“Aku bantu apa?” tanyanya datar, suaranya rendah namun sarat tekanan halus yang mengguncang keseimbangan udara di ruangan kecil itu. Nada itu bukan keras, bukan pula lembut tapi cukup untuk membuat jantung Teysya berdetak satu hentakan lebih cepat dari biasanya. Teysya tidak langsung menatapnya. Ia memilih memalingkan wajah, berpura-pura sibuk mengambil piring dan sendok serta menata gelas ke nampan. “Tidak perlu,” ucapnya akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku tidak terbiasa dibantu oleh tamu.” Jehan menunduk sedikit, matanya menyapu setiap sudut dapur itu, meja kecil di pojok, di atasnya ada magicom, tumis udang cah kangkung, dan ayam kecap yang masih mengepulkan aroma gurih manis. Semuanya tampak sederhana, namun di balik kesederhanaan itu, ada kehidupan yang terasa begitu nyata, begitu h

