Andai rahasia bisa berbicara,
Dia pasti akan menyebut namamu,
Lalu terbang bersama angin dan membawanya pergi.
***
Perjalanan pulang terasa seperti lebih panjang karena Ankala mengambil jalan memutar, entah apa yang ada di pikirannya?
Zevana memegang buku itu erat seperti tak mau ketinggalan. Ketika hari mulai malam dan cahaya tak mampu menyinari gambar di dalam buku sketsa itu. Baru lah Zevana menutup bukunya, membiarkan buku itu berada di pengangan tangannya di atas pangkuan.
Ankala memperhatikan wajah Zevana dari samping, sorot matanya yang terpaku pada sketsa itu, dan binar yang terpancar dengan sangat jelas seperti menemukan dunia baru yang tak pernah ada di genggaman tangannya.
“Kalau kamu mau,” ucap Ankala perlahan, “aku bisa membantumu belajar. Di rumah papa ada ruang menjahit mama, mesin-mesinnya pasti masih bisa dipakai, ada banyak kain juga.”
Zevana menoleh dan tampak terkejut, “aku?” tanyanya menunjuk diri sendiri.
“Kenapa enggak? Kamu bilang kamu enggak punya impian, siapa tahu menjadi desainer itu ternyata adalah mimpimu yang enggak kamu sadari,” ucap Ankala. Sesuatu merasuk ke dalam hati Zevana seperti cahaya terang yang dibiarkan terus mengisi lorong gelap yang tak pernah dibukanya.
“Kamu bisa minta papa sekolahin kamu di sekolah designer, papa pasti memberi izin. Setelah itu kamu bisa langsung praktek,” imbuh Ankala karena Zevana hanya terdiam tampak meresapi semua kata-kata pria itu.
“Aku hanya gadis desa Ankala. Aku bahkan enggak tahu cara mengukur pakaian dengan benar.”
“Enggak ada designer yang baru memulai langsung bisa Zev, semua juga butuh proses, enggak penting dari mana kamu berasal, yang penting keberanian kamu saat memulai.”
Zevana menatap pria itu lama, lalu menunduk. Di dadanya sesuatu bergerak perlahan, sebuah harapan. Harapan yang sudah lama tidak dia miliki sejak dunia runtuh satu per satu di hidupnya.
“Apa kamu yakin aku bisa menjadi designer?” tanya Zevana seperti gumaman lirih pada dirinya sendiri.
Ankala mengangguk, “saat kamu melihat buku sketsa itu, aku bahkan bisa melihat betapa kamu jatuh hati, aku yakin kamu bisa.”
“Terima kasih,” ucap Zevana pelan.
“Untuk apa?” tanya Ankala sambil mengernyitkan kening.
“Untuk hari ini, aku lupa kapan terakhir aku merasa hidup. Aku seperti bisa bernapas lagi.”
Ankala menatapnya, tidak berkata apa-apa. Hanya menatap lama, seperti ingin menyimpan momen itu dalam ingatan.
Zevana menatap lagi buku yang bertengger di pangkuannya. Dia tersenyum tipis sambil berharap bahwa suatu waktu impiannya menjadi nyata. Dia bisa melanjutkan sekolah dan menjadi seseorang yang dibutuhkan, seorang yang berhasil.
***
Malam tampak sendu di rumah besar milik keluarga Prabu Alvarendra, cahaya samar menerangi tembok-tembok kolonialnya dengan kabut lembut.
Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti istana tua yang berdiri di antara pohon-pohon flamboyan, tampak kokoh di bawah cahaya bulan yang pucat.
Jam antik di ruang tamu berdetak lembut, suaranya seperti denting yang menandai betapa sunyinya tempat itu.
Di ruang tamu yang luas dengan langit-langit tinggi dan jendela berbingkai kayu jati, Diana duduk di kursi berlapis kain beludru merah tua.
Wanita berusia tujuh puluh lima tahun itu tampak seperti potret dari masa lalu yang tak pernah memudar. Rambutnya putih bersih dan ditata rapi dalam sanggul kecil, wajahnya halus dengan garis ketegasan di setiap sudut.
Di jarinya berkilau cincin zamrud tua, peninggalan suaminya. Seorang pria berdarah bangsawan lokal yang dulu dikenal keras namun dermawan.
Segelas teh melati terletak di meja kecil di sampingnya, sudah dingin. Dia menatap jam dinding sekali lagi lalu menarik napas perlahan.
“Sudah jam sembilan lewat,” ucapnya tenang, namun dingin, “Ankala belum pulang.”
Seorang pelayan muda yang berdiri di sudut ruangan menunduk dalam, “benar Nyonya, tuan muda berangkat sejak siang tadi bersama ibu Zevana.”
Diana menoleh pelan, sorot matanya terlihat runcing, senyumnya tampak sinis, “bersama siapa tadi?”
Pelayan itu menelan salivanya dengan kasar, “ibu Zevana, Nyonya.”
“Oh,” cicitnya, bibir Diana melengkung pelan, senyum yang lebih menyerupai pahatan dingin di wajah porselennya, “jadi benar yang kudengar?” tanyanya seolah pada diri sendiri.
Dia menatap kosong ke arah jendela besar di seberang ruangan, tempat gorden tipis bergoyang karena angin. Dalam cahaya remang, matanya tampak seperti bayangan kelam yang hidup, “kamu tahu?” ucapnya pelan. “Ada hal-hal yang tidak pantas dilakukan seorang perempuan muda di rumah ini. Terutama jika dia belum tahu batas tempatnya berdiri.”
Dia menyadari Prabu yang mendekat ke arahnya, “tinggalkan kami,” ucapnya dengan suara lembut, “katakan pada yang lain untuk memastikan ruang makan sudah siap jika mereka pulang. Saya tidak suka tamu disambut dengan makanan yang dingin.”
Pelayan itu bergegas pergi, begitu pintu menutup. Suara langkah kaki lain terdengar mendekat dari arah koridor. Prabu muncul, mengenakan kemeja gelap, kancing atasnya terbuka dan rambutnya sedikit berantakan. Wajahnya lelah namun tenang, meski hari ini dia mengalami hari yang buruk karena Miralda. Namun, itu tak menggoyahkannya, dia sudah terlalu sering menanggung badai.
“Mami belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.
Diana menegakkan tubuhnya sedikit, “bagaimana aku bisa tidur jika cucuku belum juga pulang?”
Prabu menarik napas panjang, “Ankala sudah dewasa, Mi. Mungkin dia masih ada urusan di kota.”
Diana mendengus, bukan marah. Namun terdengar seperti seorang yang mengasihani kebodohan orang lain.
“Urusan? Di kota? Bersama perempuan itu?”
Prabu memandang ibunya, matanya tetap tenang meski ada sedikit raut kelelahan di sana.
“Zevana hanya menemani, enggak ada yang perlu mami cemaskan.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan?” Diana mengulang kata-kata itu seperti meniru nada suara Prabu. “Prabu, aku sudah hidup lebih lama dari semua perempuan di rumah ini. Aku tahu jenis perempuan berbahaya bukan hanya dari caranya berbicara, tapi justru dari caranya diam.”
Dia mengangkat cangkir tehnya, menyesap sedikit, lalu meletakkannya kembali, “dan gadis itu, diamnya hanyalah cara paling aman untuk dianggap polos.”
Prabu tidak langsung menjawab, dia tahu ibunya. Dia tahu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu terukur dan terselubung makna.
“Mami,” panggilnya pelan, “Zevana tidak punya niat buruk. Aku hanya mencoba membantunya.”
“Tidak punya niat buruk? Kamu terlalu lembut Prabu. Kamu tahu banyak pria kehilangan wanitanya karena hatinya terlalu lembut. Mereka gemar mencari sosok lain yang jauh lebih membuat mereka tertantang untuk memiliki. Kamu tahu itu?”
Prabu memalingkan pandangan, menatap perapian yang sudah lama tidak dinyalakan, “Zevana tidak seperti itu,” ucapnya pelan.
“Tidak seperti itu?” Diana mengulang lagi, suaranya terdengar lembut, namun matanya tampak menyala, “dia datang dari mana Prabu? Dari ladang sawit? Dengan tangan yang bahkan belum tahu cara memegang sendok perak dengan benar. Sekarang dia tidur di kamar lantai atas, makan di meja keluarga dan dipanggil ibu atau nyonya oleh semua orang di rumah ini.”
Diana mencondongkan tubuh ke depan, nadanya masih tenang, namun mengandung tekanan yang tak terlihat, “dan kamu menganggap itu bukan masalah?”
Prabu tetap diam. Dalam diamnya, Diana merasa menang. Atau setidaknya dia mengira begitu.
Beberapa detik berlalu dalam hening, hanya bunyi jarum jam yang mengisi ruangan yang justru terdengar kian sendu, “aku tidak menyalahkan perempuan itu sepenuhnya,” ucap Diana lembut, “aku tahu orang miskin selalu mencari tempat berteduh. Tapi aku tidak akan membiarkan keluarga kita menjadi payung bagi siapa pun yang hanya datang untuk berlindung dari hujan, lalu ... membawa pergi benda berharga di kantungnya!”
Prabu menatap ibunya cukup lama, tangannya mengurut kening yang terasa mulai pusing, “kadang Mi, orang berlindung bukan karena ingin menumpang, tapi karena tidak punya tempat untuk pulang.”
Diana tidak menanggapi, tapi di balik senyum tipisnya ada sesuatu yang terasa mulai tegang, “jika kamu begitu kasihan padanya, kamu hanya harus menjadi orang tua angkatnya, bukan suaminya.”
Prabu memanggil pelayan lain dengan suara yang lembut nyaris berbisik, “cari tahu di mana Ankala sekarang? Apakah dia sudah dalam perjalanan pulang?” ucapnya.
Pelayan itu segera pergi, meninggalkan keheningan yang terasa lebih dingin. Diana berdiri, melangkah pelan ke arah jendela besar. Dari sana, dia bisa melihat halaman luas yang tampak sunyi di bawah cahaya bulan.
Pohon flamboyan bergoyang ringan, menimbulkan bayangan yang menari di permukaan lantai marmer.
“Aku hanya ingin memastikan,” ucapnya sambil melipat tangan di d**a dan menoleh, “kamu tahu reputasi keluarga ini dibangun selama puluhan tahun. Satu kesalahan kecil saja darinya, Prabu. Bisa menjatuhkannya.”
Prabu tidak menjawab, dia tahu percuma berdebat malam ini, dia menghampiri ibunya dan berdiri di sampingnya, memandang halaman luas yang juga mengarah ke jalan masuk memanjang ke arah rumah, “mami sebaiknya beristirahat,” ucapnya dengan suara yang datar namun terdengar sopan, “Ankala akan pulang sebentar lagi.”
Diana menoleh dengan perlahan, matanya menatap dalam dan bibirnya tersenyum miring, “semoga kamu benar Prabu, semoga semua ini hanya bentuk kekhawatiran seorang ibu tua.”
Prabu mengangguk kecil, lalu membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruangan. Begitu pintu tertutup di belakangnya, Diana masih berdiri lama di dekat jendela. Cahaya lampu meja membuat sebagian wajahnya tampak tenggelam dalam bayangan.
“Perempuan muda itu,” bisiknya lirih seolah berbicara pada bayangannya sendiri, “dia mungkin terlihat lembut dan tidak tahu apa-apa. Tapi aku sudah hidup cukup lama untuk tahu bahwa racun paling manis selalu disajikan dalam gelas paling polos.”
Diana kemudian berjalan pelan menuju kursinya dan duduk kembali, dia menatap jam antik yang berdetak dengan pelan. Waktu berjalan namun pikirannya tak henti bekerja. Seorang pelayan datang lagi membawa kabar. Diana menatapnya tajam namun tersenyum tipis.
“Aku ingin tahu, kemana tuan muda pergi sore tadi?” tanya Diana.
Pelayan itu menunduk, “ke kota bersama ibu Zevana.”
“Ya, tepatnya ke mana?”
“Saya dengar mereka mampir ke pusat perbelanjaan, lalu tuan muda mengajak ibu Zevana mengunjungi butik Kalinda Atelier punya mendiang ibunya yang sudah terbengkalai, mungkin hanya untuk bernostalgia.”
Diana tersenyum lagi, senyum yang hanya sampai di bibirnya saja, “ah belanja. Betapa cepatnya perempuan itu belajar tentang dunia baru mereka.”
Pelayan itu masih menunduk, tak berani menatap wanita yang paling disegani di rumah besar ini. “Terima kasih, itu saja.”
Setelah pelayan itu pergi, Diana menatap cangkir tehnya, dia menyesap tehnya sedikit lalu berbisik pada dirinya sendiri, “baiklah Zevana, jika kamu ingin menjadi bagian dari keluarga ini, mari kita lihat seberapa lama kamu bisa memainkan peran itu?”
Jam bedentang pelan di ruang besar itu. Angin malam menyelinap masuk dari celah jendela, menggoyangkan tirai putih. Dan di kursinya Diana tersenyum tipis, bukan senyum seorang ibu yang lembut, namun senyum yang menununjukkan bahwa dia yang memegang kuasa di rumah itu dan takkan pernah ada yang bisa menggantikannya.
***