5 | Tak Jodoh

2115 Kata
Cinta itu misteri paling epic yang tidak bisa diterka dan sepertinya hatiku kembali dijajah oleh si cinta pertama yang pernah kupaksa lupa. . . Bersama sang manajer, Cely memasuki bilik VIP di Kafe Universe. Ada CCTV di situ, tenang saja. Kafenya sudah Cely booking agar sepi ketika tiba di jam dirinya mendatangi. Jangan khawatir, Cely juga sudah memberi tahu istri sah Mas Regan tentang pertemuan ini dan Cely mempersilakannya datang. Dia tidak mau ada kesalahpahaman yang kelak berujung merugikan. Begitu pintu dibuka, Cely melihat sosok sang mantan sudah di sana. Cely pun duduk bersama Kak Tito yang mendampingi. Dia bilang, "Aku perlu saksi atas pertemuan kita, jadi biarkan manajerku tetap di sini. Tenang saja, Kak Tito hanya duduk diam dan pandai menjaga rahasia. Jadi, silakan Mas bicara dengan nyaman." Tampak dari raut Mas Regan keberatan, tetapi sepertinya memilih manut atas hal yang Cely paparkan. Laki-laki dewasa itu menghela napas pelan. Cely menyelami rasa hatinya sendiri. Ke mana denyut yang selama ini ada untuk Mas Regan? Ke mana debar yang tiap kali hadir di saat bertemu dengannya? Dan tidakkah Cely mestinya merasa terluka? Mengingat laki-laki dewasa itu telah membuatnya merasa dibodohi setelah Cely membelanya mati-matian di depan papi. Ya, terluka. Cely menemukan letak lukanya di dalam sana. Di hati yang sedang dia raba. Luka itu menimbulkan rasa kesal, ilfeel, dan bukan amarah tersakiti. Namun, kecewa sudah pasti. Hanya memang tidak yang begitu membakar. Mungkin juga demikian hal yang membuat Cely bisa duduk dengan tenang tanpa berselimut emosi atau rasa ingin mencabik-cabik pria di depannya. Cely justru ingin masalah ini lekas selesai, dengan dia yang mempermudah perpisahan, tanpa menuntut keterlibatan dendam. Mungkin juga karena ... ada Kak Sakti? Cely menyimpan nama itu di bilik hati paling usang. Yang sekali biliknya terbuka ... langsung menyebar ke seluruh ruang. Itu misteri yang sedang Cely pecahkan, mengapa hanya dengan sekali pertemuan di masa dewasa, perasaan dulu yang pernah ada kembali bertakhta. "Orang tua Mas nanyain kamu," kata Mas Regan. Sinting, ya? "Oh, perlu aku yang ke sana dan bilang kita udah putus? Sekalian aku ajak istri Mas nanti." "Perceraian kami udah diproses, Cel. Maaf karena Mas telat bilang. Dan yang kamu lihat di apartemen itu dia yang mulai—" "Terus Mas cuma pasrah dan menikmati," pangkas Cely. "Mas, gini aja. Kalo nggak bisa nerima keputusanku yang mau kita putus sebab Mas cowok beristri, maka terima alasan putusku yang nggak bisa memaklumi kegiatan panas kalian. Terserah mau siapa yang mulai, poinnya apa yang aku lihat waktu itu. Mas membalas, Mas welcome, dan Mas bener-bener nggak kelihatan ada di situasi berontak. Aku lihat, Mas. Kalian saling menginginkan. Ini aku bicara tentang kontak fisik, bukan hati. Dan aku nggak bisa menoleransi kelakuan pacarku yang kayak gitu, ngerti?" "Cel ...." Cely menarik tangannya yang hendak digenggam di atas meja. "Kita udahan, Mas. Dan kuanggap kita selesai dengan baik-baik. Soal Mas dengan mbaknya, silakan jangan libatkan namaku. Oh, ya, terima kasih atas satu tahun kita dulu." "Cely ... please!" Lengan Cely ditahan. Kak Tito hendak menegur, tetapi Cely sendiri yang sudah gerak mengurai. "Kasih Mas kesempatan, Cel. Please! Akan Mas selesaikan dan sampai saat itu tiba ... kembali sama Mas, ya? Kita mulai dari awal lagi." "Maaf, Mas." Cely menatap tepat ke dalam manik sang mantan. "Aku nggak punya toleransi atas kesalahan Mas, itu sudah yang paling fatal." Dan Cely mengulas senyuman. Sudah selesai, kan? Sayang sekali istri beliau belum datang, Cely pun berpamitan. Kak Tito menjaganya dari belakang. Lekas Cely pakai topi dan maskernya sebelum keluar dari Kafe Universe. "Dasar laki kurang asem." Tiba di mobil, Cely mendumal. "Ih, amit-amit! Untung aku terselamatkan." Dia misuh-misuh. "Ya Allah, nggak tahu gimana kalo udah sampe bawa Mas Regan ke rumah." Cely merinding. Tak bisa membayangkan murka papi dan kecewanya mami nanti. "Bener-bener, ya? Cowok nggak kelihatan kalo udah ada istri," decak Cely. Kak Tito menjawab, "Apalagi kalo pinter membual kayak mantanmu, ditambah ceweknya kamu." "Kak Tito sendiri tadi lihat dia gimana? Apa kelihatan udah ada istri? Nggak, kan? Emang kayak bujang, kan? Ngaku bujang pula sama aku. Ya, Kakak bayangin aja ... sampe aku dikenalin ke keluarganya, mereka semua nggak mencirikan Mas Regan udah ada pasangan." "Iya, sih. Kayaknya hubungan pernikahan sama bininya tipe yang nggak direstui keluarga, Cel. Mungkin juga mereka nikah siri atau kawin lari, ya, nggak tau." Cely mendengkus. "Makanya. Orang di KTP-nya aja masih belum menikah, tuh, keterangannya. Tapi, kok, bisa, ya?" "Ya, bisa aja. Apalagi kalo nikah siri, kan?" Cely menghela napas. "Makanya, tuh, kamu nanti ati-ati juga. Jangan mau kalo ada yang ngajak nikah, tapi nikah siri. Banyak ruginya pihak cewek, mending kalo iya lakinya bener. Eh, pas gitu kayak Regan?" "Amit-amit, Ya Allah! Nggak, dong, Kak. Nggak mau aku." Cely pun mengecek ponselnya. "Kak, nanti tolong beliin kartu SIM nomor cantik buatku, ya? Mau ganti kontak." "Oke." "Eh, yang tadi udah direkam, kan? Jaga-jaga aja. Takut viral yang nggak-nggak." "Iya, aman. Chat Regan sama istrinya juga jangan hilang, buat bukti." "Iya, Kak. Ada." "Tenang aja, Cel. Kalaupun nanti kena skandal, toh kamu korban. Yang penting itu, kan, kenyataannya gimana." "Oke, Kak. Oh, iya ... jadwalku kosong jam berapa dan hari apa?" "Kayaknya lusa sore, tapi nanti coba dicek lagi. Sekarang sama besok, kan, ada syuting dan pemotretan. Terus kamu jadi bintang tamu di beberapa podcast dan acara TV." Benar juga, padat. Cely sedang mengetik pesan kepada Kak Sakti. *** Cely: [Kak, sepertinya lusa sore.] Sakti membaca pesan itu. Pesan masuk pukul setengah satu siang, Sakti baru melihatnya di jam empat sore. Pun, baru dia balas sekarang. Sakti: [Ok. Tentukan saja tempatnya.] Tidak lama dari detik di mana Sakti meletakkan ponsel, benda itu bergetar lagi kini. Atas nama Cely. Sepertinya sedang standby di hape, ya? Kok, cepat betul memberi balasan. Cely: [Di rumahku saja.] Sakti: [Oke. Beri tahu nanti kalau sudah stay di rumah.] Cely: [Iya.] Sakti tidak perlu membalasnya, kan? Mau dibalas apa juga kalau sudah 'iya'? Sakti mengganti pakaiannya, dia pun mandi di sini. Dalam ruang pribadinya ini terdapat kamar mandi pribadi juga. Ya, Sakti sedang di bengkel mobilnya. "Pak bos, ada tamu." Terdengar suara dari luar diiringi ketukan pintu. Lekas Sakti buka. "Ada tamu, Pak," kata salah satu montir di sini. Kemudian mereka jalan ke depan. Sakti menemui sosok yang disebut tamu oleh pegawainya. Adalah seorang laki-laki paruh baya yang tengah melihat-lihat EliteMobil Service, Sakti dekati. Pria paruh baya itu sontak menoleh, yang Sakti kenali. But, lelaki di depannya memperkenalkan diri. Tak tahu bila Sakti sudah tahu namanya. "Saya Jean, CEO Lazuardhi Corp. Dan kamu ... Sakti, benar?" Pemilik bengkel mobil ini. Sakti pun balas menjabat tangan beliau. Bapak Jean Andreas Millen Alief Lazuardhi, Sakti bahkan hafal nama lengkapnya. "Ya, benar." Pak Jean tersenyum. "Boleh bicara sebentar? Tapi mungkin tidak di sini." "Boleh. Di dalam ada ruang pribadi saya, mau di sana saja?" "Oh, boleh." "Mari!" ajak Sakti. Dia lalu meminta kepada salah satu montirnya untuk membawakan minuman. Sebelum itu, tahukah kalian siapa Bapak Jean ini? Yang punya nama singkatan Jamal dari rangkaian nama panjangnya. CEO di perusahaan kosmetik, tadi disebut Lazuardhi Corp. Dari sana pasti langsung tahu, dong, beliau ini siapa? Ya, Pak Jean adalah bagian dari keluarga Lazuardhi. Di mana yang kini sudah Sakti ketahui bahwa mama—ibu kandung Sakti yang pergi tanpa membawanya semasa kecil dulu—adalah istri Bapak Jean ini. Perempuan yang Sakti sebut mama itu pergi, membesarkannya hanya sampai di usia empat, lima, atau enam tahunan dulu—Sakti sendiri sampai lupa. Dan kepergian mama adalah untuk menjadi Nyonya Lazuardhi. Sakitnya, Sakti tidak dibawa. Sakti adalah anak yang lahir tanpa ayah. Mama mengandungnya di luar ikatan yang sah. Sekarang Sakti sudah bisa menelan fakta itu, bahkan sudah banyak yang dia tahu. Tentang mama yang merupakan putri dari keluarga berpunya, lalu mama yang diasingkan semasa mengandung Sakti di kediaman mantan ART-nya. Di mana mantan ART tersebut adalah ibu bagi Sakti, juga keluarga mereka merupakan keluarganya saat ini; I mean ibu, bapak, dan Kak Bia. Mereka keluarga Sakti. Saat mama akhirnya dijemput, tetapi tidak dengan Sakti. Padahal, mama sangat mengasihinya waktu itu. Sakti bertanya-tanya, apakah mama sama sedihnya dengan dia? Yang dipaksa berpisah. Yang tidak diizinkan bersama. Apa mama juga menangisinya seperti Sakti yang menangisi beliau? Sekarang waktu sudah jauh berlalu. Kecewanya, Sakti justru banyak mendapati sosok mama yang tampak sudah melupakannya. Bagaimana Sakti bisa menjemput beliau? Sakti pernah berjanji ketika dirinya sukses, dia akan membawa mamanya kembali. Pikiran Sakti sangat sederhana waktu itu, bahwa mama pergi karena tidak menyukai kehidupan yang serba susah. Mama terbiasa dengan kemewahan. Jadi, mama sampai rela meninggalkannya untuk itu. Maka Sakti hanya perlu sukses dan sanggup memanjakan ibu kandungnya dengan harta, untuk kemudian dapat dia jemput sang mama. Namun, sayang sekali .... Kenyataan tidak sesederhana yang dia pikir. Minuman kemasan dan gelas bersih pun telah diletakkan di meja sebagai bentuk suguhan untuk tamunya. Ada juga dessert yang tampaknya dapat beli dari kafe depan. Baguslah, montirnya sangat pengertian. Jadi, bisa dimulai sekarang pembicaraannya? Pak Jean telah duduk selepas beliau diperkenankan melihat-lihat ruangan Sakti. Sebagaimana Cely, Pak Jean melihat foto keluarga yang terpajang di sini. "Kamu tahu siapa saya, kan? Selain yang sudah saya perkenalkan." Pak Jean memulai obrolan. *** Duh. Lusa sore, kok, lama sekali, ya? Ngomong-ngomong, Cely perlu memberi tahu Kak Sakti bahwa dia sudah ganti nomor tidak, ya? Untungnya di kontak pribadi, tidak ada nomor penting selain kontak keluarga. Urusan pekerjaan ada lagi nomor lain dan itu di ponsel satunya. Teman-teman seleb juga tahunya nomor Cely yang ini. "Cel, ayo!" Oh, sudah dimulai. Dia masuk ke acara TV komedian sebagai bintang tamu. Keseharian Cely seperti itu. Dan selama belum lusa, tidak ada pesan atau apa pun dari Kak Sakti. Cely mendadak ragu, benarkah lelaki yang memintanya kepada papi adalah Sakti Adhyaksa? Tapi, kok, begini? By the way ... sedang Cely pandangi room chat-nya sambil maskeran. Dia sudah di rumah sekarang. Benar-benar tidak ada kabar beritanya. Masa harus Cely yang duluan menghubungi, sih? No, no! Ingat, harga diri. Kecuali kalau memang perlu. Di samping itu ... kenapa dia malah berharap banyak, ya? Coba macam mana bila ternyata memang bukan Kak Sakti? Akan jadi sekecewa apa dirinya nanti? Cely menghela napas pelan. Dia simpan ponselnya di sisi tubuh telentang, lalu menatap lurus ke arah plafon. Untuk sampai di lusa, Cely perlu melewati hari esok dulu. Dia pun beranjak untuk menyudahi maskeran di wajahnya. Tak lama, Cely bersiap untuk tidur. Ngomong-ngomong, antara dirinya dan Mas Regan sudah benar-benar berakhir, kan? Yang pernah Cely merasa lelaki itu adalah pasangan menuju halalnya, ternyata malah tak jodoh. Dan saat Cely yakin bila dirinya dengan Kak Sakti tak jodoh, dulu waktu memaksa hati untuk berhenti menyukai karena memang tidak teraba ada asa di masa depan baginya dengan sang guru bela diri, kini malah mucul harapan lain ... harapan berjodoh. Sebab apa demikian? Cinta? Sebuah misteri paling epic yang belum bisa Cely pecahkan, tentang cinta. Bagaimana bisa mudah datang dan mudah pergi? Mudah kembali di saat pernah susah payah mengusir satu nama di hati? Namun, mudah melenggang untuk satu nama lain yang mestinya susah hilang. Sakti dan Regan. Argh! Entah, deh. Sudah, sudah. Jangan dipikirkan. Namun, Cely malah dilempar pada kenangan masa remajanya dengan Sakti Adhyaksa. Kala melihat kambing bersama si kembar tiga—Arche, Atlas, dan Altair; adik Cely—di kampung halaman Kak Sakti. Waktu itu ... Cely pernah refleks melompat ke dalam gendongan Kak Sakti, ingat? Gara-gara kambing mendekat. Cely yang berjalan di depan beliau, yang mau diantarkan pulang. Eh, ada kambing menyongsong, gegas Cely berbalik dan lompat, berkalung lengan di leher itu, dua kakinya pun melingkar di pinggang Kak Sakti. Nemplok pokoknya. Cely takut sekali. Dulu. Sampai ditertawakan. Namun, yang menjadi fokus Cely saat itu adalah kambing. Baru setelahnya, adalah tubuh siapa yang dia gelendoti. Hal yang membuat pipi Cely bersemu, bahkan hari ini. Hari saat dia hanya sekadar mengenang. Gila, ya? Cely bisa gila kalau-kalau ternyata rasa hatinya yang dulu ada untuk Sakti Adhyaksa kembali menerpa. Sementara, apa kabar hati Kak Sakti? Adakah nama Cely di sana? Atau, pernahkan Cely menempati secuil saja ruang di relungnya? Ah, sepertinya tidak, ya? Cely menendang-nendang selimut. Kesal. Masa, sih, dia harus merekontruksi hatinya kembali? Ya, kembali ke setelan awal di sebelum kenal Sakti Adhyaksa. Masalahnya, kondisi dulu dan sekarang berbeda. Dulu sama sekali tak ada pertemuan dengan lelaki itu, tetapi sekarang .... Lihatlah! Lusa yang sempat ditunggu akhirnya tiba dan hari itu, Cely bersitatap dengan sosok guru bela dirinya semasa remaja. Ada degup yang dulu pernah Cely rasa, hadir lagi di saat-saat matanya dan mata itu bersua. Duh, aduh .... Kenapa Kak Sakti berani menatapnya lebih lama dari yang dulu biasa langsung melengos sebelum tiga detik menyapa? Kenapa Kak Sakti tidak menatap ke arah lain sebagaimana dulu kalau berhadapan dengannya? Kenapa .... Kenapa Kak Sakti masih menjadi raja di istana hati Cely Daneswara Semesta? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN