8. Ijin

1071 Kata
Rielle menoleh ke arah Harven yang duduk di sampingnya. Suaranya pelan tapi jelas saat bertanya, "Kak, aku boleh ambil?" Pertanyaan itu cukup membuat Harven terkejut. Ia menatap Rielle dengan sorot mata tajam, seolah mencoba membaca maksud di balik permintaan itu. "Ambil saja kalau kamu mau," jawab Harven dengan nada ketus, tanpa menyembunyikan kekesalannya. "Aku sebenarnya tidak mau," gumam Rielle lirih, lalu melirik ke arah Jehan. "Tapi Pak Jehan ...." "Kak!" potong Jehan cepat, keberatan karena Rielle masih saja memanggilnya 'Pak'. Nada suaranya mengandung teguran, tapi tidak bisa menyembunyikan gejolak emosi yang tengah bergolak dalam dirinya. "Om merasa, kalau aku tidak menerimanya, berarti aku belum memaafkan," lanjut Rielle tenang, seolah tidak peduli pada protes Jehan. Jehan menggenggam buket cokelat yang dibawanya begitu erat, hampir meremas kertas pembungkusnya. Ia tidak suka dengan reaksi Rielle, terlalu dingin, terlalu logis. Ia tahu tentang pernikahan kontrak Rielle, tahu bagaimana keponakannya itu terseret dalam situasi rumit. Harven sendiri yang menceritakan semuanya padanya. "Sudah kubilang, ambil saja kalau kamu memang mau!" sahut Harven lebih keras, kekesalannya mulai memuncak. Rielle menoleh cepat, lalu berkata lembut, "Jangan marah, aku sudah minta izin padamu, kan?" Ia lalu mengambil buket cokelat dan boneka dari tangan Jehan. Setelah menatap keduanya sejenak, ia berucap dengan tenang namun mantap, "Terima kasih, Om. Rielle menerimanya. Jadi sekarang, bangunlah. Jangan seperti ini." Mata Rielle menatap lurus ke arah Jehan yang masih berlutut. Suaranya terdengar tulus, bahkan menyentuh. "Tidak pantas Om berlutut di hadapan ponakannya sendiri," ucapnya terdengar santai tetapi syarat akan sebuah peringatan jika dirinya adalah keponakanannya bukan wanita yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Mereka melanjutkan makan malam yang sempat tertunda karena kehadiran Jehan. Suasana sempat canggung, namun percakapan perlahan mengalir kembali. Jehan kini duduk di sisi kiri Rielle, posisi yang membuatnya tidak nyaman. Tanpa sadar, Rielle sedikit bergeser ke tepi kursi, tubuhnya condong ke arah kanan, ke arah Harven yang duduk di sebelahnya. Jantung Rielle masih saja berdebar tidak beraturan setiap kali berada di dekat Jehan. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, sebagian hatinya masih menyimpan perasaan itu. Ia masih mencintai Jehan. Tapi cinta itu kini menjadi luka yang belum benar-benar sembuh, dan Rielle tidak ingin mengulang kisah yang sama, yang dulu membuatnya hancur. Lebih dari itu, ia tahu batasannya. Ia sekarang adalah seorang istri. Meski pernikahannya dengan Harven hanya sebatas kontrak, tanpa cinta ataupun impian akan masa depan bersama, namun ikatan itu tetap sah, baik menurut hukum negara maupun agama. Dan sebagai seorang istri, Rielle merasa sudah sepatutnya menjaga dirinya. Ia tidak boleh membiarkan dirinya dekat dengan pria lain, terlebih dengan pria yang pernah mengguncang hidupnya. Rielle menundukkan kepala sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Makan malam ini seharusnya hanya makan malam biasa. Tapi kehadiran Jehan mengubah segalanya. Kini, ia harus menahan diri bukan hanya dari perasaan masa lalu, tapi juga dari godaan untuk melupakan kenyataan yang sedang ia jalani. Selesai makan malam, Jehan dengan santai mengumumkan bahwa ia akan menginap di rumah kakaknya malam ini. Rielle hanya tersenyum tipis, lalu beralasan ingin mengerjakan tugas dan segera pamit ke kamarnya. Harven yang awalnya hendak mengikuti langkah Rielle, terhenti ketika papanya memanggil dan memintanya masuk ke ruang kerja. "Ada apa, Pa?" tanya Harven begitu ia sudah duduk di sofa di hadapan meja kerja sang ayah. Papa bersandar ke kursi, menatapnya dengan mata sedikit menyipit. "Tadi pagi, istrimu minta untuk tinggal terpisah. Itu permintaan dia sendiri, kan? Bukan ide kamu?" Harven mengerutkan dahi. "Apa sih, Pa. Aku aja enggak tahu apa-apa." Nada suaranya terdengar malas. "Kamu ini gimana, Ven? Enggak pernah ngobrol sama istri sendiri? Suami-istri itu harusnya saling komunikasi, bukan diem-dieman," ucap papanya dengan nada kesal. "Pulang kuliah aja udah capek, Pa," jawab Harven sambil menghela napas. Papanya mengangkat alis. "Dua minggu ini, bahkan sebelum kalian menikah, kalian juga enggak pernah ngobrol, kan?" "Enggak gitu, Pa," bantah Harven cepat. "Terus, apa alasan kalian jarang ngobrol?" Harven mengangkat bahu. "Kata Papa dulu enggak boleh tinggal sendiri. Ya udah, Harven juga enggak pernah bahas-bahas lagi sama Rielle." Papanya menghela napas panjang, lalu menatapnya serius. "Mau kapan pindah? Papa sudah belikan apartemen dekat kampus. Atau kamu ada pilihan apartemen atau rumah sendiri yang kamu mau?" Harven menatap papanya heran. "Bukannya kemarin Papa enggak izinin? Kenapa sekarang malah nyuruh pindah?" Papanya tersenyum tipis, tidak menjawab langsung. "Mau atau enggak? Kalau enggak mau, enggak usah." Harven tersenyum lebar. "Mau lah, Pa. Tapi pindahnya minggu aja, biar enggak ribet." "Oke. Besok Papa suruh staf ngatur barang-barangnya." "Enggak usah, Pa. Biar aku sama Rielle aja yang atur," ucap Harven, kali ini terdengar semangat. "Baik. Pulang kuliah besok, kalian langsung pergi beli furniture dan perlengkapan apartemen. Jangan tunda-tunda lagi," tegas papanya. "Iya, Pa," jawab Harven singkat, meski dalam hatinya sudah memikirkan banyak hal. Harven keluar dari ruang kerja papanya sambil tersenyum lebar. Wajahnya begitu sumringah, seperti anak kecil yang baru saja diberi mainan baru. Ia sudah membayangkan bagaimana hidupnya akan terasa lebih ringan setelah tinggal terpisah dari Rielle. Tapi baru saja hendak membuka pintu kamarnya, langkahnya terhenti. "Eh, Papi? Papi nginap di kamar ini?" tanya Harven, sedikit terkejut melihat Jehan berdiri di depan pintu kamar tamu yang tidak jauh dari kamarnya. Jehan menoleh dan tersenyum menggoda. "Di kamarmu aja, boleh enggak? Sekalian numpang tidur, nostalgia masa kecil." Harven tertawa kecil, "Boleh-boleh aja sih, tapi besok pagi langsung pindah, ya. Kalau Mama sampai tahu, bisa-bisa aku yang diomelin. Aku malas dengar ceramah Mama," ucapnya sambil menggulung mata malas. Jehan terkekeh. "Tenang aja. Ayo, masuk." Jehan membuka pintu kamar tamu dan melangkah masuk. Harven mengikutinya tanpa pikir panjang. Sesampainya di dalam, Jehan duduk di tepi ranjang, sementara Harven langsung melemparkan tubuhnya ke atas kasur dengan posisi tengkurap. Aroma sabun dan seprai bersih tercium, namun pikirannya masih melayang-layang. Jehan memecah keheningan dengan pertanyaan tiba-tiba, "Gimana rasanya menikah?"Harven hanya bergumam, malas menanggapi. "Tapi kamu enggak jatuh cinta sama dia, kan? Sepertinya sih enggak, kamu masih pacaran sama Giana, kan?" lanjut Jehan, kini lebih serius. Harven sontak bangkit dari posisinya, duduk bersila di atas tempat tidur. Ia menatap Jehan dengan mata tajam. "Papi tahu jawabannya, kan? Aku enggak pernah mau pernikahan ini. Aku enggak cinta sama dia." Nada suaranya meninggi. "Dan jatuh cinta padanya? Enggak akan!" tegasnya. Setelah itu, Harven langsung berdiri. Wajahnya tampak gelisah, seolah ingin buru-buru pergi dari pembicaraan itu. "Aku ke kamar dulu. Ada tugas yang harus dikerjain," ucapnya tanpa menunggu respons dari Jehan. Ia segera keluar dari kamar, meninggalkan Jehan yang masih duduk diam, memperhatikan pintu yang perlahan tertutup kembali. Tidak ada senyum di wajah Jehan kali ini, hanya tatapan kosong yang sulit ditebak maknanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN