Harven masuk ke kamar dengan langkah terburu-buru, menutup pintu dengan sedikit keras. Suara dentuman pelan membuat Rielle menoleh, namun ia tidak mengatakan apa pun. Hanya sebentar memandangi Harven sebelum kembali merebahkan diri di atas lantai yang beralaskan bed cover.
Harven menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, menarik napas dalam sebelum membuka suara. "Kamu enggak mau tidur seranjang?"
"Takut lo alergi deket-deket sama gue," sahut Rielle ketus, tanpa menoleh.
Harven melirik ke arah Rielle sejenak, lalu berkata datar, "Besok kita ke toko. Beli barang-barang buat apartemen."
Ucapan itu sontak membuat Rielle duduk. Ia menatap Harven dengan wajah bingung. "Lo enggak lagi ngigau, kan? Ngajakin gue?" tanyanya heran.
"Kenapa harus ngigau?" Harven membalas santai. "Kita bakal tinggal di apartemen yang sama. Wajar dong kalau beli barang-barang barsama."
"Tapi lo enggak inget ya, gue cewek miskin yang cuma bikin malu lo? Kalau lo jalan bareng gue buat belanja, enggak takut harga diri lo jatuh? Lagian gue juga cewek ..."
"Stop!" potong Harven tajam. Ia kini duduk di atas ranjang, menatap Rielle dengan sorot kesal. "Bisa enggak, kalau gue ngomong, lo cukup jawab iya atau enggak? Enggak usah muter-muter bahas harga diri, miskin, atau apa pun yang selalu lo ulang tiap kali gue ajak ngobrol!"
Rielle mengangkat kedua bahunya santai, menatap Harven dengan wajah malas. "Enggak bisa."
Harven mengernyit. "Kenapa?"
"Kebanyakan ngobrol bisa muncul perasaan yang enggak seharusnya ada. Dan kalau itu kejadian, ujung-ujungnya salah satu dari kita bakal nyesel. Gue cuma ngingetin, supaya gue sendiri sadar diri, siapa gue sebenarnya."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Rielle memejamkan matanya, merebahkan tubuhnya di atas lantai berlapis bed cover tebal. Isyarat jelas bahwa ia tidak ingin melanjutkan percakapan.Tapi Harven belum selesai.
"Kenapa gue harus nyesel?" tanyanya pelan, tapi tajam.
Rielle membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar yang remang. Suaranya datar dan sebenarnya sudah malas untuk menanggapi. "Cowok kaya, ganteng, dan sempurna seperti lo, seharusnya punya pasangan yang sepadan. Bukan cewek pincang, dan enggak punya apa-apa."
Ia menarik selimut seadanya hingga menutupi tubuhnya, mencoba membungkus luka dan kehancuran harga dirinya dalam diam. Tidak ada lagi kata keluar dari bibirnya malam itu.Namun anehnya, justru Harven yang merasa tersinggung. Harusnya Rielle yang marah, harusnya ia yang merasa dikhianati dan tersakiti. Tapi ucapan Rielle barusan seperti membalikkan semua, membuat Harven yang kini merasa bersalah.
Ia mengerutkan kening, menatap sosok kecil itu yang tergeletak di lantai dengan keras kepala dan luka yang tidak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan. "Dasar cewek aneh," gumam Harven kesal, kemudian turun dari ranjang.
Rielle yang masih terjaga dalam diam, langsung sadar saat mendengar langkah kaki mendekat. Posisi tidurnya menyamping, jadi jelas terasa saat seseorang berdiri di belakangnya. Namun sebelum sempat ia menoleh, tubuhnya tiba-tiba terangkat ke udara. "Harven!" pekik Rielle kaget. "Apa-apaan sih lo?! Turunin gue!" jeritnya panik karena ia kini berada dalam gendongan Harven yang di gendong gaya bridal style yang sangat tidak masuk akal untuk situasi seperti ini.
"Tidur di kasur, bukan di lantai!" sahut Harven singkat, wajahnya sama sekali tidak menatap Rielle.
"Lo lupa kalau ..."
"Berisik! Enggak usah banyak omong," potong Harven tajam. Suaranya tegas, namun bukan marah, lebih seperti muak mendengar Rielle terus merendahkan dirinya sendiri.
Harven menurunkannya pelan ke atas ranjang. Gerakannya lembut, hati-hati, seakan enggan membuat gadis itu merasa semakin kecil. Rielle hanya mendengus dan memutar bola matanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menarik selimut dan menutup tubuhnya sampai kepala. Ia enggan berdebat lebih jauh malam ini.
Sebelum pergi, Harven sempat mengambil ponsel Rielle dari lantai dan meletakkannya di nakas sebelah tempat tidur. Setelah itu, ia melangkah ke kamar mandi, mencoba menenangkan pikirannya sendiri yang anehnya mulai kacau hanya karena satu gadis keras kepala itu.
Harven membasuh wajahnya, lalu menatap bayangannya sendiri di cermin. Air dingin tidak cukup meredam emosi yang menggelegak di dadanya. Kata-kata yang baru saja diucapkan Rielle terus terngiang di kepalanya, kata-kata yang merendahkan dirinya sendiri, seolah ia tidak pantas dihargai, seolah dunia menolaknya hanya karena luka yang ia miliki.
Bukan kemarahan pada Rielle yang menguasai pikirannya, melainkan kemarahan pada dirinya sendiri. Semua itu bersumber dari ucapan-ucapannya di masa lalu, ucapan tajam yang kini kembali menghantui. Harven tahu, luka dalam diri Rielle sebagian adalah akibat darinya.Pagi tadi, Rielle tampak begitu percaya diri saat menjadi asisten dosen. Tatapannya teguh, suaranya mantap, dan kehadirannya memancarkan wibawa yang tidak terbantahkan. Tapi kini, Rielle yang sama justru bicara seolah-olah dirinya tidak berarti apa-apa. Itu membuat Harven merasa tidak nyaman, sakit dan bersalah.
Ia kembali menyiram wajahnya, kali ini lebih dalam, berharap bisa mencuci penyesalan yang menempel kuat. Apa pun alasannya, semua ini adalah kesalahannya. Ia tidak seharusnya mengucapkan kata-kata itu padanya, tidak seharusnya menjatuhkan seorang perempuan yang telah terluka begitu dalam. Andaikan kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin mereka tidak akan terjebak dalam pernikahan ini. Rielle tidak akan cacat dan tidak akan tenggelam dalam rasa tidak percaya diri seperti sekarang. Tapi semua itu hanya andai.
Harven berjalan menuju lemari pakaiannya, bermaksud mengambil selimut tambahan. Ia tidak mungkin menggunakan satu selimut dengan Rielle, meskipun mereka sudah resmi menjadi suami istri. Namun, saat membuka pintu lemari, sesuatu membuatnya mengernyit heran. Lemari yang seharusnya terisi sebagian oleh pakaian Rielle, justru kosong di sisi yang seharusnya menjadi milik istrinya.
Ia melangkah mundur, menatap lemari itu beberapa detik, lalu pandangannya tertuju pada koper besar berwarna abu-abu di sudut bawah lemari. Ada rasa penasaran yang mendorongnya untuk memastikan. Harven berjalan mendekat dan membuka koper itu perlahan.
Benar saja, pakaian-pakaian Rielle terlipat rapi di dalamnya.
“Kenapa dia letakkan di sini?” gumam Harven, nyaris tidak percaya.
Koper itu seharusnya sudah disimpan di tempat penyimpanan barang, atau paling tidak, pakaian-pakaiannya dipindahkan ke lemari. Namun, Rielle memilih tetap menggunakan koper. Seolah ia hanya ‘menumpang’ tinggal. Seolah ia bisa pergi kapan saja.
Harven menutup koper itu kembali, meletakkannya seperti semula, lalu berdiri mematung. Tatapannya jatuh pada Rielle yang terlelap di sisi tempat tidur, tertutup selimut tipis.
“Kenapa?” bisiknya lirih, lebih kepada diri sendiri daripada kepada siapa pun.
Dalam diam, pikirannya kembali pada hari itu,hari ketika sebuah ikatan terjalin. Ijab kabul yang terucap mengikat dua insan dalam perjanjian suci. Dua jiwa yang terjerat takdir yang tidak pernah mereka duga, karena sejatinya mereka hanyalah dua orang asing yang tidak akan saling mengenal, andai bukan karena sebuah kecelakaan.