Part 5 : Curious

1918 Kata
"Jemput aku sekarang juga, atau aku akan menelpon Ayah untuk menikahkan kita besok." Begitulah ucapan Cherry yang tergiang-ngiang di kepala Rendy beberapa menit yang lalu hingga ia kini harus mengendarai mobilnya dengan secepat kilat. Sial sekali, ia baru saja akan menikmati makan siangnya sebelum mendapat telpon terkutuk itu. Padahal, Rendy sudah mencoba komplain selembut mungkin, tapi gadis cilik itu tak mau tahu, Rendy harus menjemputnya sekarang juga. Bagai sudah jatuh, tertimpa tangga pula, karena terlalu terburu-buru, Rendy hampir saja menabrak seorang pria paruh baya yang sedang menyebrang jalan. Dengan buru-buru juga tangan yang masih bergetar, Rendy menepikan mobilnya dan segera menghampiri pria itu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir memegangi pundak kakek yang membawa tongkat sebagai pegangannya. Kakek itu hanya menunjukan telapak tangan pada Rendy, memberi kode bahwa ia baik-baik saja dan kembali berjalan gontai. Rendy mencoba membantunya, menuntun pelan kakek itu hingga tempat yang dituju. "Terimakasih," ucapnya dengan senyuman. Rendy merasa sangat lega karena sang kakek tidak marah kepadanya. Setelah dirasa aman, Rendy mengingat tujuan awalnya, ia menepuk jidat dan berniat kembali ke dalam mobil yang ia tinggalkan cukup jauh. Tapi, ia menghentikan langkah ketika seseorang mencuri perhatiannya. Lelaki yang ia lihat di seberang jalan, sedang bersama seorang wanita, lelaki yang adalah pacar Liora yang baru saja ia lihat kemarin, dan wanita yang bersamanya saat ini, jelas sekali bukan sosok Liora. Rendy mengamati keduanya, mereka baru saja keluar dari lobby hotel dan masuk ke dalam mobil yang sama, yang juga sama dengan mobil kemarin, tangan pria itu melingkar di pinggang si wanita. Rendy menyunggingkan senyumnya. Saudara? Atau selingkuhan? Rendy akan memastikan itu nanti. Sekarang yang terpenting adalah menjemput sang tuan puteri. . "Lama sekali," gerutu Cherry ketika melihat sosok Rendy masih bertengger manis di dalam mobilnya. Jujur saja, Rendy tak ingin turun untuk mendekat ke arah Cherry. Apa kata dunia nanti jika ia terpergok menjemput seorang gadis belia berseragam sekolah? Tak menunggu apapun lagi, Cherry segera masuk ke dalam mobil Rendy karena cuaca yang cukup panas, terlebih, teman-temannya sudah meninggalkannya beberapa menit yang lalu. "Bahkan wajah kesalmu saja terlihat cantik," gombalan Rendy ketika Cherry sudah duduk di kursi sebelah. Ia menyadari jika gadis itu dalam keadaan mood yang buruk, ntah karena dirinya yang terlambat menjemput, atau karena ia sedang ada masalah lain. Yang pasti, memuji wanita dengan kata 'cantik' akan sedikit meredakan amarah mereka. Lihat saja, Cherry sibuk membenarkan rambutnya, jelas ia sedang memastikan apakah ia benar-benar cantik atau tidak. "Kau harus membelikanku eskrim karna kau terlambat menjemputku," ucapnya. Rendy terkekeh. "Dengan senang hati, Sweetheart." Benar bukan? caranya cukup efektif. "Dan juga, ini." Cherry terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan menaruhnya dipangkuan Rendy. Masih dengan fokus mengemudi, Rendy melirik-lirik bungkusan berwarna coklat itu. "Apa ini?" tanyanya. "Burger." "Hm?" "Kau bilang kau lapar dan belum makan siang, jadi aku membelikanmu burger di kantin sekolah tadi." Rendy terdiam, ia menghentikan mobilnya tepat di persimpangan jalan karena lampu merah yang menyala, dan ia menatap Cherry dan mengambil bungkusan yang ia serahkan tadi. "Tenang saja, burger sekolahku adalah burger yang paling enak yang pernah aku makan," lanjutnya lagi seperti malu-malu. Oh, manis sekali. Rendy merasa sedikit tersentuh dan juga senang, ternyata Cherry tidak semenyebalkan yang ia kira. Ia mengacak rambut Cherry. Andaikan ia mempunyai adik perempuan seperti Cherry, pasti akan sangat manis sekali, dan Rendy akan menjaganya dari pria-p****************g manapun yang berusaha mendekati adiknya. "Terimakasih, Sweetheart, aku akan memakannya saat ini juga karena aku sangat lapar," tukas Rendy sembari melahab burgernya dan menjalankan mobil dengan satu tangan. Sedangkan Cherry acuh tak acuh menatap keluar jendela. Tapi, sebenarnya gadis itu benar-benar tulus membelikannya makan siang atau hanya ingin menghukumnya? Karena saat ini Rendy hampir mati tersedak karena Cherry tidak memberikannya air minum. Hingga terpaksa Rendy menghentikan mobilnya di salah satu swalayan terdekat yang mereka lewati karena Rendy sudah tidak tahan lagi. Beberapa kali ia melirik Cherry, gadis itu hanya terkekeh melihat wajah Rendy yang memerah. Sungguh, seharusnya Rendy tidak memakannya saat itu juga. Napasnya terengah-engah setelah meneguk satu botol air mineral yang baru saja ia beli. Cherry di sebelahnya hanya diam dan menahan tawanya dengan punggung tangan. Sial. Manisnya hilang tiba-tiba. . Setelah mengantar Cherry dan beberapa drama yang terjadi, Rendy akhirnya bisa menyandarkan punggungnya pada kursi ruangan kerja yang penuh dengan tumpukan berkas itu. Ia membuka kancing kemeja atasnya karena merasa panas, padahal air conditioner di ruangan berfungsi dengan baik. Rendy hampir saja melupakan sesuatu. Sebenarnya sejak tadi ia ingin menghubungi Nathan untuk memberinya pekerjaan seperti biasa. Ia merogoh saku untuk menemukan ponselnya, dan secepat kilat menekan nomor Nathan. "Halo, Boss," sapa lelaki itu di seberang. "Kau ada dimana?" "Seperti biasa, aku sedang membersihkan botol-botol minuman yang nanti malam akan aku gunakan, ada apa?" "Ada satu hal yang harus kau kerjakan." "Apa itu?" "Kau ingat Liora?" "Tentu saja, wanita yang membuatmu tertarik itu bukan? Ada apa?" Kekehan kecil yang terdengar ketika Nathan bertanya. "Kau tau siapa kekasihnya?" "Aku hanya tau wajahnya saja, bukankan aku sudah menunjukkan padamu waktu itu?" "Kalau begitu, selidiki kekasihnya itu, cari tahu apapun tentangnya." "Hm.. baiklah-baiklah, sesuai permintaanmu," ucap Nathan menyetujui. "Ku tunggu secepatnya." Panggilan ditutup. Hal yang paling Rendy sukai dari Nathan adalah sikapnya yang tak ingin tahu urusan Rendy. Ia selalu menjalankan apa yang Rendy perintahkan dengan profesional dan cepat, membuat Rendy selalu mengandalkan pria itu. Rendy kembali menyandarkan punggungnya. Padahal, pekerjaan masih cukup banyak, tetapi tiba-tiba rasa penasaran menggelitik Rendy, ia sangat ingin menelpon Liora saat ini juga. Rendy membolak balik ponselnya, menimbang-nimbang, apakah ia akan menelpon Liora atau tidak. Tapi tak dapat dipungkiri, ada sebersit rindu aneh yang ia rasakan pada Liora, yang pada akhirnya membuatnya menekan nomer ponsel gadis itu. "Halo, Tuan Rendy, ada apa meneleponku?" Setelah nada berdering cukup lama, Rendy merasa lega karena Liora mau mengangkat telponnya. "Wah, ternyata kau sudah menyimpan nomerku," goda Rendy. "Tentu, jadi ada apa?" "Kau sedang apa?" "Apakah sangat penting untukmu, Tuan?" "Tentu." "Kalau begitu, aku sedang sibuk saat ini, dan jika kau tidak ada kepentingan apapun, aku akan mematikan ponselku." Shit, apa gadis itu sedang mengancamnya? "Tunggu, kenapa kau galak sekali, aku hanya ingin mengajakmu bertemu," tukas Rendy. "Untuk?" "Tentu saja membicarakan tentang Cherry, karna hanya kaulah yang bisa aku ajak kompromi saat ini, kau tahu bukan bagaimana keras kepalanya Ayahmu itu?" Rendy mencari alasan apapun, yang terpenting ia dapat bertemu dengan Liora dulu, apa yang akan ia bicarakan itu urusan nanti. "Baiklah, kapan kau ingin bertemu?" "Malam ini?" tawar Rendy tak ingin menunggu waktu lama. Tidak terdengar jawaban dari seberang. Sepertinya Liora sedang berpikir. "Baiklah," jawab gadis itu pada akhirnya. "Malam ini, pukul tujuh, aku tunggu di restoran dekat stasiun." "Apa perlu aku jemput?" tawar Rendy lagi. "Tidak perlu, seseorang akan mengantarku, Tuan." "Siapa? Kekasihmu?" "Bukan urusan Anda." Mendengar jawaban ketus Liora, Rendy mengigit bibirnya sambil tersenyum simpul, membayangkan jika Liora tahu bahwa kekasihnya merangkul mesra wanita lain. "Well, kalau begitu sampai jumpa malam nanti." Tepat ketika Rendy mematikan ponsel, seseorang masuk dengan wajah yang sedikit pucat. Pria yang ternyata adalah Daffa itu berjalan lunglai menuju sofa dan menjatuhkan dirinya lemas disana. "Hei, ada apa dengan wajahmu itu, Daff?" tanya Rendy khawatir. "Aku begadang semalaman," jawab Daffa. "Ada apa?" "Putri kembarku sedang sakit, jadi aku begadang semalam bersama Shine. Dan pagi tadi aku harus terbang kesini dengan terburu-buru, karena meraka tak mau ditinggal." "Kau sudah membawanya ke dokter?" "Tentu, aku sudah mendatangkan dokter keluarga kami." "Lalu?" "Mereka demam dan karena pekerjaan kita belum selesai disini, jadi Ayah dan Ibu yang akan membantu Shine menjaga mereka," terang Daffa. "Syukurlah, aku merindukan mereka, akan aku kirimi hadiah nanti, agar mereka cepat sembuh." "Ya, terima kasih Ren, mereka lebih menyukaimu dibandingkan pamannya sendiri," Daffa tertawa membayangkan putri-putri kecilnya selalu bertanya tentang Rendy dan membuat Darren sangat kesal. "Omong-omong, apa kau sudah membereskan masalahmu?" "Ah, itu..." "Sepertinya kau tidak bisa mengatasinya, lihat saja dokumen yang masih berantakan itu," Daffa menunjuk tumpukan-tumpukan berkas di meja Rendy. "Aku akan menyelesaikannya sore ini." "Secepatnya Ren, karena kita harus fokus dalam pengerjaan proyek kali ini, aku akan rehat sejenak untuk liburan bersama Shine dan puteri kami." "Baiklah-baiklah, kau cukup cerewet akhir-akhir ini, Daff." "Ya, karena aku sangat lelah, aku membutuhkan waktu untuk berlibur bersama keluargaku." Mendengar kata keluarga, Rendy merasa pias, sudah lama sekali ia tidak mengunjungi keluarganya. Sebenarnya ia cukup rindu pada ayahnya, tapi masih ada sisa rasa kecewa pada pria tua itu. Apalagi untuk bertemu dengan istri muda dan adiknya yang Rendy dengar sudah mulai masuk sekolah dasar. Lagipula, seharusnya pria seusianya sudah memikirkan pernikahan, bukan? Jika ia tinggal di negara asalnya pasti Rendy sudah menjadi bahan pergunjingan. "Tiba-tiba aku juga ingin memiliki keluarga, Daff." Mata Daffa berbinar mendengar kalimat yang sangat tiba-tiba Rendy ucapkan. Ia memiringkan kepalanya, mendekatkan telinga ke arah Rendy. "Apa katamu? Katakan sekali lagi." Rendy berdecak. "Lupakan." "Aku akan sangat senang jika kau memikirkan itu Ren, cukup sudah kau bermain-main dengan wanita selama ini. Apa kau tidak puas?" "Belum," Rendy terkekeh, kembali ke sifat aslinya. "Sampai kapan kau akan seperti ini? Lupakan apa yang seharusnya kau lupakan." "Apa maksudmu, Daff?" "Aku tahu segalanya, Ren. Aku tidak mengatakan hidupmu buruk sekarang. Tapi aku ingin kau menemukan kebahagiaanmu juga." Rendy tersenyum kecut. "Aku bahagia," ucapnya. "Melihat kalian, orang-orang yang aku sayangi bahagia, aku adalah pria yang paling berbahagia," tegasnya lagi. Daffa berdiri dari sofa dan mendekati Rendy, ditatapnya wajah datar sahabatnya itu. Ntah mengapa wajah itu dipenuhi rasa kesepian, padahal Rendy memiliki segalanya, dan banyak orang-orang sekitar yang peduli padanya termasuk Daffa. Pria itu membutuhkan cinta, sungguh. Gadis seperti apa yang akan mengisi hidup Rendy dengan cinta nantinya? Daffa semakin penasaran. "Jadi, bagaimana dengan gadis itu?" "Siapa maksudmu? Gadis yang mirip dengan Mikaela itu?" tanya Rendy yang pikirannya langsung tertuju pada Liora. "Bukan, maksudku, gadis yang kau tiduri." "Ah, si bocah cilik itu? Dia manis juga, aku sangat senang jika mendapatkan adik sepertinya," jawab Rendy. "Bukankah kau akan menikahinya?" Refleks, Rendy membuat tanda silang dengan kedua tangannya. "No!" "Why not?" "Kau pikir lucu jika aku menikah dengan bocah?" Pertanyaan yang membuat Daffa terbahak, beberapa kali mendengarnya pun Daffa akan selalu tertawa geli dengan kesialan Rendy yang satu itu. "Jangan terus menerus meledekku, Daff. Kau tahu aku memang senang melakukan one night stand, dan malam itu adalah ketidak sengajaanku, kami melakukannya atas dasar suka sama suka, jadi aku tidak memiliki kewajiban apapun untuk bertanggungjawab," jelas Rendy. "Dan sialnya, keluarga mereka tau hal itu, bukan?" "Ya, begitulah, bocah itupun, sayang sekali jika gadis seusianya harus menikah. Dia juga tidak akan setuju." "Lalu? Kau sudah melakukan sesuatu?" "Kau tau sendiri, apa yang tidak bisa aku lakukan? Semua butuh waktu. Aku sudah membicarakan ini dengannya, jika dia tidak hamil, maka kami tidak harus menikah dan bocah itu juga sudah menyetujui." Daffa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, merubah posisi tubuh yang berada di depan Rendy, dan berjalan ke arah jendela untuk memandang keluar. "Tapi, ntah mengapa aku menginginkan dia hamil, Ren," goda Daffa lagi yang dihadiahi lemparan bolpoin oleh Rendy. "Hentikan omong kosongmu, Daff." Daffa sangat menyukai wajah panik Rendy. Pria itu paling tak suka dikekang ataupun diancam, apalagi dulu Rendy sering sekali mengerjainya. Akan sangat menarik melihat kisah cinta Rendy yang Daffa rasa akan dimulai dari dua gadis yang sering ia bicarakan tiap kali bertemu. "Cepatlah, tentukan pilihanmu, Ren. Banyak gadis yang mengantri untukmu." "Cih." Rendy tak acuh, saat ini yang dipikirannya hanya bagaimana nanti pertemuannya dengan Liora, pastinya akan sangat menyenangkan. Dan juga.. sudah lama sekali Rendy tidak bersemangat pada wanita seperti sekarang. Ia benar-benar sangat menantikan pertemuannya nanti malam. Tbc.....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN