Rielle turun dari ranjang dengan gerakan terburu-buru, tubuhnya masih dibelit erat oleh selimut. Baru melangkah satu kaki, tiba-tiba ia mengerutkan wajah menahan perih yang menyeruak di bagian paling privat tubuhnya. Rasa nyeri itu membuatnya seakan tersengat.
“Sial, kenapa sakit begini?” gumamnya, kesal sekaligus malu pada dirinya sendiri.
Ia kembali melangkah, namun kini langkahnya timpang, seperti tertatih. Setiap gesekan membuat tubuhnya tak nyaman, bahkan ia tidak bisa benar-benar merapatkan kedua kakinya. Jalan yang biasanya biasa saja kini berubah kaku, penuh kikuk.
Pintu kamar berderit terbuka. Harven masuk dengan langkah cepat, wajahnya langsung menegang melihat keadaan istrinya. “Rielle? Apa yang kamu lakukan?” tanyanya cemas.
Tanpa pikir panjang, ia segera berlari menghampir
