Hari-hari pertama setelah Cantika sengaja Ezra bawa ke rumah sakit karena tidak berhenti mual muntah di segala kondisi—rumah Cantika dan Ezra berubah seperti benteng kecil. Ezra benar-benar mengawasi Cantika seperti harta karun rapuh yang tidak boleh tergores. Bahkan untuk sekadar berjalan ke taman belakang, Ezra selalu ada di sampingnya. “Eza, aku cuma mau duduk lima menit di kursi taman, bukan maraton,” keluh Cantika suatu pagi. Ezra mendesah, mengambil selimut tipis lalu menyelimutkan bahu istrinya. “Kalau begitu duduk, bukan jalan. Duduknya pun maksimal sepuluh menit. Setelah itu kembali masuk.” Cantika hanya mengerling sebal, tapi dalam hati merasa hangat. “Aku pergi dulu ke kantor ya, nanti siang pulang … Kamu enggak boleh mikirin kerjaan kantor dulu, biar semua aku yang handle.”

