Tatapan mereka berpindah dari Harven ke Rielle, antara tidak percaya dan canggung. Tidak ada yang berani tertawa, hanya saling melempar pandang dengan ekspresi bingung.Rielle memang masih seusia mereka, tapi apakah Harven tidak sadar batasan dalam berbicara kepada seorang asisten dosen? Bahkan jika ia tak menganggap Rielle sebagai asdos, berbicara dengan sopan seharusnya menjadi hal yang wajar bagi seseorang yang berpendidikan.
Namun Rielle memilih untuk tidak menanggapi. Ia hanya berjalan kembali ke meja dosen, menenangkan hatinya yang sempat tersentak. Dalam diamnya, ia mencoba berpikir positif, mungkin itu bentuk perhatian, meski disampaikan dengan cara yang kasar dan menyebalkan.
Ia memang sengaja tidak memakai kruk saat tadi berkeliling. Bukan karena ingin sok kuat, tapi sebagai latihan agar lebih terbiasa menghadapi kenyataan. Bahwa ini adalah dirinya yang baru. Ia akan pincang seumur hidup. Tapi orang pincang juga punya hak untuk hidup layaknya manusia utuh, tanpa selalu bergantung pada kruk.
Tidak lama, seluruh mahasiswa telah keluar dari kelas, menyisakan hanya Harven. "Kamu tidak mau pulang?" tanya Rielle pelan, menatap Harven yang masih duduk.
Harven akhirnya berdiri, mendekati meja dosen, dan meletakkan kertas jawabannya. "Kenapa tiba-tiba?" tanyanya tanpa basa-basi, menatap Rielle dengan tatapan tajam.
"Apa maksudmu?" balas Rielle tenang.
"Keluar rumah," jawab Harven datar.
Rielle merapikan buku dan memasukkan semuanya ke dalam tas sebelum menanggapi. "Biar gue nggak perlu bohong terus tiap lo enggak pulang," ucapnya tenang, lalu meraih kruknya.
Harven menyipitkan mata. "Lo enggak ngomong macem-macem ke bokap nyokap gue, kan?"
Langkah Rielle terhenti. Ia menatap Harven tajam. "Lo yang bilang, jangan sampai orang lain tahu soal kontrak kita. Tapi sikap lo sendiri yang bikin orang curiga."
Ia menunduk sebentar, menghela napas, lalu melanjutkan. "Coba pikir ulang apa yang udah lo omongin ke gue sebelum nikah. Otak lo belum amnesia kan?" ucapnya sinis.
Harven tidak berkata apa pun. Ia hanya bergeser sedikit, memberi ruang agar Rielle bisa lewat. Matanya mengikuti langkah Rielle yang perlahan keluar dari kelas dengan kruk di tangan dan tasnya. Begitu Rielle menghilang di balik pintu, beberapa teman Harven yang sejak tadi menunggu di luar, kini masuk ke dalam kelas.
"Heh, Ven! Lo habis ngomong apa ke Elle tadi?" tanya Jegar Adnan Wijaya, teman sekelas Harven yang tubuhnya sedikit lebih tinggi darinya.
"Ngomong apaan? Gua enggak ngomong apa-apa," sahut Harven cepat sambil mengangkat tasnya, bersiap keluar dari kelas.
Juan Nugraha, teman mereka yang bertubuh jangkung dan berkacamata, ikut menyahut. "Ya lo ngapain diem-diem di kelas, nunggu dia keluar terakhir? Tadi juga kita denger sendiri lo ngomong kayak gitu ke Elle. Gila, Ven, enggak ada hati banget sih lo!"
Harven mendengus, lalu berbalik setengah badan. "Gua cuma bilang fakta. Udah tahu pincang, tapi masih pakai sepatu hak tinggi. Sok-sokan enggak pakai kruk. Cari perhatian banget."
Juan menghela napas panjang, jelas mulai kesal. "Lo tahu enggak, Ven? Kadang yang paling nyakitin itu bukan keadaan, tapi ucapan orang. Termasuk ucapan lo barusan."
Jegar menimpali dengan nada tegas, "Dia pakai sepatu berhak karena itu memang prosedur tugasnya sebagai asdos. Dan soal kruk, mungkin dia lagi belajar jalan tanpa itu, biar lebih mandiri. Jalan pakai kruk itu enggak senyaman yang lo pikir, lo tahu?"
Harven terdiam sejenak. Wajahnya datar, tapi tatapannya mulai berubah, entah karena kesal, atau karena sadar dirinya sudah kelewat batas.
"Udah, ah. Gua ke kantin," ucap Harven akhirnya, lalu melangkah cepat keluar kelas, meninggalkan teman-temannya yang masih menatap ke arah pintu dengan raut kecewa.
Pukul satu siang, Rielle memasuki ruang kelas dengan langkah pelan. Suasana kelas masih ramai, para mahasiswa tampak santai menunggu kedatangan dosen. Beberapa duduk sambil bercanda, sebagian lagi sibuk dengan gadget mereka.
"Eh, Elle, lo udah kenalan sama dosen pengganti Pak Wisnu belum?" tanya Jingga sambil menepuk bangku kosong di sampingnya agar Rielle duduk.
"Belum," jawab Rielle singkat, meletakkan tasnya dengan pelan.
"Ah, masa sih? Bukannya lo pernah jadi asdosnya Pak Wisnu?" Jingga mengernyit, terlihat penasaran.
Rielle hanya mengangguk sambil menarik napas. "Bukan berarti karena gua pernah jadi asdos Pak Wisnu, jadi gua tahu semua urusannya," balasnya dengan nada malas.
Di sebelah kanan, Jegar ikut menimpali. "Tumben lo duduk di belakang? Biasanya kan lo langganan baris depan."
"Lagi males jawab pertanyaan. Tenaga gua udah habis," ucap Rielle sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Jegar tertawa kecil. "Tenaga asdos bisa habis juga, ya?"
"Gua juga manusia, bukan mesin," balas Rielle cepat, matanya tetap lurus menatap papan tulis kosong.
Tawa kecil masih terdengar dari Jingga dan Jegar saat pintu kelas terbuka. Semua kepala refleks menoleh. Pak Wisnu akhirnya datang, membawa map dan laptop seperti biasa. Namun, perhatian mereka bukan hanya tertuju padanya.
Seorang pria dengan rambut blonde, berjas rapi, dan postur tinggi berjalan tepat di belakang Pak Wisnu. Langkahnya tenang. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tapi auranya begitu kuat hingga membuat seluruh kelas mendadak hening. Bisik-bisik mulai terdengar.
"Siapa tuh?"
"Kayaknya bukan mahasiswa."
"Dosen baru, ya?"
Namun, di antara semua pertanyaan dan tatapan penasaran itu, Rielle membeku di tempatnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Pandangannya tak lepas dari pria itu – Jehan sang mantan kekasih yang masih tersimpan dalam kenangan, kini berdiri beberapa meter di depannya, di hadapan satu kelas yang tidak tahu apa-apa. Mantan kekasihnya, paman dari suaminya dan sekarang, menjadi dosen penggantinya?
'Tidak mungkin...' pikir Rielle, tangannya perlahan mencengkeram ujung meja.
Jehan melirik ke arah barisan bangku mahasiswa, dan seketika tatapannya bertemu dengan milik Rielle. Hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat waktu seolah berhenti. Tidak ada senyum mengejek atau tatapan penuh tanya seperti yang Rielle duga, Jehan hanya tersenyum ringan pada seluruh kelas, seolah semuanya baik-baik saja.
Tapi Rielle tahu, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja.
Hari ini Rielle rasanya seperti menaiki roller coaster tanpa rem. Dalam satu hari, hidupnya seperti dihantam kejutan demi kejutan. Dimulai dari fakta bahwa mantan pacarnya, Jehan, kini adalah mertuanya. Belum selesai mencerna kenyataan itu, ia harus menghadapi kecurigaan keluarga suaminya yang mulai mempertanyakan kebiasaan Harven tidak pernah di rumah yang ternyata menginap di rumah "kekasihnya".
Dan sekarang, kejutan terbesar baru saja datang. Jehan, pria yang pernah ia cintai dan tiba-tiba meninggalkannya tanpa pemberitahuan, kini berdiri di hadapannya sebagai dosen pengganti. Bukan hanya untuk kelas ini, tapi untuk tiga mata kuliah lainnya. Artinya, mereka akan sering bertemu, lebih sering dari yang sanggup ia bayangkan.
Rielle menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu tidak karuan. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas ladang ranjau, tidak tahu kapan semuanya akan meledak. Tapi satu hal yang pasti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.