Pacarku dan Adikku Main Di Kamarku

1790 Kata
Pintu rumah berderit pelan saat Liora masuk. Hatinya terasa berat. Berat oleh rasa bersalah yang menumpuk sejak siang. Sayang … maaf. Aku bakal jujur nanti. Semoga kamu nggak marah. Ia menaiki tangga dengan hati-hati, menuju kamarnya. Begitu sampai di depan pintu, pandangannya tertumbuk pada sepasang sepatu yang sudah ia kenal betul. Sepatu sneakers hitam sederhana yang sudah agak kusam di bagian ujungnya. Bukan merek mewah banget yang biasanya menghiasi lemari Zayne Lesmana. Bukan keluaran limited edition atau luxury brand. Itu hadiah ulang tahun Zayne dua tahun lalu. Dibeli dari tabungan part time Liora, yang dikumpulkan diam-diam selama hampir empat bulan. Zayne waktu itu tertawa lebar, senyum yang cuma muncul kalau dia benar-benar bahagia, senyum yang penuh cinta. “Sayang … kamu tahu nggak? Ini hadiah paling berharga yang pernah aku dapat. Aku bakal pakai terus, biar semua orang tahu kalau aku cinta banget sama kamu.” Dan Zayne memang selalu menepati kata-katanya. Sneakers itu selalu dia pakai kuliah dan kalau mereka mau kencan santai. Bahkan pernah dia pakai waktu ngajak Liora nonton konser underground favorit mereka. Ingatan itu menyerbu terlalu cepat, terlalu kuat. Mata Liora memanas. “Sayang …” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar menahan emosi. “Aku bakal jujur sama kamu.” Tangannya meraih gagang pintu kamarnya. Tapi belum sempat ia putar … “Ahh … Mmmh …” Deg Ada suara. Dan bayangan di celah bawah pintu, bukan hanya satu … tapi dua. Jantung Liora mencelos. Tangannya masih menegang di gagang pintu. Klik. Pintu kamar terbuka. * * POV Zayne sebelum Liora membuka pintu kamar … Nafasnya berat dan kepalanya serasa berputar. Tubuhnya terasa panas, tapi jiwanya dingin. “Lio … ra …” Suara itu terus keluar dari bibirnya. Sementara itu di atas tubuhnya, Evelyn menyeringai. Tubuh ramping gadis itu bergerak pelan di atas perut Zayne, jemarinya menyusup ke balik kaus pria itu yang sudah separuh tersingkap. “Tenang aja, Kak Zayne …” bisik Evelyn dengan nada memabukkan. “Aku sayang banget kok sama kamu … udah lama.” Zayne ingin bangkit tapi tubuhnya terlalu lemah. Setiap kali ia ingin menolak, otaknya seperti tenggelam lebih dalam ke kabut panas yang menusuk. Evelyn membungkuk, mencium leher Zayne perlahan, naik ke telinganya. Tangan kirinya membuka kancing celana Zayne perlahan-lahan. Desisan halus lolos dari bibirnya. “Kak Zayne … punyamu … besar banget.” Zayne mengerang lirih. Bukan karena kenikmatan tapi karena tubuhnya tak lagi tunduk pada logika. Evelyn menduduki pangkal pahanya lalu menggoyangkan pinggulnya pelan, menekan tubuh Zayne di bawahnya. “Liora nggak bisa muasin kamu kak,” bisiknya. “Tapi aku … aku bisa kasih semuanya.” Tangannya meraih ke belakang, menarik celana dalamnya sendiri, dan dalam satu gerakan … tubuhnya turun, menelan bagian paling rapuh dari pria itu. Zayne mendesah tertahan. Kepalanya terlempar ke belakang. Air mata mengalir di sudut matanya. “Lio …” * * Pintu kamar terbuka. Mata Liora langsung membelalak. Dunianya runtuh dalam sekejap. Zayne, Zayne-nya, pacar yang ia cintai sejak kecil, pria yang selalu melindunginya … terbaring tak berdaya di ranjangnya. Dan Evelyn, adik tirinya sendiri, bergerak naik turun di atas tubuhnya … tubuh yang harusnya menjadi milik Liora. Seluruh tubuh Liora membeku, serasa seluruh darahnya ditarik ke bawah. Tangannya tremor. Mulutnya kering, tapi suaranya akhirnya pecah seperti kaca jatuh. “ZAAAYNE!!!” Jeritannya menggema. Air matanya langsung tumpah, tanpa bisa dicegah. Zayne menoleh dengan sisa tenaga. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya berkeringat dingin. Mata itu, mata yang selama ini selalu hangat, kini kosong dan penuh rasa bersalah. “Lio …” bibirnya bergetar. “Bukan … aku … bukan aku yang …” Tapi semuanya sudah hancur. Liora melesat maju. Emosi dan adrenalin menguasai tubuhnya. Tangannya langsung mencengkeram rambut panjang Evelyn dan menariknya keras ke belakang, menjatuhkan gadis itu dari tubuh Zayne ke lantai. PLAK!!! Satu tamparan keras mendarat di pipi Evelyn. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!!” Tangisan Liora pecah bersamaan dengan teriakannya. “KAMU GILA?!!” Evelyn terduduk di lantai, hanya tersenyum puas, pipinya merah tapi tatapannya tak kalah kejam. “Gimana, Lio?” katanya manis penuh racun. “Lihat pacar kamu … ngerengek pakai nama kamu … sementara dia DI DALAM AKU?” PLAK! Tamparan kedua, lebih keras. Zayne mencoba bergerak, bangkit. Tapi tubuhnya masih lemas sehingga dia terjatuh lagi di ranjang. “Lio … dia … aku nggak—” Liora menoleh ke arah Zayne, matanya basah, penuh dengan luka. “Aku nggak tahu apa yang lebih nyakitin, Zayne … kamu diem aja waktu dia kayak gitu, atau … kamu tetap bisa … bereaksi.” Evelyn masih santai di lantai, memegang pipinya yang bengkak dan perih tapi malah tersenyum puas. “Wajar lah, pria mana sih yang bisa nolak cewek kayak aku? Bahkan cowok kamu.” Liora berbalik cepat, mendekati ranjang. Zayne masih terbaring di sana, setengah sadar, keringat dingin membasahi wajah tampannya yang pucat. “Zayne!!” Liora mengguncang bahu pacarnya itu, tubuhnya gemetar hebat. “Kenapa kamu lakuin ini ke aku?! Ke kita?! Kenapa?!” Suara tangisnya pecah, seakan setiap kata yang keluar ikut merobek hatinya sendiri. “Aku percaya sama kamu sepenuh hati selama ini … terus kenapa harus gini?!!!” Zayne membuka mata pelan. Pandangannya kabur. Napasnya berat, suara yang keluar nyaris tak terdengar. “Lio … aku … nggak … ini bukan aku …” Tapi di telinga Liora, itu cuma terdengar seperti alasan. Alasan basi yang datang setelah segalanya sudah telanjur hancur. Air matanya menetes deras, jatuh ke pipinya sendiri, satu per satu. Zayne berusaha meraih pergelangan tangan Liora dengan sisa tenaga yang nyaris habis. Matanya berkaca-kaca, suaranya pecah dan parau. “Lio … percaya aku … ini bukan aku … aku nggak pernah … aku cuma … aku—” PLAK!! Tamparan mendarat keras di pipinya. “Kalau kamu sayang aku, kalau kamu bener-bener cinta aku, KENAPA bisa kejadian kayak gini?!” Liora menjerit, suaranya parau dan penuh luka. PLAK!! Tamparan kedua menyusul, lebih keras, lebih menyayat hati. Zayne hanya terdiam, wajahnya tertunduk. Rasa sakit dari tamparan itu bukan apa-apa dibanding rasa sesak di daadanya. Karena setiap tangisan Liora … lebih tajam dari pukulan mana pun. “Aku benci sama kamu!! KALIAN BERDUA BINAT4NG!!!” Tangisan itu berubah jadi teriakan histeris. Air matanya tak berhenti, jatuh deras seperti hujan badai yang menenggelamkan segalanya. Tanpa menoleh lagi, Liora berlari keluar kamar. Langkahnya guncang, kacau, seperti tubuhnya sudah tak tahu harus ke mana. BRAAK! Pintu dibanting keras. Suaranya menggema di seluruh rumah. Zayne terduduk lemah, tangannya terulur kosong ke arah pintu yang sudah tertutup rapat. Matanya buram, pandangannya gelap, dan satu kata lolos pelan dari bibirnya yang gemetar. “Maaf …” * * Udara hari itu panas banget, tapi hati Liora terasa lebih dingin daripada kutub manapun. Langkahnya gontai, matanya sembab, air mata sudah terlalu banyak mengalir sampai kini hanya tersisa sesenggukan lemah. Setiap detik berjalan, kepalanya dipenuhi kenangan. Suara tawa Zayne saat mereka kecil, memanggilnya dengan nada manja, “Lio~!” Tatapan hangatnya waktu remaja, ketika ia berjanji “Aku bakal jagain kamu selamanya.” Bahkan janji-janji manis saat mereka resmi jadi pasangan “Nggak akan ada yang bisa gantiin kamu di hati aku.” Kini semua itu menari-nari di benaknya … bukan untuk menghibur, melainkan mengejek, menertawakan kepolosannya. Hati ini rasanya udah jatuh ke tanah. Perih … tapi nggak berdarah. Hampa. Kosong. Liora memegangi daadanya sendiri, tubuhnya gemetar. “Selama ini pegangan aku cuma Zayne …” bisiknya dengan suara pecah. “Sekarang … aku harus gimana …?” Di tengah keputusasaan itu, kakinya seakan berjalan sendiri. Ia tidak sadar arah, hanya mengikuti naluri. Hingga akhirnya, matanya menatap sebuah bangunan yang sudah terlalu familiar. Rumah Sakit Jiwa Valleshire. Di sinilah mamanya tinggal. Mamanya, wanita cantik dan percaya diri yang dulu dihancurkan oleh perselingkuhan papanya, ketika si selingkuhan itu dibawa masuk ke rumah mereka tanpa rasa malu beserta dengan anak haram mereka. Selingkuhan itu adalah mamanya Evelyn. Liora berdiri di depan gerbang, tubuhnya lemas, air matanya kembali jatuh. Mama … aku sekarang kayak kamu. Dihancurin oleh orang yang aku percaya sepenuh hati. Liora berjalan masuk perlahan, matanya masih sembab. Jantungnya berdetak kacau. Koridor rumah sakit jiwa itu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki suster yang berlalu lalang. Begitu sampai di sebuah kamar dengan jendela kecil, ia melihat sosok yang ia kenal sejak lahir. Mamanya duduk di kursi kayu dekat jendela, rambutnya sudah sedikit berantakan, tapi sorot matanya lembut. Tangannya sibuk merajut dengan benang wol lusuh. “Mama …” suara Liora pecah begitu saja. Mamanya menoleh. Seketika wajahnya berubah cerah, senyum yang begitu tulus merekah, seakan dunia luar yang penuh luka tidak ada artinya. “Liora, anak Mama …” Liora langsung berlari kecil, memeluk tubuh rapuh itu erat-erat. Air matanya tumpah lagi, membasahi bahu mamanya. “Aku kangen, Ma … kangen banget …” Mamanya membelai rambut putrinya lembut. “Kenapa nangis, hm? Kamu jatuh? Atau kamu takut nanti mau divaksin? Hehehehee …” Semakin mendengar kata-kata itu, hati Liora makin sakit. Ia berusaha tersenyum, tapi tangisnya makin pecah. “Ma … semua laki-laki sama aja ya? Aku pikir … Zayne berbeda …” Pelukan mamanya menguat, walaupun tangannya bergetar. “Sayang anak mama … sayang cup cup cup jangan nangis nanti mama beli mainan baru ya …” ucapnya lirih. Liora menutup mata rapat-rapat, air matanya jatuh deras. Suara mamanya lembut, tapi di telinganya terdengar seperti doa yang menambal luka hatinya. Untuk pertama kalinya hari itu, Liora merasa sedikit tenang, walaupun dunia ini barusan menghancurkan separuh dirinya. * * Liora terbangun perlahan beberapa jam kemudian, kepalanya masih terasa berat, matanya sembab tidak karuan. Ia mengerjap pelan, tubuhnya masih berada di pangkuan mama yang tertidur sambil duduk. Sejenak ia berharap, sungguh berharap, semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi buruk. Tapi begitu melihat langit di luar jendela yang sudah gelap, harapannya runtuh. Ia menoleh ke arah mamanya yang sudah tertidur di ranjang dan ke jam dinding, pukul 20.03. Ponselnya bergetar pelan di dalam tas. Saat ia meraihnya, layar langsung dipenuhi notifikasi pesan … puluhan. Liora menelan ludah, jantungnya mencelos ketika melihat angka itu. 51 missed call dari Zayne. Dengan tangan gemetar, ia membuka Wh4tsApp. Deretan pesan memenuhi layar. Sayang, aku mohon angkat teleponnya … Please jangan tinggalin aku … Apa kamu benar-benar sangat benci aku sekarang? Tolong dengar aku dulu … aku nggak sadar apa-apa tadi, aku nggak tahu kenapa bisa kayak gitu. Aku jijik sama diri aku sendiri. Lio, sumpah demi Tuhan … cuma kamu. Dari kecil sampai sekarang, hatiku cuma buat kamu. Aku rela dihukum apa aja asal kamu percaya aku nggak pernah milih Evelyn. Jangan putus sama aku, jangan buang aku, Sayang … aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Lio … please … jawab aku, walau cuma satu kata. Aku cinta kamu. Selalu … selamanya. Liora menatap layar itu, air matanya kembali tumpah. Tangannya gemetar, hatinya koyak antara marah, cinta, benci … dan hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN