Aku Mau Balas Dendam

2039 Kata
Liora POV …Aku nggak bales pesan, nggak angkat telepon. Hati ini rasanya kosong, hampa. Apa gunanya lagi? Selama ini aku nggak pernah jahat sama Evelyn. Nggak pernah balas dendam sama mama tiriku yang ngambil semua dari Mama. Tapi kenapa mereka tetap aja nyakitin aku? Mereka udah hancurin Mama, sekarang mereka rebut juga satu-satunya pegangan hidupku. Aku bertahan di rumah itu bukan karena aku betah. Aku bertahan karena masih butuh Papa. Walaupun dia dingin, setidaknya dia masih biayai Mama di RSJ, masih bayarin kuliahku. Aku cuma punya satu tujuan. Lulus. Lulus, terus menikah sama Zayne. Aku udah janji sama diri sendiri, begitu aku sah jadi istrinya, aku bisa keluar dari neraka itu. Bisa mulai lembaran baru. Zayne juga janji, kan? Dia janji bakal jaga Mama, janji kalau nanti Mama boleh tinggal sama kami. Aku percaya semua akan lebih baik begitu … Tapi sekarang? Semua hancur di depan mataku. Janji-janji itu runtuh. Harapan yang aku peluk erat sampai sakit, pecah jadi abu. Aku … nggak punya apa-apa lagi. Nggak punya tempat pulang. Nggak punya jalan keluar. Yang tersisa cuma sakit yang bahkan nggak harusnya aku tangisin lagi. Kalau bahkan Zayne bisa hilang … lalu siapa lagi yang bisa aku percaya? Selama ini aku cuma menangis. Selama ini aku cuma meratapi nasib, berharap ada keajaiban yang nyelametin aku dan Mama. Tapi ternyata, nggak ada. Dunia ini emang kejam … dan orang-orang yang seharusnya aku panggil keluarga, justru yang paling tega menghancurkan aku. Air matanya berhenti, berganti tatapan kosong yang perlahan mengeras. Nafasnya tersengal, tapi matanya kini menyala dengan api baru. Mulai hari ini, aku nggak mau diam lagi. Aku nggak mau jadi korban lagi. Ia mengepalkan tangan. Kali ini … akan aku balas. Satu per satu. Papa. Tante Devi. Evelyn. Dan… bahkan kamu, Zayne. * * Suara burung terdengar samar dari halaman belakang, bersaing dengan bunyi roda troli suster yang sesekali melintas di lorong. Di salah satu kamar VIP lantai tiga, Liora masih terbaring menyamping di sofa panjang walaupun dia tidak bisa tidur semalaman, punggungnya menghadap ke jendela. Selimut tipis menyelimuti tubuhnya, tapi bukan dingin yang membuatnya menggigil. Melainkan kenyataan. Kenyataan kalau rumahnya, tempat ia tumbuh dan jatuh cinta, sekarang adalah tempat yang paling tak ingin ia lihat. Ranjangnya sendiri jadi saksi tubuh Zayne dan Evelyn bersatu dalam pengkhianatan. Dua bin4tang, pikirnya getir. Dan ranjang itu sekarang terasa lebih kotor dari selokan mana pun. Itu sebabnya ia tidur di sini. Di RS Jiwa Valleshire, di samping mamanya yang bahkan sudah lupa siapa dirinya sendiri. Karena sekalipun pikiran mamanya kabur, pelukan mamanya semalam adalah satu-satunya pelukan yang terasa tulus dan utuh setelah semuanya hancur. Ia bangkit perlahan. Lehernya terasa pegal dan wajahnya sembab. Tapi anehnya, hatinya sedikit lebih tenang. Mungkin karena malam tadi ia akhirnya bisa menangis tanpa harus menahan diri? Entahlah. Ia menoleh ke ranjang. Mamanya masih tertidur, posisi tubuhnya meringkuk, bibirnya sedikit terbuka. Ada sisa benang wol di tangan kanannya, rajutan yang belum selesai sejak kemarin. Liora berdiri, merapikan selimut mamanya. “Maaf ya, Ma … anak Mama ini lemah banget,” bisiknya pelan. “Tapi aku bakal kuat. Mulai sekarang … aku nggak mau jadi korban lagi.” Ia berjalan pelan ke kamar mandi kecil di dalam ruangan, membasuh muka dengan air dingin. “Kayak zombie,” gumamnya getir melihat pantulan dirinya di cermin, Liora menarik napas dalam-dalam. Mata sembab, pipi masih merah, tapi sorot matanya sudah mulai berbeda. Ada bara yang mulai menyala diam-diam di sana. Ia keluar kamar, menyusuri koridor sunyi. Suasana masih sunyi, hanya ada beberapa perawat shift pagi yang berseliweran dengan clipboard dan tablet di tangan. Perutnya perih. Lapar dan stres bergabung jadi satu. “Mungkin di depan ada tukang bubur,” pikirnya sambil menepuk pipi sendiri, mencoba menegakkan bahu dan berjalan menuju pintu utama. Liora hampir tidak memperhatikan sekeliling sampai telinganya menangkap suara bariton seksi, penuh wibawa, yang familiar entah dari mana. “Perawat jaga pagi, pastikan ruang observasi 2 sudah steril sebelum pasien baru masuk,” suara itu jelas dan tegas. Liora berhenti. Ia menoleh pelan ke arah sumber suara. Dan di sana, di bawah cahaya pagi yang jatuh di bahunya … berdiri pria itu. Rain Yuriel Ardhanasatya. Jas dokter putih tergantung setengah di bahu, kemeja hitamnya terlihat rapi dalam balutan, dan tag identitasnya bergoyang kecil. Ia sedang memberi instruksi pada dua perawat muda, tapi ketika matanya tanpa sengaja bertemu pandang dengan Liora, semua seolah berhenti. Liora terpaku, otaknya seperti mogok bekerja. Serius? Dunia sekecil ini? Rain juga diam beberapa saat, lalu alisnya sedikit terangkat. Senyum itu muncul lagi, senyum yang membuat daada Liora berdebar entah karena jengkel atau gugup. “Eh … pasien panik,” sapanya santai, menutup clipboard di tangannya. “Kok bisa ketemu lagi?” Liora langsung melotot kecil, mencoba menahan muka supaya nggak kelihatan kikuk. “Aku bukan pasien kamu lagi,” katanya cepat. “Dan … aku nggak panik! Jangan sembarangan ngomong!” Rain menyilangkan tangan di daada, memiringkan kepala. “Oh ya? Tapi wajah kamu masih sama kayak kemarin … setengah trauma, setengah malu.” “Bisa nggak sih kamu nggak nyindir?” Nada Liora naik sedikit, tapi justru membuat Rain tersenyum lebih lebar. Cowok itu melangkah mendekat beberapa langkah, jaraknya kini cuma sejangkau tangan. “Kalau gitu, santai aja. Aku kebetulan bakalan di sini seminggu ke depan. Ada rotasi.” Tatapannya turun sebentar ke wajah Liora yang masih basah oleh air cuci muka. “Kamu ngapain di sini pagi pagi?” Liora menelan ludah. “Aku … nengokin seseorang.” “Pasien?” Liora menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Iya. Mama.” Rain terdiam, ekspresinya berubah sedikit menjadi lebih empatik. “Dia dirawat di sini?” “Udah lama,” jawab Liora pelan. “Dan aku cuma … nggak punya tempat lain buat pulang semalam.” Hening sesaat sampai akhirnya Rain menghela napas. “Kamu kelihatan kayak orang yang butuh sarapan.” Liora menatapnya curiga. “Kamu ngatain aku lemes?” “Enggak,” jawab Rain sambil menahan tawa. “Aku cuma bilang, pasien panik harusnya makan biar nggak tumbang. Ada tukang bubur di seberang gedung. Ayo, kebetulan aku juga belum sarapan.” Liora membuka mulut hendak menolak, tapi perutnya justru ikut bersuara pelan. Kruuk Wajahnya langsung memerah. Rain menahan tawa lagi. “Tuh, yang di dalam udah setuju.” “Ck,” desis Liora, tapi akhirnya ia ikut berjalan di sebelah Rain. * * Langkah mereka pelan melewati halaman depan rumah sakit, sinar matahari menyorot rambut Liora yang masih lembap. Rain melirik sekilas, tatapannya berubah lembut tanpa ia sadari tapi lalu dia buru-buru melihat ke depan lagi. Liora dan Rain menyeberangi jalan kecil depan rumah sakit, menuju satu gerobak sederhana di bawah pohon ketapang. Uap hangat dari dandang bubur menyembul ke udara pagi. Aroma daun salam, kaldu ayam, dan bawang putih menyambut mereka begitu mendekat. "Udah buka, Mas?" tanya Rain santai. Penjual bubur itu langsung menoleh, lalu senyumnya mengembang. Pria paruh baya dengan logat Jawa yang halus dan baju kotak-kotak lengan digulung itu berseru girang. “Waaah! Mas dokter paling ganteng saya datang lagiii! Saya pikir panjenengan udah pindah dinas!” Rain cuma. "Lagi di sini seminggu, Mas." Liora mengerjap geli. Mas dokter paling ganteng?? Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, si Mas bubur sudah menyambut lebih antusias, matanya berpindah ke arah Liora. “Wah wah … ini pacarnya Mas ya?” Senyumnya makin lebar. “Cantik e pol! Serasi banget! Cieee … dokter muda sama cewek cakep … kayak di sinetron!” Liora langsung menjawab. “Bukan, Mas. Saya cuma …” Rain menimpali cepat, “Pasien panik.” Liora mendelik tajam. “Ex-pasien.” Mas bubur terkekeh, sambil mulai menyendokkan bubur ke dua mangkok plastik. Tapi mulutnya nggak bisa berhenti nyerocos. “Yah, cocok lah Mas Rain dapetnya yang kayak mbak ini. Saya tuh ya dari dulu udah bilang … Mas Rain itu terlalu ganteng. Apalagi masih muda, udah dokter, terus …” Ia menoleh ke Liora sambil bisik-bisik keras, seakan sedang membocorkan rahasia negara. “Bapaknya itu lho, Neng, yang punya semua RS Valleshire di Indonesia! Wah! Keluarga dokter semua! Tapi Mas Rain ini masih jomblo. Ganteng, baik, perhatian … aduuuh, kalau saya cewek, udah saya pepet dari dulu~” UHUK! Rain mendadak batuk, nyaris tersedak es tehnya sendiri. Liora langsung mengerutkan kening. "Se-Indonesia??" Rain melotot ke arah Mas bubur, masih batuk kecil. “Mas … saya pesan bubur, bukan press release …” Mas bubur ngakak. “Hahaha! Maaf Mas. Tapi siapa tahu ini rejeki jodoh dari bubur pagi. Banyak loh pasangan yang awalnya ketemu di gerobak saya ini, terus nikah. Beneran.” Liora langsung mendelik. “Sama dia? Dih, amit-amit.” Rain melirik ke samping, sudut bibirnya terangkat setengah. “Mau saya traktir, Mbak pasien panik?” tanyanya ringan, nada suaranya menggoda. Liora mendengus, tapi nggak bisa menahan senyum kecil di ujung bibir. “Kalau kamu manggil aku pasien panik sekali lagi … bubur kamu aku lempar ke mukamu.” Rain mengangkat kedua tangan pura-pura nyerah, “Oke, noted, Nona Galak. Tapi cuma karena kamu lucu pas marah.” “Hmp,” Liora membuang muka, mencoba menahan geli, tapi senyumnya tetap muncul tanpa bisa dicegah. Mereka duduk di bangku plastik di pinggir trotoar. Pagi itu tetap dingin, tapi kehadiran semangkuk bubur hangat dan percakapan aneh barusan … terasa lebih mengobati dibanding apapun. Dan Liora, yang semalam merasa dunia sudah runtuh, hari ini untuk pertama kalinya merasa sedikit bernapas. Bukan karena Rain. Tapi karena pagi ini, untuk sesaat … hatinya nggak terasa sepi. Uap panas dari mangkok masih mengepul. Bubur ayamnya gurih banget, ditaburi bawang goreng dan kecap asin yang wangi. Mas bubur duduk di kursinya sendiri, sambil ngobrol santai seolah mereka bertiga udah kenal lama. “Jadi tuh ya, Mbak,” ujarnya dengan mata melebar, suaranya menurun dramatis, “kemarin waktu saya jualan jam dua pagi di sini, ada ibu-ibu jalan pelan banget di depan gerobak saya. Bajunya putih. Rambutnya panjang banget … kayak basah gitu.” Liora nyaris tersedak tawa. “Mas jangan bercanda …” Mas bubur menggeleng cepat. “Serius, Mbak! Saya udah siap kabur, tapi pas saya nengok lagi … ilang! Eh, lima menit kemudian muncul dari arah berlawanan, tapi sekarang rambutnya diikat dua! Hah! Saya langsung tutup gerobak!” Rain menahan tawa, sendok di tangannya nyaris jatuh. “Mas, itu bukan kuntilanak. Itu mungkin ibu-ibu mau beli tapi bingung harga naik.” Mas bubur melotot. “Lho, Mas jangan ngelucu, saya tuh hampir pipis loh waktu itu!” Liora akhirnya nggak tahan, tawanya pecah. Jujur. Suara tawanya menggema kecil di udara pagi. Untuk pertama kalinya sejak kemarin, daadanya nggak sesak. Rasanya … lega. Rain ikut menatapnya sebentar. Ada sesuatu di matanya saat melihat Liora tertawa. Sampai tiba-tiba— BRRRR Getaran ponsel di tas Liora memotong keheningan kecil itu. Liora menoleh cepat. Layarnya menyala terang, menampilkan satu nama yang membuat seluruh darahnya berhenti mengalir. Z <3 Tangan Liora otomatis kaku, jemarinya menggenggam ponsel itu erat. Suara tawa Mas bubur pelan-pelan memudar di telinganya, tergantikan detak jantungnya sendiri yang mulai kacau. Rain menatap perubahan ekspresinya. “Hey kamu … kenapa?” Liora nggak menjawab. Ia cuma menatap layar itu lama, napasnya mulai sesak. Setiap getaran yang muncul terasa seperti hantaman di daada. Lalu dengan tangan gemetar, ia menekan tombol reject. Getaran berhenti. Tapi cuma dua detik. BRRRR Layar menyala lagi. Nama yang sama. Zayne menelepon lagi. Liora menelan ludah, matanya mulai panas. Napasnya cepat dan pendek. Jari-jarinya gemetar, tapi kali ini ia tak langsung menolak. Ia cuma menatap layar itu … marah, benci, tapi juga … rindu. Rain mengamati wajahnya, ekspresi cemas menggantikan senyum santainya tadi. “Cowok kamu?” suaranya pelan, hati-hati. Liora menunduk. Bahunya naik turun pelan, menahan sesuatu di d**a. “Mantan,” katanya singkat. Lalu ponsel bergetar lagi. Dan lagi. Empat kali. Lima kali. Setiap kali bergetar, genggaman Liora makin kencang, bibirnya makin bergetar. Hingga akhirnya, ia meletakkan ponsel itu di meja plastik dan memalingkan wajah. “Aku … nggak mau dengar suaranya lagi,” bisiknya lirih, hampir tanpa suara. Rain terdiam. Mas bubur masih mengaduk bubur, tapi tatapannya bergeser, tahu kalau suasana pagi yang tadinya ringan berubah jadi tebal oleh sesuatu yang tak kasat mata. Liora menatap jauh ke jalan raya yang mulai ramai. Kenapa masih sesakit ini padahal aku udah berjanji buat jadi kuat? Liora belum sempat menghapus air yang mulai menggenang di matanya ketika tiba-tiba … “Eh—!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN