9. Ciuman Pertama

1586 Kata
Aku tahu bukan satu-satunya, Aku juga bukanlah yang pertama, Namun, aku berani mengatakan, Bahwa akulah yang paling tulus di antara semuanya. *** Mobil berhenti di pelataran rumah mewah itu, sebelum pelayan membukakan pintu. Ankala masih mengunci pintu mobil tersebut sehingga Zevana tak bisa keluar. “Zevana,” panggil Ankala pelan, membuat wanita itu menoleh, “boleh aku jujur?” tanyanya. Zevana menatapnya dengan sedikit tegang, “tentu,” cicitnya pelan. “Aku enggak tahu kenapa? Dan entah sejak kapan? Setiap kali aku melihatmu, ada sesuatu yang terasa familiar. Seperti aku pernah mengenalmu sebelumnya.” Zevana tersenyum kecil, “mungkin kamu hanya salah ingat,” ucapnya. “Mungkin,” jawab Ankala. Tapi dia masih menyangsikan dirinya sendiri. Ada sesuatu di mata gadis itu, cahaya lembut yang mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. Namun, dia tak bisa menebak di mana dia pernah melihat atau bertemu dengannya. Pintu kemudian dibuka oleh pelayan, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lampu-lampu halaman sudah menyala menerangi taman yang tertata rapi. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Zevana sedikit menunduk ketika turun dari mobil. Dia berjalan sangat perlahan seperti tak mau meninggalkan jejak suara, namun begitu mereka memasuki pintu utama, aroma teh melati langsung menyeruak, dan di ruang tamu, Diana masih duduk di kursinya seolah menunggu sejak senja. Cahaya lampu meja menyorot wajahnya yang tenang, namun kaku, “selamat malam,” sapanya. Suaranya terdengar lembut namun ... begitu menusuk, “perjalanan kalian menyenangkan, saya harap.” Ankala tampak sedikit terkejut, “Oma belum tidur?” tanyanya menghampiri Diana dengan langkah yang terukur. “Bagaimana aku bisa tidur, kalau cucuku dan istri dari ayahnya belum juga pulang,” ucapnya, menyesap tehnya perlahan, “kamu tahu betapa tak sopannya membuat orang tua menunggu?” Nada suaranya tak tinggi, namun setiap kata seperti jarum kecil yang disembunyikan di balik gaun. Zevana menunduk dalam-dalam, tak berani berkata apa-apa. Meskipun dia tahu Diana menunggu kata-kata darinya. “Maaf,” cicit Zevana, “kami enggak bermaksud membuat—“ “Tidak apa-apa Zevana,” potong Diana pelan, senyum terukir di bibirnya begitu tipis dan tampak seperti seringaian, “aku hanya khawatir, perempuan muda sepertimu mudah tersesat di kota besar. Apalagi jika ditemani pria tampan seperti Ankala, cucuku.” Ankala menatap neneknya dengan sedikit kesal di wajahnya, “Oma, kami hanya—“ “Aku tidak menuduh apa pun, Sayang,” ujar Diana cepat, nada suarnaya masih terdengar manis, “hanya mengingatkan. Dunia ini suka salah paham, apalagi pada hal-hal yang tampak indah namun ... tak pernah bisa dimiliki.” Zevana menunduk lagi, wajahnya menegang, dia menyadari bahwa dia tak bisa membalas, dia pun tak bisa melakukan apa-apa yang berarti. Sementara Ankala hanya bisa menarik napas panjang. Saat itu Prabu muncul dari koridor, sudah mengenakan pakaian rumah. Wajahnya tampak lelah namun tetap berwibawa. “Sudah cukup Mi,” ucapnya tenang, “aku sudah bilang, Zevana pergi dengan izin dariku, tidak perlu diperpanjang.” Diana menatap anaknya dengan senyum lembut yang lagi-lagi hanya seutas di bibirnya, tak sampai ke matanya, “tentu Prabu, aku hanya ingin memastikan semua baik-baik saja.” Pramu menatap Zevana sebentar, lalu dia berucap, “kamu pasti lelah Zevana, istirahatlah.” Zevana menunduk sopan. “Terima kasih, Pa,” jawabnya. Dia berjalan cepat melewati koridor, sementara Diana mengamati punggungnya yang menjauh lalu berbisik pada drinya sendiri, cukup pelan agar hanya dia yang bisa mendengar, “anak itu, semakin pandai memainkan perannya.” Di kamar Prabu, Zevana segera menekan tombol untuk menuju kamarnya, dan bersandar pada kayu dingin itu, napasnya berat. Dia tidak menangis, namun matanya basah. Dia tahu Diana tak akan mudah menerimanya, ditambah dia kini cukup dekat dengan cucunya. Membuat wanita tua itu pasti tak berhenti mencurigainya. Dan di antara mereka, Prabu selalu berada di posisi yang sulit. Antara hubungan darah dan belas kasih. Namun, di antara ketakutannya, ada sesuatu yang aneh tumbuh dalam dirinya. Kehangatan lembut yang muncul saat Ankala menatapnya di butik tadi, tatapan pria itu dan caranya tertawa serta bergurau padanya, terlihat seperti bukan cara anak berinteraksi dengan istri dari ayahnya, tapi ada sesuatu yang lebih rumit dan lebih berbahaya. Sementara itu di bawah, Diana menatap Prabu yang masih berdiri di dekat koridor, “kamu tahu Prabu,” ujarnya pelan dan dingin, “aku bisa mencium bahaya, bahkan sebelum dia mengetuk pintu. dan malam ini aku mencium sesuatu yang tidak beres.” Prabu menatap ibunya, menahan emosi, “mami berpikir terlalu jauh.” “Mungkin,” jawab Diana sambil berdiri, sementara Ankala sudah pergi lebih dulu setelah Prabu mengedikkan dagunya memintanya segera beristirahat. Diana melanjutkan kata-katanya, “tapi naluri seorang ibu jarang salah.” Diana kemudian meninggalkan Prabu yang berdiri diam di ruang itu, lalu melangkah pelan menuju kamarnya. Di kamar dia melihat pintu rahasia menuju kamar tersembunyi Zevana terbuka, namun wanita itu masih berdiri mematung seperti menunggunya. “Ada apa Zevana?” tanya Prabu. “Maafkan aku, Pa. Tadi kami pulang kemalaman, jadi membuat mami ... seperti itu,” ucap Zevana menyadari andilnya yang membuat Diana tampak begitu dingin. Prabu hanya menghela napas panjang, “sudahlah jangan dipikirkan, jadi tadi beli apa saja?” tanya Prabu. Zevana bahkan terlupa kantung belanjanya yang tertinggal di mobil, “hanya beberapa potong baju dan buku novel,” jawab Zevana. “Lalu?” tanya Prabu seperti mulai penasaran, dia pun menyadari bahwa dia harus menjaga hubungan baik dengan wanita yang diakui sebagai istrinya, meski hanya berpura-pura. Dia menatap tangan Zevana yang memegang buku sketsa. Zevana melihat arah pandangan Prabu. “Ankala mengajakku ke butik milik mendiang istri papa,” ucap Zevana. Prabu tampak mengernyitkan keningnya, dia mulai bingung dengan apa yang terjadi ada putranya. Tak biasanya Ankala membuka dirinya seperti itu? Terlebih pada orang yang baru dikenalnya. Dia sempat berpikir Ankala akan bersikap dingin pada Zevana dan tak bisa menerima kehadirannya yang menggantikan posisi ibunya di rumah ini, namun, mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Seperti dia justru membuat Zevana berada di posisi ibunya? Sejak awal dia memberikan gaun ibunya pada Zevana, lalu mengajak ke kamar wardrobe, kini dia mengajaknya ke Kalinda Attelier. “Kalinda Attelier?” tanya Prabu memastikan. Zevana mengangguk, masih teringat aroma debu dan kain yang masih tertinggal di butik yang sudah terbengkalai itu. “Aku ... aku membawa buku punya ibu Kalinda, Ankala yang mengizinkannya. Tapi kalau papa enggak setuju, aku bisa mengembalikannya—“ “Enggak apa-apa kamu simpan saja. tapi ... apa yang membuat kamu tertarik dengan buku sketsa itu?” tanya Prabu. Zevana tersenyum begitu lebar, senyum pertama yang Prabu lihat sejak wanita itu dibawa ke rumahnya. “Aku tertarik sama desain dan model baju-baju yang digambarkan Bu Kalinda, rasanya hangat dan membuatku ingin mewujudkannya, tapi aku enggak tahu sama sekali tentang cara menjahit apa lagi memotong pola,” kekeh Zevana, lalu dia menyadari Prabu yang menatapnya lekat membuatnya mengendurkan senyumnya dan mengerucutkan bibirnya agar tak lagi tersenyum. Hal yang tak dia duga justru terjadi, Prabu terkekeh dan menggeleng geli. “Kamu mau belajar menjahit?” tanya Prabu. Zevana menggeleng dengan keras, “bukan itu, anu ... ya aku mau belajar tapi bisa pakai video tutorial kan?” ucap Zevana. “Kalau nyontek video begitu, kapan kamu bisa membuat gaun-gaun yang bagus itu?” kekeh Prabu, menyadari betapa polosnya wanita di hadapannnya yang tak pernah meminta apa pun darinya. Zevana menggaruk keningnya, tampak berpikir, lalu dia tak menemukan jawabannya, “saya bisa menyekolahkan kamu, jurusan desainer, tapi itu berarti kamu harus pulang balik kota, karena jika saya mengirimmu ke ibu kota, orang-orang akan semakin curiga dengan kita.” “Jangan Pa, itu terlalu berlebihan, aku bisa diberi tempat tinggal di sini saja sudah sangat bersyukur, apalagi aku enggak perlu susah payah membayar hutang orang tuaku,” ucap Zevana. “Kamu pantas mendapatkannya Zevana, besok kamu coba minta pendapat Ankala, sekolah designer terbaik di kota ini, sekarang istirahatlah karena sudah malam. Oiya, kamu bebas keluar masuk kamar wardrobe, dan besok saya akan minta Ankala mengantar kamu ke ruang menjahit milik ibunya, ada di lantai atas,” ucap Prabu. Mata Zevana tampak berbinar, dia pun mengangguk antusias, “terima kasih Pa, selamat malam,” ucap Zevana yang kemudian memasuki kamar pribadinya. Lalu pintu itu tertutup. Prabu hanya menghela napas panjang, dia duduk di ranjang dan menatap potret istrinya yang berdiri bersamanya mengapit Ankala di tengah mereka. Hanya menatapnya beberapa detik, sebelum dia tertidur. *** Keesokan harinya, tepat setelah sarapan yang menegangkan karena Diana pun hadir di sana. Ankala mengajak Zevana ke ruang menjahit milik ibunya. Tentu saja setelah Diana pergi, yang katanya menghadiri acara di pusat kota. Zevana terhenyak melihat ruangan yang berdinding putih itu, tampak sangat bersih dan terawat. Dia yakin pelayan merawat ruangan itu dengan baik. Setelah berbincang tentang Zevana yang diperbolehkan sekolah designer oleh Prabu. Kini Zevana mulai melihat kain-kain yang begitu banyak di ruangan itu, yang masih digulung, dia memegangnya satu persatu, begitu indah dan lembut. “Kualitasnya pasti yang terbaik, beruntung ruangan ini dirawat dengan baik sehingga kain-kain itu tidak pudar atau rusak,” ucap Ankala berdiri di samping Zevana. Wanita itu membuka satu kain yang ternyata bahannya sangat licin hingga menguntai di kakinya, “aduh bagaimana merapikannya?” ucap Zevana sambil menunduk, namun saat dia hendak mengambil gulungan yang terjatuh, kakinya justru tersandung kain itu, dia hampir terjatuh, jika saja Ankala tak menarik tangannya, namun sialnya kain sutra itu juga membuat keseimbangan Ankala hilang dan mereka jatuh berdua. Ankala menindih Zevana, dan tak sengaja mengecup bibirnya. Mata mereka bertatapan. Zevana bisa merasakan bibir itu yang begitu lembut berada di atas bibirnya. Jantung mereka nyaris berhenti berdetak. Namun ada sesuatu yang seperti menarik mereka untuk tak saling melepaskan. Sesuatu yang mungkin akan mereka sesali nantinya! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN