7. Perasaan Yang Ternyata Masih Ada

1099 Kata
Jehan selesai memperkenalkan diri di depan kelas dengan tenang, seolah tidak ada yang istimewa dari kehadirannya. Namun begitu ia sudah keluar dari kelas, Jingga kini menatap ke arah Rielle. "Elle," panggil Jingga pelan, suaranya nyaris berbisik, sarat dengan kekhawatiran. Tatapan Jingga tidak lepas dari wajah sahabatnya yang tampak pucat sejak tadi. Mereka sudah bersahabat sejak kelas satu SMA, jadi Jingga tahu persis siapa Jehan Himawan, bukan hanya sebagai dosen pengganti Pak Wisnu, tetapi juga sebagai mantan pacar Rielle. Orang yang meninggalkan luka yang belum benar-benar sembuh. "Lo nggak apa-apa?" tanya Jingga dengan nada hati-hati. Rielle menarik napas pelan, mencoba menstabilkan detak jantungnya yang terasa kacau. Ia menoleh sedikit, berusaha tersenyum pada Jingga, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Aku baik," jawabnya singkat, meskipun keduanya tahu itu bohong. Jingga tidak ingin mendesak. Tapi hatinya mencelos membayangkan sahabatnya harus menghadapi mantan kekasihnya sebagai dosen, bukan di satu, tapi tiga mata kuliah. Dan dari tatapan Jehan tadi, Jingga yakin, cerita lama belum benar-benar usai. Sekitar pukul empat sore, Harven sudah sampai di rumah. Ia langsung menuju dapur dan membuka kulkas untuk mengambil sebotol air dingin. Saat sedang menuang ke gelas, suara mamanya terdengar dari arah ruang tengah. "Kamu enggak pulang bareng Rielle, Ven?" tanya Mamanya heran, sembari menatap putranya yang tampak buru-buru dan enggan menjawab. Namun sebelum Harven sempat membalas, suara salam dari pintu masuk terdengar jelas.Rielle datang. Terresia langsung menyambut menantunya dengan antusias, membuat Harven mendengus kesal dari dalam dapur. Ia melirik ibunya yang sudah berdiri menyambut Rielle dengan senyum hangat. "Anak Mama itu aku atau Rielle sih," gerutunya pelan, meski tentu tidak terdengar oleh sang mama yang kini sudah sibuk bertanya pada Rielle. "Kenapa enggak pulang bareng Harven, Rielle?" tanya Terresia sambil menggenggam tangan menantunya. "Harven tadi buru-buru pulang, Ma. Sementara aku masih ada urusan sedikit di kampus. Daripada Harven harus nunggu lama, aku suruh dia pulang duluan," jawab Rielle santai, disertai senyum sopan. "Ya udah, ya, Ma. Rielle ke kamar dulu," pamitnya kemudian. "Iya, istirahat sana," balas Terresia dengan lembut. Rielle berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti sesaat ketika membuka pintu. Di dalam, Harven sudah lebih dulu berada di sana, setengah telanjang, hanya mengenakan celana, tanpa atasan. Rielle buru-buru menunduk, berusaha mengalihkan pandangan sambil masuk ke dalam. "Lo enggak sendirian di kamar ini, Harven. Jadi kalau mau ganti baju, tolong di kamar mandi," ucap Rielle datar tanpa menatap Harven, sambil meletakkan tas dan buku-bukunya di atas meja kecil. Ia meletakkan kruk dan menyandarkannya di samping tempat tidur, kemudian berjalan pelan ke arah lemari untuk mengambil pakaian bersih. Harven hanya memperhatikan pergerakan Rielle dari tempatnya duduk di pinggir ranjang. Gadis itu tampak tenang, terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang harus sekamar dengan pria yang bukan siapa-siapanya, secara batin. "Lo kok bisa sesantai itu, sih, sekamar sama gue?" tanya Harven heran. "Adik gue cowok, jadi udah biasa," jawab Rielle singkat, masih dengan nada tenang. "Tapi gue laki-laki. Dan gue bukan adik lo," balas Harven dengan nada kesal. "Ya, lo laki-laki. Terus, masalahnya di mana?" Rielle menatapnya sekilas, malas menanggapi. "Enggak usah sok polos deh," ujar Harven sambil memutar bola matanya dengan ekspresi muak. "Gue tahu lo ngerti maksud gue." Rielle menahan napas sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan tajam, "Emangnya lo ada niat buat ngapa-ngapain sama gue?" Ucapan itu membuat Harven terdiam beberapa detik. "Inget apa yang lo bilang ke gue waktu itu. Lo sendiri yang bilang lo enggak bakal nyentuh gue. Dan gue percaya," lanjut Rielle, suaranya sedikit bergetar namun tetap tegas. "Karena sekejam-kejamnya laki-laki, mereka tetap bisa dijaga ucapannya kalau memang punya integritas." Ia menarik napas panjang. "Buktinya lo masih pacaran sama cewek lo itu, padahal udah nikah sama gue. Jadi gue yakin, lo enggak akan napsu sama gue juga. Gue cewek cacat, Harven. Lihat aja jalan gue. Yang ada, lo malah jijik atau muntah kalau sampai harus nyentuh gue." Setelah berkata seperti itu, Rielle langsung mengambil pakaiannya dan berjalan menuju kamar mandi dengan kepala tegak. Harven terdiam, matanya tidak lepas dari pintu kamar mandi yang kini tertutup rapat. Dalam keheningan, pikirannya bergemuruh. "Wanita memang punya ingatan kuat. Tapi apakah ucapan gue benar-benar menyakitkan sampai segitunya?" gumamnya dalam hati. Ia menyadari satu per satu kata yang tadi dilontarkan Rielle bukan sekadar omelan. Itu adalah kutipan dari ucapan-ucapannya sendiri, kalimat-kalimat yang pernah ia keluarkan, mungkin dengan enteng, tapi membekas dalam dan menyakitkan bagi seorang perempuan seperti Rielle. Malam pun tiba. Di ruang makan, mereka duduk bersama menikmati makan malam. Suasana terlihat tenang, tapi tidak ada satu pun percakapan. Hening, seperti masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Rielle makan pelan, tanpa banyak bicara. Harven pun begitu, matanya hanya sesekali melirik Rielle, tapi mulutnya tetap terkunci. Namun ketenangan itu pecah, saat suara sapaan terdengar. Tidak lama kemudian, Jehan muncul di ambang pintu ruang makan, membawa sesuatu di tangannya. Johan, kepala keluarga itu langsung berdiri dengan raut wajah penuh amarah. "Sudah kukatakan, jangan datang ke rumah ini kalau kamu belum minta maaf ke Rielle!" suaranya tajam, penuh tekanan. Jehan tidak gentar. Ia tetap berjalan masuk dengan tenang sambil tersenyum, membawa sebuah boneka besar berwarna krem serta sebuket cokelat yang dipadukan dengan bunga mawar merah muda. "Aku ke sini karena ingin minta maaf," ucap Jehan tenang, matanya tertuju hanya pada satu orang, yaitu Rielle. Semua mata kini menatap Jehan yang mulai berjalan mendekati meja makan. Tanpa ragu, ia berlutut dengan satu kaki menyentuh lantai di hadapan Rielle. Gerakannya mengejutkan semua orang. Rielle menegang seketika. "Rielle," ucap Jehan lembut, "Kakak minta maaf, ya. Kakak sudah menyakiti kamu tadi pagi. Ini, sebagai bentuk permintaan maaf kakak." Jehan menyodorkan boneka dan buket tersebut sambil tetap tersenyum. Senyuman yang dulu pernah membuat Rielle merasa hangat. Kini, senyuman itu justru membuatnya gelisah dan canggung, terlebih di hadapan keluarga barunya. Tubuh Rielle sedikit bergeser, menjauhkan kursinya dari Jehan. Ia condong ke belakang, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang mendadak dan berlebihan ini. "Pak Jeje tidak perlu sampai seperti ini," ucap Rielle pelan tapi tegas. "Saya sudah bilang, bapak tidak perlu minta maaf. Saya tidak apa-apa." Raut wajahnya canggung, namun tetap menjaga sopan santun. Ia tahu, ini bukan hanya soal dirinya. Ada mama dan papa mertuanya di sini. Ada Harven dan mungkin mereka tidak menyukai situasi ini. Jehan tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Bukan 'bapak', Rielle. Tapi Kakak," koreksinya halus. "Kakak minta maaf, dan terimalah ini sebagai tanda kamu memaafkan kakak." Ia masih tersenyum manis, senyuman yang seharusnya tidak lagi mengguncang hati Rielle, tapi entah kenapa, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dan di sisi meja lainnya, Harven mengepalkan tangannya di bawah meja. Diam, tapi matanya menatap Jehan dengan sorot yang berbeda dari biasanya. Ada sesuatu di balik tatapan itu, entah kemarahan, entah kecemburuan, atau mungkin, ketidak nyamanan yang belum bisa ia pahami sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN