Kita dan Rumah

1333 Kata
“Siapa yang memberimu izin untuk menyentuhnya?” tanya Dirga. Suara bariton pria itu terdengar begitu berat dan menekan. Bahkan, siapapun yang mendengarkan bisa merasakan bahwa udara di sekitar berubah pengap. Sembari mencengkram kerah pakaian Andri, Dirga kembali bertanya, “bukankah aku sudah bilang padamu untuk tidak mengganggunya lagi? Apa peringatanku saat itu dianggap angin lalu?” Andri seketika menggelengkan kepala untuk mengembalikan pandangannya yang sempat kabur, hendak merutuk, namun ketika pandangannya bertemu dengan tatapan tajam Dirga, pria itu seketika terdiam. “Siapa kamu? Berani sekali memukulku!” tegur Andri. Sembari melipat kedua tangan di atas d**a, Dirga menghela napas. “Aku? Hmmm ... Hanya seseorang yang ingin melindungi Thea dari orang-orang tidak berotak sepertimu.” “Tidak berotak? Ha! Berani ya kamu mengataiku seperti itu!” Andri mengangkat sebelah kepalan tangan, hendak melayangkan satu pukulan di wajah Dirga. Namun, tangan Dirga sudah lebih dulu menangkisnya. “Sepertinya, kamu masih belum paham arti dari peringatanku kemarin.” Andri mengerutkan dahi. “Peringatan apa maksudmu? Ah ... Apa kamu orang yang mengirim pria berbadan kekar saat itu?” Di belakang Andri, Jela yang sedari tadi memperhatikan Dirga seketika tertegun. Dia ingat betul wajah pria itu pernah dia lihat di sebuah majalah bisnis milik ayahnya. “Bukankah dia Dirga Atherian? Darimana kamu mengenalnya?” gumamnya berbisik. “Mungkin ini takdir.” “Apa kalian menjalin hubungan?” Thea yang mendengar itu hanya terdiam. Sementara Jela kini menutup mulut dengan tangan saat menyadari semuanya menjadi semakin rumit. “Keluarga angkatmu benar-benar dalam masalah besar, Thea! Apalagi jika keluarga Atherian sudah turun tangan seperti ini. Aku yakin itu!” Ya, Dirga Atherian, dia bukanlah orang sembarangan di kota tersebut. Jika diibaratkan, keluarga Atherian dan Keluarga Santoso–ayah angkat Thea, adalah dua keluarga dengan perbandingan 2:10, kesenjangan di antara keduanya terlalu besar jika untuk disamakan. Apalagi, keluarga Atherian adalah pemilik saham terbesar di berbagai perusahaan induk dalam dan luar kota, termasuk perusahaan yang sedang dijalankan oleh ayah angkat Thea saat ini. “Sebelum kamu menanyakan hal ini padaku, bukankah harus kamu bertanya pada Thea, apa yang sudah dia perbuat? Sekiranya kamu belum memahami duduk permasalahannya, kamu tidak punya hak menghakimi seperti ini!” “Ah ... Begitu?” “Ya, dan kamu sudah tertipu oleh wanita ular itu! Dia terlalu picik, bahkan sangat licik. Sebaiknya, kamu berhati-hati jika ingin dekat dengannya.” Mendengar hal itu, Thea tiba-tiba berjalan ke arah Dirga dan berdiri di belakang pria itu, seakan bersembunyi di balik tubuh kekar calon suaminya. “Aku tidak membuat masalah apapun, Mas. Dialah yang datang mencari masalah dengan ibu angkatku,” jelasnya. Padahal, tanpa Thea menjelaskan pun, Dirga sudah tahu semuanya. “Jadi, dia dan ibu angkatmu yang lebih dulu mengganggumu, Sayang?” tanyanya. Namun, belum sampai Thea memberi jawaban, pandangan matanya malah lebih dulu terfokus pada luka merah di pipi, dan sedikit luka di sudut bibir Thea. Hingga akhirnya Dirga sadar, sebelum ia tiba di sini, sesuatu yang buruk sudah terjadi pada wanitanya, dan itu membuat amarahnya semakin terpancing. Thea mengangguk. “Jela saksinya. Bahkan, beberapa teman kampusku pun melihatnya sejak awal.” “Aku dan ibu yang memulai?” tanya Andri sembari mendengkus. “Heh, manusia tidak tahu diri! Aku sudah berbaik hati memintamu menyerahkan diri kepada polisi, atau menjelaskan kepada mereka kejadian yang sebenarnya agar Bunga bisa segera dibebaskan. Jangan–“ Belum sampai Andri melanjutkan perkataannya, Dirga sudah lebih dulu melayangkan satu pukulan lagi yang lebih keras dari sebelumnya, sampai membuat hidung Andri mengeluarkan darah segar. Pria itu bahkan tidak memberi kesempatan padanya untuk bicara, dan kembali melayangkan pukulan pada sisi wajah satunya. “Sekali lagi kamu mengatakan hal yang tidak-tidak pada wanitaku, aku benar-benar sumpah akan membuatmu lebih menderita dan merasakan sakit yang lebih dari sekarang!” Andri yang sudah terhuyung masih berusaha untuk bangkit. “Thea yang memfitnah Bunga, dia yang menyebabkan Bunga berakhir di kantor polisi. Bahkan, Thea sangat berani mengatakan hal-hal buruk kepada Ibuku yang sudah menjadi ibu angkatnya selama ini. Jadi, apa perkataanku salah?” Sudut bibir Dirga sedikit terangkat. Tawa pelannya terdengar sarkastik, sementara sorot matanya dipenuhi tatapan dingin. “Fitnah katamu?” Meskipun Thea merasa senang karena Dirga sudah berhasil membalaskan rasa sakitnya, tetapi dia tidak ingin pria itu dipandang orang b******k yang menyerang seseorang di depan umum. Ditambah lagi, luka di punggungnya masih belum kering, dan kalau dia terlalu banyak bergerak, pastinya akan membuat luka tersebut semakin melebar. Wanita itu pun kembali menarik lengan pakaian Dirga, hingga dia berbalik dan menatapnya dengan tatapan lembut. “Kenapa?” tanyanya. Thea hanya menggeleng. Dia benar-benar bingung harus bagaimana mengatakannya. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Dirga karena dirinya. “Berbaliklah, dan tutup telingamu dari segala suara yang mungkin akan kamu dengar setelah ini! Biar aku yang menyelesaikan semuanya untukmu. Jadi, tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Oke?” ucap Dirga setengah berbisik. Karena rasa sakit hati Thea bahkan jauh lebih besar, wanita itu pun hanya mengangguk dan mengangkat tangannya untuk membelai punggung calon suaminya. “Jangan terluka lagi.” Setelah Thea mengatakan itu, dia pun berbalik dengan patuh, dan berjalan menghampiri Jela untuk memeluk sahabatnya itu. Sementara Dirga, berjalan menghampiri Andri, dan berdiri di hadapan pria itu. “Thea! Apa kamu masih–“ “Diam!” sela Dirga. “Kamu tidak punya hak menyebut nama panggilannya sekalipun,” tambahnya. Andri tertegun, sebelum akhirnya kembali pada kesadaran. “Ha! Yang benar saja!” Mendengar gumaman itu, Dirga malah tertawa tipis, namun tatapannya begitu mengintimidasi. “Siapapun ... Jika itu menyangkut tentang Thea, urusan denganku sudah berbeda.” “Aku hanya meminta pertanggungjawaban dia karena sudah menjebloskan adikku ke dalam penjara! Tidak lebih!” “Bukankah dia yang bersalah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri? Thea-ku bahkan menjadi korban dalam kebakaran yang adikmu lakukan,” sanggah Dirga sambil memutar-mutar pergelangan tangannya, mengepal, seperti sedang bersiap untuk melayangkan pukulan. Andri menatap ke sekeliling mereka, lalu kembali melihat pada pria di depannya. “Ada begitu banyak orang di sini yang memperhatikan kita! Apa kamu masih berniat untuk memukulku?” tantangnya. Akan tetapi, Andri tidak menyadari bahwa orang yang sedang dia tantang bukanlah orang yang sebanding dengannya. Dirga tersenyum mencemooh. “Tidak ada satu orang pun yang tidak bisa aku sentuh di dunia ini, Andri. Seharusnya kamu tahu itu!” Bug! Tepat setelah mengatakan hal itu, satu pukulan kembali Dirga layangkan, tepat di atas bekas pukulan sebelumnya. Teriakan nyaring pun mulai terdengar di setiap penjuru jalanan, seakan membubarkan kerumunan orang yang sedang melihat kejadian tersebut, dan orang-orang yang berjalan melewati tempat tersebut lebih memilih menghindar, atau mencari jalan lain agar tidak terlibat dalam perkelahian. Dirga melepaskan cengkeramannya di kerah pakaian Andri, setengah melemparkan hingga pria itu tersungkur di atas aspal, setengah sadar. “Ini peringatan terakhir dariku! Jika sampai kalian mengganggu Thea lagi, bukan hanya wajah dan tubuhmu yang memar, tapi aku bisa pastikan seluruh keluargamu hancur sampai ke akar-akarnya. Ingat itu!” Setelah mengatakan itu, Dirga segera melepas jasnya yang terkena percikan darag segar dari hidung Andri, melemparkan ke sembarang tempat, dan berjalan menghampiri Thea yang masih berdiri memunggunginya. Saat hampir tiba di tempat Thea berada, raut wajah pria itu seketika berubah hangat, kemudian menyerukan nama wanitanya itu dengan lembut. “Thea.” Jela yang masih berdiri di samping Thea nampak tercengang melihat bagaimana seorang pria seeprti Dirga bisa berubah dalam waktu sekejap. Dari pria terhormat menjadi seseorang yang jahat, dan tiba-tiba dia berubah menjadi senang saat berada di samping wanita yang dicintainya. “Apa urusanmu sudah selesai?” tanya Thea. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar, bahkan dari sorot matanya pun begitu jelas menahan rasa takut. Dirga yang memahami itu segera membelai puncak kepala Thea untuk memberi ketenangan, kemudian menjawab, “sudah, dan aku tidak terluka sedikitpun.” Seseorang tidak dapat lagi mendeteksi kemarahan dalam dirinya. Seolah-olah dia selalu menjadi tuan bermartabat yang dipenuhi pesona. “Kalau begitu ... Apa kita akan pulang ke rumah sekarang?” Dirga tersenyum, begitu senang mendengar kata ‘kita’ dan ‘rumah’ terlontar dari mulut Thea dengan lugasnya. “Ya, tentu saja. Ayo kita pulang! Koki pribadiku sudah menyiapkan semua makanan kesukaanmu di meja makan.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN