Suasana pagi di apartemen itu terasa hangat. Aroma tumisan bawang putih bercampur dengan wangi nasi yang sedang ditanak memenuhi ruangan. Rielle sibuk mondar-mandir di dapur, tangannya lincah mengaduk masakan, sesekali mencicipi kuah dengan sendok kayu, lalu menyesuaikan bumbu dengan cekatan.
Di ruang tamu, Harven hanya bisa duduk di sofa sambil memperhatikan gerak-gerik istrinya. Awalnya ia berniat membantu, tapi Rielle langsung menatapnya dengan alis terangkat.
“Kalau beneran mau bantu, Ven, tolong jangan gangguin aku di dapur. Mending kamu lakukan hal lain. Masak itu butuh fokus.”
Jawaban itu sukses membuat Harven tersinggung kecil. Ia akhirnya menyerah, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk. Dengan malas ia meraih remote televisi, menyalakan layar, lalu asal menekan tombol-tombol
