,” ucap Ankala.
Zevana menutup buku itu perlahan, “saat itu usia kamu masih sangat muda, Ankala. Bukan tugas kamu menyelamatkanya, mungkin kamu hanya harus menunggu orang yang menghidupkannya kembali?”
Ankala menoleh, “apa itu artinya aku harus menikahi seorang desainer juga?” tanya Ankala membuat Zevana terdiam dan berdiri lalu meletakkan buku sketsa itu di raknya, “kamu boleh membawa buku itu pulang, siapa tahu kamu jadi punya impian baru?”
“Contohnya?” tanya Zevana yang tak jadi meletakkan buku itu.
“Ya jadi desainer seperti mamaku,” ucap Ankala sambil tertawa, mengusir rasa canggung di antara mereka.
“Lalu menikah denganmu?” tanya Zevana yang kemudian mengatupkan mulutnya. Mengapa dia bisa sebodoh itu mengucapkan kata-kata yang dia sesali kemudian?
Ankala menjentik keningnya, “kamu ibuku, bodoh! Mana bisa kita menikah meski seusia,” kekehnya, “ayo pulang. Karena kalau malam, manekin itu bisa bergerak sendiri,” ujar Ankala sambil berjalan cepat. Zevana merasa bulu kuduknya meremang. Sebuah benda jatuh dan dia berlari cepat, sangat cepat, bahkan meninggalkan Ankala yang masih ada di dalam.
Ankala tertawa sangat keras dan menatap Zevana yang sudah membungkuk kelelahan karena berlari sangat kencang. Wanita itu berada di samping mobil Ankala, tangannya menggenggam kuat buku sketsa gaun rancangan Kalinda.
“Kamu kayak atlet saat ketakutan,” kekeh Ankala. Zevana mendengus, namun tawa Ankala begitu kencang, dan saat melihat wajahnya yang tertawa, hati Zevana kembali berdesir. Apakah dia berdosa jika dia ingin melihat tawa itu lebih lama?
***