6 | Yang Kuanggap Cinta Pertama

1723 Kata
Kamu keterlaluan! Selalu membuatku terbawa perasaan, tetapi tidak pernah ada tanggung jawabnya. Namun, kenapa aku tidak keberatan dengan sosokmu yang demikian? . . Cely menuruni satu per satu anak tangga dengan kaki yang beralaskan sandal bulu pink kesukaannya. Tubuhnya dibalut floral dress selutut. Motif bunga baby breath yang kecil-kecil itu mempercantik tampilannya. Dan Cely membiarkan rambutnya digerai. Kata bibi, di depan ada tamu dan itu Kak Sakti. Cely tahu. Tadi Cely sudah menghubungi bahwa dia ada di rumah. Lantas, Kak Sakti pun membalas: [Ok. Saya ke sana.] Seperti itu. Kini, lusa yang Cely tunggu telah tiba. Selepas kemarin dia memberanikan diri bertanya kepada mami terkait, "Laki-laki yang datang nemuin papi itu Kak Sakti, kan, Mi?" Bukannya mendapat jawaban, Cely malah dibilang, "Masih ngarepin dia, ya, Kak?" Ah, sudahlah. Paling benar memang bertanya langsung ke orangnya. Duduklah Cely di sofa ruang tamu. Secangkir minuman sudah tersuguh beserta kuenya. Bibi meletakkan cangkir kedua untuk Cely. Tak lama, bibi kembali dan yang tersisa di ruangan itu hanya Cely bersama Kak Sakti. Mami dan papi sedang tidak di rumah, by the way. Termasuk adik-adiknya. Jujur, Cely enggan percaya perihal detak di d**a yang tidak normal ritmenya. Semakin menanjak, dag-dig-dugnya makin cepat. Namun, seapik mungkin Cely tidak menunjukkan gelagat gugup. Dia berusaha untuk tenang. "Silakan diminum." Cely mengawali. Basa-basi. Dan dia menyeruput isi cangkirnya sendiri. Dapat dirasakan tatapan Kak Sakti terhunus padanya. Ke mana sosok Kak Sakti yang dulu? Yang tidak berani menatap lebih dari tiga detik kepada Cely. Ke mana sosoknya yang memilih memandang ke arah lain agar tidak menatap wajah Cely? Kini ... laki-laki itu menatapnya secara terang-terangan dan cukup intens. Lama pula. Sampai Cely dapat mendengar suara benturan lembut keramik antara cangkir dan tatakannya. Cely berdeham. Pertemuan ini tercipta sebab dia yang meminta. Memang ada banyak sekali hal yang ingin Cely tanyakan. Namun, saat masanya tiba, kok, dia jadi kehilangan banyak kalimat, ya? Cely menggigit bibir bagian dalam. Jika hanya begini, kegugupannya tidak teraba mata sang lawan, kan? Oke, tenang. "Kapan Kakak minta nomorku dari papi?" Satu-satu akan Cely tanyakan, meski acak. "Minggu-minggu ini." "Kapan tepatnya?" Lebih seperti sesi interogasi, ya? Ini karena Cely gugup, jadi buyar. Dia bicara seapa-adanya yang mampir di kepala. "Tiga hari lalu." Belum tepat jawabannya. But, okelah. Pokoknya belum lama, ya, kan? Mungkin ... kisaran saat Cely sengaja mangkir dari perintah papi untuk makan malam di rumah dan pulang tidak lebih dari jam tujuh. Mungkin, ya? Malam itu. Jantung Cely semakin berdegup tak keruan. Syukurnya suara detak di dalam sana tak bisa Kak Sakti dengar. "Kalau boleh tahu ... Kakak sekarang tinggal di Jakarta?" Bukan Kak Sakti yang berpaling malah Cely yang tidak tahan saling pandang dengan mata itu. Untuk mengalihkan rasa gugupnya, Cely mencomot kue di meja, lalu memakannya. Ayolah .... Santai saja. Kalem and chill, Sis! Bisa, kan? Bisa, dong. Meski sedang berhadapan dengan lelaki pujaan. Ah, sial. Cely gagal menyingkirkan sosok cinta pertama dari hatinya. "Iya," timpal beliau. "Sejak kapan?" "Kisaran tujuh tahun lalu." "Wow. Udah lama banget, dong?" "Ya ... lumayan." Kok, kita nggak pernah ketemu? Ingin Cely tanyakan itu, tetapi ... idih, siapa gue siapa lo? "Ngomong-ngomong, Kakak ngapain minta nomor aku ke papi?" Maksud Cely, ya, buat apa gitu, lho? "Kamu tidak suka?" "Nggak suka apa? Kakak minta nomorku? Eh, nggak. Bukan nggak suka. Aku mau tahu aja buat apa." "Untuk dihubungi." Wait. Jawaban macam apa itu? "Ya ... kenapa? Kenapa Kakak mau menghubungi aku?" "Kamu pikir kenapa?" Lho? "Aku nanya." "Ya, itu jawabannya." Ih, apa, sih! Cely belum menemukan titik terang. Kalau jawabannya adalah yang dirinya asumsikan, berarti ... benar Kak Sakti yang memintanya kepada papi. But, Cely takut berujung memalukan jika dia menuding begitu. Kan, mending kalau iya benar. Nah, kalau tidak? "Kenapa nggak minta langsung ke aku?" "Tadinya mau seperti itu." "Tapi?" timpal Cely. Jujur, dia gemas. Kak Sakti agak berbelit, ya? Seolah enggan maksud aslinya diketahui. Ya, kecuali kalau memang tidak ada maksud lain, sih. Kecuali kalau ini betul-betul pikiran Celynya saja yang berlebihan. Tapi, kan, ini seorang Kak Sakti. Jadi, sudah pasti ada 'maksud'. Karena menurut Cely, sosok Kak Sakti tidak akan melakukan sesuatu jika itu tidak bertujuan. Tujuannya di sini benar-benar tujuan krusial. Berhubung ada laki-laki yang mendatangi papi dan meminang Cely, dia jadi semakin curiga bahwa lelaki itu Kak Sakti. Ayo, plis! 'Bilang saja kalau Kakak menyukaiku, lalu telah meminangku kepada papi.' Suara batin Cely yang mendesak. "Ya, tidak ada tapi. Timing-nya saja yang lebih tepat untuk minta ke papimu daripada lewat kamu langsung. Lagi pula sama saja, kan?" Lidah Cely kelu. Dia ingin berdecak. Kak Sakti lalu mencomot kue, melahapnya. "Kamu minta ketemu cuma mau bahas itu?" Cuma? Sebenarnya justru bukan itu yang mau Cely bahas. Di pertemuan ini inginnya Cely to the point tanyakan, 'Kakak, kan, yang minta aku ke papi?' Namun, semakin kalimat tersebut mendekati ujung lidah untuk dilisankan, semakin kelu pula lidah Cely tertahan oleh detak di d**a yang kian tidak keruan. Masalahnya, tatapan Kak Sakti semakin melumpuhkan Cely di sini. Duh, gimana, dong? Atau biarkan saja semua ini berlalu seolah Cely tidak tahu? Biarkan saja tidak ditegaskan tentang siapa laki-laki yang mendatangi papi, poinnya adalah Kak Sakti di masa dewasa ini. Cely cukup menikmati kehadiran lelaki itu, sambil dia dekati. Bukannya apa. Kalau Cely menegaskan sekarang, lalu ternyata bukan Kak Sakti, apa kabar Cely nanti? Selain malu, Cely takut kehilangan kesempatan untuk mepet-mepet lagi, barangkali malah jadinya ilfeel sebab terkesan kegeeran. Memang buktinya sudah banyak mengarah kepada Kak Sakti, termasuk tatapan laki-laki itu padanya saat ini. Tapi, kan ... Cely menelan kue yang dia comot lagi. Oke, fine! Sebab gemas, pada akhirnya Cely tanyakan, "Kakak minta nomorku ke papi jangan-jangan sekalian minta aku ke beliau buat dijadiin istri?" Dia bicara lancar jaya tanpa titik-koma sebelum benar-benar rampung. Asli, telapak tangan Cely makin dingin. Di mana tatapannya saling bersinggungan dengan pemilik bengkel EliteMobil Service. "Dasarnya apa menduga seperti itu?" Eh? Tuh, kan .... Argh! "Ya, kali aja. Lagian kalo nggak, ya, tinggal bilang nggak." Kak Sakti menyesap minumannya, Cely pun melahap kue. Percayalah, Cely makan kue bukan karena benar-benar ingin. Ini hanya kamuflase belaka agar kegugupannya tersamarkan. "Kalau iya?" Cely membeku. Lidahnya pun jauh lebih kelu. Ka-kalau iya .... Kak Sakti meletakkan cangkir dan duduk bersandar, tatapannya lurus kepada Cely. Pembawaan beliau amat sangat tenang, tetapi sukses membuat Cely porak-poranda. Oh, God! Kalau iya .... "Saya ketemu Pak Mars untuk silaturahmi, sih. Kan, saya juga sekarang tinggal di Jakarta, udah lama malah. Setelah saya pikir-pikir baiknya mampir walau ini sudah sangat lama dari masa kepindahan saya ke sini." Oke, Cely mingkem. Tadinya dia mau ngomong, tetapi urung. Seakan dibegal kata-kata dalam benaknya oleh ucapan Kak Sakti. Tapi memang Cely tiba-tiba dilanda kebekuan untuk sesaat mencerna dua kata 'kalau iya'. Nah, kalau iya ... terus Cely mau apa? Berdiri dan pindah tempat duduk di sebelah Kak Sakti? Atau nemplok di pangkuan beliau sambil berkalung lengan? Tersenyum, lalu memeluk? "Nomor kamu mau saya kirim ke Kak Bia karena dia pernah bilang sejak hapenya hilang, semua kontak yang ada ikut lenyap. Waktu itu Kak Bia minta kontak kamu ke saya, tapi saya nggak punya. Nah, saya mintalah ke Pak Mars kemarin-kemarin itu. Tapi belum saya beri ke Kak Bia, mungkin setelah ini. Boleh, kan?" Cely mengerjap. Tunggu, tunggu! Dia jadi salah menduga atau bagaimana ini? "Saya kasih kontakmu ke Kak Bia, apa jangan?" "Hm? Oh ...." Cely agak terkesiap. "Kasih aja." Dan dia meneguk air minumnya. So, iya atau tidak? Kak Sakti atau bukan orangnya? Atau persetan saja? Soal itu, mungkin jika iya Kak Sakti, momen di mana Cely mengetahui kebenarannya bukan dengan cara ini. Mungkin jika benar Kak Sakti, lelaki itu ada rencananya sendiri. Dalam arti sekarang Cely cukup ikuti alurnya saja, tak perlu mendesak atas praduganya, tak perlu fokus ke sana. Cely rasa Kak Sakti maunya begitu. Soalnya diberi pertanyaan yang jelas, jawabannya ke mana-mana. Lagi pula Cely juga baru putus, sih. Dan melihat Cely diam saja maka Sakti yang kini mengambil alih setir obrolan. Katanya, "Kamu masih bisa bela diri, kan?" Arah pembicaraan mereka berubah. Cely pun mengangguk. Fix, Kak Sakti mode mengelak. Entah apa alasannya, tetapi dengan begini sebetulnya Cely semakin yakin bahwa sang peminang adalah beliau. Namun, baiklah. Mari kita berhenti melawan arus. Berhenti bertanya-tanya. Karena mungkin ada rencana milik seseorang yang bisa kacau kalau Cely mendapatkan jawaban pastinya. Terkait bela diri, Cely sahuti, "Meski nggak sebisa dan sekuat dulu, sih, Kak." "Nggak dirutinkan berlatih mandiri?" Cely meringis, menggaruk pipi. "Nggak sempat, ya?" imbuh Sakti. "Begitulah, Kak." Lalu mereka kembali saling diam lagi. Menunduk, memutus kontak mata, tetapi tak lama kembali bersitatap seperti sebelumnya. Ini hanya Cely yang merasakan debaran tak menentu di dadanyakah? Kok, Kak Sakti terlihat sangat santai, ya? Rautnya sangat tenang. "Ada lagi, tidak, yang mau kamu tanyakan? Katanya ada banyak." Oh, benar. Kenapa Cely jadi begini, sih? Ya, soalnya yang mau dia tanyakan tadi jawabannya malah begitu. Sontak, Cely berdeham. "Bingung nanyanya." Kak Sakti mengangguk-angguk. "Eh, tapi ... Kakak, kok, sekarang berani natap aku, sih?" Alis Kak Sakti naik sebelah. "Dulu menurutmu, saya nggak berani, ya?" "Lho, iya, kan?" Dengan lugunya Cely pun menjelaskan. "Dulu itu Kakak selalu melengos tiap tatapan kita ketemu. Terus ... apa ini cuma perasaan aku aja, ya? Setiap ngobrol sama Kakak, yang Kakak lihat itu bukan aku, padahal notabene aku lawan bicara Kakak waktu itu, tapi lihatnya kayak ke arah lain." Well, tidak apa-apa, kan, ya, bahas hal itu? "Ternyata kamu merhatiin saya banget." "Iya, emang." Cely tidak mengelak. Lihatlah wajah Kak Sakti, ada senyum yang tersimpul walau tipis. Ih, kok, senyum? Duh, senyum! Cely auto membasahi bibir, menahan senyum yang sejatinya lebih lebar dari senyuman Kak Sakti. Artinya apa ini, woi?! "Kok, malah senyum, sih, Kak?" Cely mesem-mesem. "Lucu saja." "Lucunya di mana?" Mereka ngobrol di ruang tamu kediaman Mars Tatasurya dan Tania Daneswara, dengan sosok Cely yang sesekali menunduk saat merasa panas pipinya, lalu Sakti yang sama-sama menunduk sebelum detik berikutnya kembali bersitatap dengan lawan bicara. "Kamu." Eh? Kamu? Maksudnya ... "Aku lucu?" Dan Cely tersipu. Argh! Mami, Papi! Kalau memang benar yang meminangnya adalah Kak Sakti, bisa langsung dikawinkan saja tidak, sih? Cely rida! Nanti, Cely akan bilang begitu. But, sekarang nikmati momennya dulu. Yang mana pertemuan itu memercik bahasan tentang masa lalu, masa remaja Cely dan Sakti Adhyaksa. "Kak Sakti lagi gombalin aku, ya?" Dengan semu-semu merah jambu perkara dibilang lucu. "Oh, itu gombal namanya?" Maaf, Cely batal baper. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN