Langit malam tampak redup, mendung menggantung di udara. Rielle Anindya Kalika, wanita cantik dengan rambut panjang yang diikat asal, berdiri di bawah langit malam dengan tatapan lelah. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, dan ia baru saja keluar dari restoran tempatnya bekerja.
Biasanya restoran tutup pukul sepuluh malam, tetapi malam ini pemilik restoran mengadakan pesta bersama teman-teman mereka. Para karyawan pun harus lembur, termasuk Rielle, meski ia hanya seorang pekerja paruh waktu.
Ia sedang menunggu ojek online yang belum juga tiba. Sebenarnya, tadi salah satu teman kerjanya menawarkan tumpangan pulang. Tapi Rielle menolak, tidak enak rasanya merepotkan, terlebih temannya itu sudah menikah.
Yang ia inginkan saat ini hanya satu, segera sampai di rumah dan beristirahat. Sayangnya, harapan itu buyar dalam sekejap.
Tanpa ia sadari, dari kejauhan sebuah mobil melaju tidak wajar, oleng ke arahnya. Rielle yang mengira sorot lampu mobil itu hanyalah pantulan biasa, sempat memejamkan mata karena silau. Ketika ia membuka mata dan menoleh, semuanya sudah terlambat, mobil itu hanya sejengkal dari tubuhnya.
Brak!
Tubuh Rielle terpental sekitar setengah meter dari tempatnya berdiri. Mobil itu menabrak tiang listrik dengan cukup keras, bagian depannya ringsek.
Dalam kondisi setengah sadar, Rielle mencoba bangkit. Tapi tubuhnya tidak sanggup. Kakinya, ia tidak bisa menggerakkannya sama sekali. Napasnya terengah, sementara darah mulai mengalir dari pelipisnya.
Handphone-nya berdering. Dengan sisa tenaga, Rielle mengangkatnya. “Tol...long...” ucapnya pelan sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.
Kesadarannya pun hilang.
Rielle terbangun dari mimpi buruk. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan jantungnya berdegup kencang. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengenali sekelilingnya. Napasnya terhembus lega saat menyadari bahwa ia berada di kamar tidurnya sendiri.
Pandangan Rielle lalu mengarah ke sisi ranjang yang kosong. “Dia tidak pulang lagi...” lirihnya, disusul helaan napas lelah.
Perlahan, ia menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. Matanya menatap ke samping, ke arah kruk yang setia menopang tubuhnya selama tiga bulan terakhir. Sekali lagi, hanya napas berat yang terdengar dari bibirnya.
Tiga bulan lalu, kecelakaan merenggut sebagian dari kehidupannya. Satu kakinya mengalami cacat permanen, membuatnya harus bergantung pada kruk, terlebih karena kamarnya berada di lantai dua. Berjalan tanpa bantuan menjadi hal yang hampir mustahil.
Ironisnya, pria yang menabraknya hanya mengalami luka ringan di kepala dan kini telah menjadi suaminya. Ya, suami di atas kertas. Pernikahan mereka bukan karena cinta, melainkan tanggung jawab. Pria itu, Harven Junian Himawan, menikahinya karena merasa bersalah telah menyebabkan Rielle cacat seumur hidup. Lebih tepatnya orang tua Harven yang merasa bersalah pada Rielle.
Awalnya, Rielle menolak lamaran tersebut. Tapi ketika sang ayah terserang stroke akibat syok mengetahui kondisi Rielle, dan biaya pengobatan menumpuk, ia tidak punya pilihan lain selain menerima pinangan keluarga Harven.
Ia membuka ponselnya dan membaca pesan singkat dari suaminya.
“Katakan ke Mama dan Papa kalau gue ada kuliah pagi. Jangan bilang gue nginep di rumah pacar gue!”
Rielle hanya membalas singkat, "Y."
Tanpa ekspresi, tanpa amarah, hanya kelelahan yang makin menumpuk dalam diamnya.
Suara denting notifikasi ponsel kembali terdengar, membuat Rielle menoleh. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja nakas, lalu membuka layar. Siapa yang mengiriminya pesan sepagi ini? Biasanya, hanya Harven - suaminya yang mengirim pesan pagi-pagi, meski isi pesannya pun tidak pernah menyenangkan.
Namun kali ini bukan dari Harven, melainkan dari salah satu dosen di kampus tempat ia mengajar sebagai asisten.
"Rielle, saya hari ini tidak bisa ke kampus. Tolong gantikan saya mengajar pukul 10 pagi ini di kelas Manajemen Bisnis ruang 301 A. Materinya sudah saya kirim ke e-mail kamu. Maaf saya baru mengabari karena baru sempat memegang handphone."
Rielle membaca pesan itu tanpa ekspresi, lalu membalas singkat, "Baik, Pak."
Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menghela napas. Hari ini seharusnya ia baru masuk kuliah pukul satu siang. Tapi karena dosen utamanya berhalangan, ia harus datang lebih pagi untuk menggantikan.
Perlahan, Rielle mengambil kruknya yang bersandar di sisi tempat tidur. Dengan gerakan yang sudah ia latih selama tiga bulan terakhir, ia berjalan menuju lemari pakaian. Tangannya memilih pakaian yang rapi dan nyaman, lalu membawanya ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian yang telah dipilihnya, Rielle kembali ke kamar. Ia melirik jam dinding. Masih pukul tujuh pagi. Waktu yang cukup longgar, tapi ia tahu lebih baik berangkat lebih awal. Kondisinya kini membuat segala sesuatu terasa lebih lambat. Ia butuh waktu lebih untuk berjalan, naik turun tangga, dan berpindah tempat.
Daripada terburu-buru dan berisiko terlambat, lebih baik ia menyiapkan semuanya dengan tenang sejak pagi. Di matanya, tidak ada semangat berlebihan, hanya tekad untuk tetap menjalani hari meski dengan langkah terseok dan hati yang pelan-pelan terkikis oleh kenyataan.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Rielle lembut ketika tiba di meja makan.
Terresia dan Johan, mertuanya, sedang menikmati sarapan pagi. Keduanya menoleh serempak saat mendengar suara Rielle. Mata Johan sedikit membulat, memperhatikan penampilan sang menantu yang terlihat jauh lebih rapi dari biasanya, blouse navy yang disetrika dengan rapi, celana panjang berpotongan formal, serta rambut yang diikat dengan anggun.
"Rapi sekali, Rielle. Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Johan dengan nada heran, namun bersahabat. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Rielle berdandan cukup formal sejak menjadi bagian dari keluarga mereka dua minggu lalu.
"Ada jadwal mengajar, Pa," jawab Rielle sopan, menarik kursi dan mulai duduk.
"Mengajar?" Johan mengerutkan kening, lalu melirik istrinya.
"Iya, Pa," sahut Terresia cepat sebelum suaminya bertanya lebih jauh. "Rielle ini bukan hanya kuliah, tapi juga jadi asisten dosen di kampusnya."
"Serius?" Johan menaikkan alis, lalu tersenyum lebar. "Wah, hebat! Nggak nyangka, ternyata menantu Papa seorang asisten dosen. Pantas saja rapi dan terlihat pintar."
Rielle hanya tersenyum kecil, menunduk sedikit sambil mencicipi sarapannya.
"Kalau saja Jehan tinggal di rumah ini," lanjut Johan dengan nada bercanda, "pasti obrolan kalian seru. Anak itu dari dulu suka sekali membahas masalah pelajaran. Bisa-bisa dia malah betah tinggal di sini karena punya teman diskusi."
Terresia mendesah dan menatap malas ke arah suaminya. "Ah, pagi-pagi jangan bahas Jehan. Mama bisa langsung pusing dengar namanya."
Johan hanya terkekeh, sementara Rielle diam-diam mencuri pandang ke arah mereka. Ia hanya bisa tersenyum simpul, tidak benar-benar memahami maksud dari percakapan itu. Nama Jehan terdengar asing baginya, meski jelas dari nada bicara keduanya bahwa Jehan adalah bagian penting dari keluarga ini dan tampaknya cukup sering menjadi bahan perdebatan.
Sudah dua minggu ia tinggal di rumah ini, namun banyak hal yang belum ia pahami sepenuhnya. Kehidupan barunya sebagai istri dari pria yang nyaris tidak pernah pulang, menantu di keluarga yang begitu kompleks, dan kini harus menjalani peran sebagai mahasiswa, pengajar, sekaligus anak dari keluarga yang terluka, semuanya seperti babak baru yang penuh teka-teki.