“Ada kiriman, Ra.” Anya membawa sebuah kotak besar di tangannya.
Ayara yang barus aja keluar dari kamar mandi melongo melihat kotak eksclusive tersebut.
Sesuai intruksi, mereka akan stay sehari lagi di resort ini dan akan kembali ke Jakarta esok paginya.
“Dari siapa?” Ayara bertanya.
“Dari Pak Niko ... tadi Pak Revan yang anter katanya jam enam lo harus udah siap, mau makan malem sama keluarga Lazuardy.”
“Uhuk ... uhuk ... uhuk ....” Ayara langsung batuk tersedak ludahnya sendiri.
Apa katanya?
Makan malem keluarga?
Sepertinya Nicholas tidak main-main dengan ucapannya.
“Siapa? Pak Revan? Mana?” Elza yang berada di balkon langsung masuk ke dalam cottage.
“Udah pergi tadi.” Anya memberitau dan raut wajah Elza langsung berubah sendu.
“Lanjut nih sama Pak Revan?” Ayara menggoda Elza lagi.
Bibir Elza mencebik kemudian maju beberapa senti.
“Cie ... berawal dari pelukan lalu turun ke hati ... trus turun terus ke lubang kenikmatan.” Ayara tergelak kencang setelah mengatakannya.
“Apa sih?” Wajah Elza seketika memerah.
“Mbak Elza skidipapap sama pak Revan?” Anya bertanya antusias, mencari teman berbuat dosa tadi malam.
“Mana ada? Gue ngobrol sama Ferdi sama Yogi semaleman ... justru gue curiga sama elo dan Capt. Abi, cuma kalian sama si Aya yang enggak keliatan ... kalau Aya ‘kan jelas dibawa pak Niko.”
Elza bukan tipe orang yang suka mengurusi urusan orang lain, ia tidak akan mempermasalahkan apa yang mungkin saja telah dilakukan Anya bersama Abinawa, cukup hatinya saja yang memberi penilaian.
Anya tersenyum canggung. “Itu ... gue ketemu anak Sultan yang lagi ngobrol sama Capt. Abi trus nganter Capt. Abi yang mabuk ke kamar udah gitu pulang ke sini.” Anya memberikan penjelasan serinci mungkin.
Bibir Ayara tersenyum penuh arti, walau telah mengetahui perbuatan Anya tadi malam bersama Abinawa tapi Ayara tidak bereaksi terhadap Anya, ia menghargai pertemanan mereka selama ini dan lagi Abinawa sekarang adalah orang lain dalam hidupnya.
Meskipun tidak bisa Ayara pungkiri jika luka dihatinya seakan ditaburi garam mendengar Abinawa yang tidak menyanggah telah bercinta dengan seorang perempuan.
“Ya udah, dua jam lagi jam enam ... buruan dandan yang cantik ... kayanya kalian mau ngomongin tanggal pernikahan.”
Elza melengos setelah berkata demikian, menyembunyikan raut wajah penuh curiga karena sebenarnya ia belum seratus persen mempercayai penjelasan Ayara tentang hubungannya dengan Nicholas.
Elza merasa ada sesuatu yang salah dalam hubungan antara Ayara dan Nicholas.
Waktu yang tersisa selama dua jam itu Ayara habiskan untuk merias wajahnya sambil melamun di depan cermin.
Entah untuk apa ia berdandan karena keputusan bukan ada pada wajahnya melainkan dari pihak Lazuardy.
Jika keluarga Lazuardy mendukung berlangsungnya pernikahan antara dirinya dan Nicholas maka Ayara dapat terbebas dari hutang mendiang sang ayah yang membelitnya.
Tapi jika tidak maka ia akan terus bekerja keras untuk mencari uang menutupi hutang-hutang Robby.
Banyak pekerjaan sampingan yang Ayara lakoni karena kebetulan menjadi pramugari tidak setiap hari ia lakukan, hanya jika timnya dibutuhkan saja.
Dan bila pernikahan ini terjadi maka ia bisa beristirahat dari beragam kerjaan sampingan yang membuat lelah tubuhnya.
Tapi di sisi lain, Ayara juga merasa jika apa yang ia lakukan ini salah.
Membohongi semua orang demi kepentingannya tapi mau bagaimana lagi, tawaran melunasi hutang mendiang sang ayah sungguh menggiurkan dan Ayara tidak mampu menolak.
Ting ...
Tong ...
Bel di cottage mereka berbunyi, Anya dan Elza segera menoleh ke arah pintu sementara Ayara baru saja tersadar dari lamunannya.
“Buruan, Ra ... lo udah siap belum?” Elza jadi sewot sendiri, berpikir Nicholas yang menekan bel.
“U ... udah, eh ... sebentar tinggal pake heels ... duh, mana tadi heels aku.”
Ayara sibuk mencari heelsnya, Anya segera turun dari atas ranjang membantu Ayara mencari sepatu dan Elza menuju pintu untuk mengulur waktu menemui siapapun di balik benda tersebut agar Ayara bisa mempersiapkan dirinya lebih maksimal untuk bertemu sang calon mertua secara formal.
“Pak Revan,” sapa Elza denga suara lembut dan senyum menggoda.
“Elza,” balas pria itu tanpa embel-embel di depannya.
“Iya saya Elza.”
Revan tersenyum. “Elza tapi bukan Frozen.” Pria itu berujar.
“Iya, bukan ... Elza aja.” Elza menanggapi.
“Apa Ayara sudah siap?” Revan pun bertanya karena Nicholas bukan tipe pria yang mentoleransi keterlambatan.
“Eee ... udah, Pak Revan mau masuk dulu?” Elza menawarkan sambil melongok ke dalam mengecek kesiapan Ayara.
“Enggak usah, pak Nicholas udah nunggu di cottagenya.”
“Oh, kenapa pak Nicholas enggak jemput Ayara ... pasti gengsi ya harus jemput cewek biasa kaya Ayara.”
Elza mengatakannya sambil tersenyum tanpa dosa, memberanikan diri berkata demikian karena menurutnya sebagai seorang wanita yang selalu ingin diperlakukan layaknya ratu, Ayara pantas diperlakukan selayaknya seorang kekasih meski status sosialnya berada jauh di bawah Nicholas.
Sebelum saling mencintai tentu mereka menyadari status sosial masing-masing, bukan?
Wajar Elza seperti itu karena belum mengetahui sandiwara di antara Ayara dan Nicholas.
“Pak Nicholas tadi sedang melakukan panggilan telepon dengan klien jadi saya berinisiatif menjemput Ayara.” Sebagai orang kepercayaan Nicholas tentu Revan harus bisa meng-cover kekurangan sang bos.
“Oh ....” Elza menanggapi padahal dalam hati penuh tanya karena ucapan Revan berubah-rubah.
“Pak Revan,” sapa Ayara dengan napas memburu. Akhirnya dengan bantuan Anya—ia bisa menemukan heelsnya.
“Udah siap?” tanya Revan memastikan.
“Udah Pak, ayo.” Ayara menjawab mantap.
“Mbak Elza ... Anya, aku keluar bentar ya.” Ayara pamit.
“Sukses ya, Ra.” Anya dan Elza kompak berujar demikian mengiringi langkah Ayara dan Revan yang menjauh.
“Pak ... ada clue enggak, saya harus gimana nanti?” Ayara bertanya untuk menghilangkan kegugupannya.
Yang Ayara bayangkan adalah ia sendirian harus menghadapi keluar besar Lazuardy.
Perut Ayara jadi mulas memikirkannya, apakah ia harus membuat keluarga itu terkesan agar mereka memberi restu?
Meskipun Bagaskara Lazuardy telah mengumumkan status Ayara dan Nicholas tapi saat itu beliau belum mengetahui siapa dirinya.
Bisa saja mereka tidak menerima menantu dari kasta kalangan bawah.
Mengingat hal itu membuat kaki Ayara lemas karena itu berarti entah sampai kapan ia bisa terbebas dari hutang sang ayah.
Diam-diam, jauh di dasar hatinya—Ayara ingin pernikahan ini terjadi.
Hanya tiga tahun saja, ia akan bertahan selama itu.
“Kamu cukup bersikap manis ... kamu memang pengen banget nikah sama pak Nicholas ya?”
“Iya.” Ayara menjawab cepat kemudian tersadar jika ada makna dibalik pertanyaan Revan.
“Eh enggak, emm ... maksudnya iya, aduh ... bukan gitu, saya hanya ingin segera melunasi hutang ayah,” aku Ayara jujur.
Revan tersenyum. “Saya mengerti.” Pria itu memaklumi.
“Tapi kalau memang kamu mencintai pak Nicholas juga enggak apa-apa, kok ...,” pancing Revan ingin mengetahui isi hati Ayara.
“Ah ... saya enggak berani, Pak ... saya tau diri, fokus saya sekarang gimana caranya biar itu utang papi cepet lunas jadi saya tinggal ngumpulin uang untuk biaya kuliah Dika.”
Ayara jadi curhat.