2. Pertemuan Kembali

1139 Kata
"Suami kamu tidak pulang?" tanya Johan tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat gerakan tangan Rielle yang hendak menyuapkan makanan langsung terhenti di udara. Ia menoleh perlahan, menatap papa mertuanya dengan senyum yang dipaksakan. "Pulang, Pa. Tapi tadi pagi dia sudah berangkat karena ada kuliah pagi," jawabnya pelan, berusaha terdengar meyakinkan. Johan menyipitkan mata. Wajahnya tidak lagi seramah tadi. "Kamu yakin? Setahu Papa, Harven tidak pernah punya jadwal kuliah sepagi ini," ucapnya curiga, alisnya bertaut. Rielle menahan napas sesaat, lalu menunduk tipis. "Rielle tidak tahu, Pa. Tapi itu yang dia bilang semalam. Katanya ada kelas pagi," balasnya dengan suara tenang, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai menyeruak. Namun Johan belum selesai. Tatapannya kini tajam, dan nada suaranya lebih serius. "Apa mungkin, dia ke apartemen kekasihnya?" Pertanyaan itu membuat d**a Rielle terasa sesak. Ia menegakkan punggungnya, meski tubuhnya seketika terasa kaku. Suara piring dan sendok terdengar jauh di telinganya, seolah dunia seketika mengecil. "Bagaimana bisa Papa tahu?" batinnya bergemuruh. "Kalau memang Papa tahu Harven punya kekasih, kenapa masih memaksa kami menikah? Bukankah cukup menuntut tanggung jawab sampai pada pengobatan saja? Kenapa harus pernikahan?" Pertanyaan demi pertanyaan berdesakan di benaknya. Tapi tidak satu pun sanggup ia ucapkan. Yang ada hanya senyum tipis yang mulai memudar, dan mata yang berkaca-kaca tapi tetap berusaha terlihat kuat. "Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur? Atau terus bertahan dengan kebohongan kecil ini, hanya agar tidak mempermalukan suami di meja makan?" pikir Rielle. Ia menggenggam sendok erat-erat, menyembunyikan getar di tangannya. Bibirnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Situasi ini terlalu pelik untuk dijawab dengan kalimat sederhana. Namun sebelum ia sempat bicara, suara Mama mertuanya terdengar memecah ketegangan. "Sudahlah, Pa. Jangan menekan Rielle. Dia pasti sudah cukup lelah," ucap Terresia lembut sambil menepuk tangan suaminya. Johan mendesah, lalu bersandar ke kursinya. "Papa cuma tidak suka anak kita menyia-nyiakan perempuan baik seperti dia." Kata-kata itu menghantam hati Rielle lebih keras daripada tuduhan sebelumnya. Perempuan baik. Tapi diperlakukan seolah ia hanya bagian dari tanggung jawab, bukan cinta. "Lagi pula, setahu Mama, mereka sudah berpisah sejak Papa menyuruh Harven untuk mengakhiri hubungannya," ucap Terresia saraya menatap lembut suaminya. Tiba-tiba, suara seseorang memecah obrolan di meja makan. "Selamat pagi," sapa suara itu ringan, namun cukup menggetarkan suasana. Semua orang sontak menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria berjalan menghampiri mereka dengan senyum tenang di wajahnya. "Jehan?" Johan menyipitkan mata sejenak sebelum akhirnya tersenyum lebar, mengenali sosok itu. "Jehan, kamu sudah pulang!" serunya penuh semangat. "Pagi, Kak," balas Jehan ramah sambil melangkah mendekat dan merangkul kakaknya sejenak. Namun, tidak semua orang di ruangan itu menyambut kedatangan Jehan dengan sukacita. Di seberang meja, Rielle membeku. Ia duduk tepat di hadapan ibu mertuanya, dan kini tubuhnya terasa dingin seketika. Napasnya tercekat, matanya tidak berkedip menatap sosok pria yang berdiri hanya beberapa meter darinya, pria yang hampir lima tahun menghilang tanpa kabar, seolah lenyap ditelan bumi. Dan kini, dia kembali, berdiri di hadapan mereka dengan senyum yang masih sama. Senyum manis yang dulu mampu melembutkan hatinya, dilengkapi lesung pipi khas yang dulu ia kenal begitu baik. Rambutnya kini berwarna blonde, sedikit lebih panjang dari terakhir kali Rielle melihatnya, dan dengan usia yang telah menginjak 31-an, pria itu justru tampak semakin mempesona. Jehan menyapu pandangannya ke sekeliling, lalu berhenti pada sosok yang begitu tidak asing. Tatapannya membeku sesaat. "Elle..." ucapnya lirih, sedikit tercekat. Rielle tidak menjawab. Sorot matanya gelisah, namun ia tetap mencoba menjaga ekspresi datarnya. Napasnya dalam-dalam, mencoba menyembunyikan guncangan di dadanya. Johan tampak bingung melihat reaksi Jehan, lalu menoleh ke arah adiknya. "Kamu kenal Rielle?" Jehan membuka mulut, hendak menjawab. Namun, sebelum satu kata pun sempat keluar, Rielle sudah mendahuluinya. "Pagi, Pak," ucap Rielle sambil tersenyum tipis ke arah Johan, pura-pura tidak mengenal Jehan sama sekali. Suaranya terdengar tenang, tapi tangannya yang mengepal di bawah meja mengkhianati hatinya yang bergetar hebat. Jehan terdiam, senyumnya memudar perlahan. Ia menatap Rielle dengan mata yang sulit diartikan, campuran keterkejutan, rindu, dan sesuatu yang belum terucap. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Jehan dengan nada terkejut. Sorot matanya menatap tajam ke arah Rielle, seolah masih belum bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. "Dia menantuku, Je," jawab Terresia pelan namun tegas. "Apa kamu lupa, ponakan kesayanganmu itu sudah menikah." "Menantu?" Jehan mengulang dengan suara gemetar, lalu menggeleng keras. "Enggak, enggak mungkin!" serunya, suaranya meninggi hingga membuat Johan dan Terresia refleks saling berpandangan, terkejut dengan reaksi Jehan yang tidak biasa. “Jehan, tenang dulu ...” Namun sebelum Johan sempat melanjutkan, Rielle sudah berdiri dari kursinya dan memotong suasana yang mulai tegang. “Pa, Ma. Pak Jeje,” ucapnya sopan namun datar, “Rielle pamit, mau berangkat ke kampus.” Semua mata kini tertuju padanya. Rielle menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan raut wajahnya yang mulai goyah. “Bareng Papa saja, Rielle. Sekalian, Papa juga mau ke kantor,” ucap Johan sambil bangkit dari duduknya. “Tidak usah, Pa. Saya bisa sendiri. Ada Pak ...” “Biar aku yang antar!” potong Jehan tiba-tiba. Tatapannya tajam, penuh emosi yang sulit dijelaskan. “Tidak usah, Pak. Terima kasih, saya bisa sendiri,” balas Rielle cepat, suaranya mulai mengeras namun tetap sopan. “Aku antar!” ulang Jehan, kali ini dengan tekanan yang jelas. Suaranya hampir seperti perintah. “Jehan! Apa-apaan kamu!” bentak Johan. “Kamu menakuti menantu ...” Belum sempat Johan menyelesaikan kalimatnya, Jehan sudah melangkah cepat ke arah Rielle dan tanpa aba-aba menarik pergelangan tangannya. “Aku cuma mau bicara!” katanya keras. “Lepaskan, Pak!” seru Rielle berusaha menahan diri, tubuhnya jelas limbung karena kehilangan keseimbangan. Dan benar saja, belum juga satu langkah ia ambil, tubuh Rielle goyah dan jatuh tersungkur ke lantai. "Rielle!" teriak Terresia panik, langsung bergegas bangkit dari kursinya dan mendekati menantunya. Johan dan Terresia segera menghampiri menantu mereka yang terjatuh. Terresia refleks berlutut, memegangi lengan Rielle dan membantunya perlahan untuk berdiri. Wajahnya pucat, khawatir sekaligus geram. Di sisi lain, Johan dengan cepat menghampiri Jehan dan Plak! - sebuah tamparan keras mendarat di pipi Jehan. "Apa kamu sudah gila, hah?!" bentak Johan penuh emosi. Wajah Jehan terkejut. Matanya membelalak, tidak menyangka akan mendapat perlakuan itu dari kakaknya sendiri. "Apa salah Rielle sampai kamu tega memperlakukannya seperti ini?!" lanjut Johan, suaranya bergetar menahan amarah. "Jangan pikir hanya karena Harven lebih dekat denganmu dan selalu menurut padamu, kamu bisa seenaknya memperlakukan istrinya dengan kasar!" Terresia mendekap Rielle pelan, mengusap lengannya seakan memberi ketenangan. "Minta maaf sekarang juga pada Rielle!" tegas Johan, nadanya tidak bisa ditawar. Jehan menatap Rielle yang berdiri tertatih di samping Terresia. Tatapannya lalu jatuh pada kruk yang tergeletak di lantai, terguling begitu saja. Hatinya mencelos. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan, kaki Rielle kini tidak sempurna. Perempuan yang dinikahi Harven karena alasan tanggung jawab akibat kecelakaan itu dan membuat orang yang di tabrak mengalami kecacatan permanen adalah Rielle. Rielle, wanita yang dulu begitu ia cintai. Bahkan sampai detik ini cinta itu masih ada. Jehan pun menunduk, terpaku. Lidahnya kelu, dadanya sesak oleh rasa bersalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN