6. Mulai Mengganggu

1084 Kata
"Pih …" Raymond memanggil dengan nada tegas, menghentikan Ricky yang masih berbicara di ujung telepon. Keheningan langsung menyelimuti percakapan itu. Sunyi yang menggantung di udara membuat Juwita tercekat, dia merasa percakapan keduanya tidak akan berjalan lancar. Raymond menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang mulai tersulut di dalam dadanya. Pandangannya kosong menembus lantai rumah sakit yang dingin. "Saya mengerti kalau Papi khawatir sama Theodore. Tapi Papi juga harus percaya sama saya. Saya ini papanya ... jadi sudah pasti saya akan melakukan apa pun demi masa depan anak saya." "Tapi Papi nggak setuju kalau kamu mencari ibu s**u untuk Theodore. Apa jangan-jangan kamu mau mencari pengganti Hanna?" tuduh Ricky. "Pih. Selamanya Hanna itu tidak akan dapat digantikan oleh siapapun. Dan masalah ibu s**u, tubuh Theodore menerima ASI dari perempuan itu," jawab Raymond dengan nada tegas. Dari earpiece yang dipakai Juwita, terdengar suara Ricky menahan emosi. Geraman tertahan itu membuat Juwita refleks mencengkeram tangan Raymond. Dia tahu, jika Ricky murka dengan keputusan Raymond mencari ibu s**u untuk Theodore. Tak jauh dari mereka, Amara berdiri dengan kepala tertunduk. Dia memang tak bisa menangkap seluruh isi percakapan itu, tapi intonasi suara dan raut wajah Raymond cukup membuat dadanya sesak. Amara merasa terperangkap dalam konflik keluarga besar sang dosen, konflik yang tak seharusnya menyentuh dirinya. Sementara dia juga sedang mengalami masalah yang pelik. "Raymond!" Suara Ricky meledak. “Baru kemarin Hanna dikubur dan kamu sudah membawa perempuan lain masuk ke hidup cucu kami?!” Raymond tertawa lirih. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ricky menganggap dia membawa Amara untuk menggantikan Hanna. Lantas apa bedanya dengan Ricky yang menyodorkan Jessica untuk menikah dengan Raymond? "Perempuan lain?" Raymond mengulang dengan nada tajam. "Perempuan lain itu sekarang adalah ibu susunya Theodore." Juwita memejamkan mata. Dia mengenal suara itu. Suara Raymond saat sudah berada di ambang batas kesabarannya. Tegas dan dingin. Tapi dia juga tahu, kalau Ricky bukan tipe orang yang menerima penolakan begitu saja. “Kami punya hak atas Theodore!” Ricky membentak lagi. “Kamu pikir kamu siapa, menyerahkan cucu kami ke perempuan yang bahkan kamu belum kenal lama?! Jangan egois, Raymond!” Raymond diam sejenak. Saat ia berbicara lagi, suaranya turun satu oktaf. Dingin. Datar. Tapi menggetarkan. "Sudah cukup, Pih. Saya tetap akan mempertahankan wanita itu sebagai ibu s**u Theodore." Sambungan telepon akhirnya terputus secara sepihak. Raymond menghela napas panjang, mengambil kembali earpiece dari tangan ibunya, lalu memasukkannya ke saku jas. Gerakannya tenang, tapi tampak berat. “Raymond …” bisik Juwita, pelan. “Mama rasa, mereka nggak akan tinggal diam. Mereka nggak akan membiarkan Amara jadi ibu s**u Theodore.” “Aku juga merasa begitu, Mah. Kita nggak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi satu hal pasti, aku harus bersiap." Dari samping, Amara memperhatikan Raymond. Sosok yang selama ini dia kenal sebagai dosen killer kini tampak seperti dinding kokoh—teguh dan tak tergoyahkan. “Aku pergi dulu, Mah. Tolong jaga Theodore.” Sebelum Juwita sempat menjawab, Raymond menoleh pada Amara. “Amara, bagaimana dengan kamu? Mau tetap di rumah sakit atau ikut pulang sekarang?” Amara terdiam. Rumah miliknya memang ada, tapi dia tahu jika tempat itu sudah tak terasa seperti "rumah". Sunyi yang membuat Amara kesepian. Raymond menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, kamu ikut saya dulu ke rumah saya. Untuk sementara." "Raymond ..." panggil Juwita yang membuat pria itu menoleh. "Sebaiknya, Amara pulang ke rumahnya sendiri. Di rumah kamu belum ada satu pun ART. Apa jadinya kalau Amara menginap di rumahmu? Bisa-bisa kalian digebrek warga." Raymond menghela napas kasar, menyadari kebenaran dari ucapan Juwita. Tapi membiarkan Amara tidur di tempat yang tidak dia ketahui, membuat hati Raymond tidak tenang. "Tidak perlu khawatir, Bu. Saya punya tempat berteduh yang aman malam ini," ucap Amara sembari mengulas sebuah senyum. Tapi Raymond tahu, jika Amara memaksakan untuk tersenyum. Dan untuk saat ini, Raymond tak dapat mengenyahkan rasa penasarannya pada Amara. Dia mulai menghitung tanggal Amara menghilang saat jadwal sempro, hingga kini. Empat bulan. Raymond mengerutkan dahi, merasa aneh dengan hitungannya. "Jadi apa mungkin kamu sudah hamil 5 bulan saat jadwal sempro yang kemarin?" tanya Raymond tanpa sadar. Amara tertegun. Pertanyaan itu menyambar seperti petir di siang bolong. Pandangan matanya segera teralihkan ke lantai, menghindari tatapan tajam dari Raymond yang sedang menganalisisnya. Jemarinya mengepal tanpa sadar, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyeruak. Juwita melirik ke arah mereka, merasa ada ketegangan baru yang muncul. Tapi dia memilih diam, memberi ruang bagi keduanya. "Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, Pak," jawab Amara yang menarik kesadaran Raymond. "Lupakan saja pertanyaan yang barusan. Jadi kamu mau pulang ke mana?" tanya Raymond. “Saya ... ke tempat saudara saya, Pak. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari sini." Raymond mengangguk singkat. “Baik. Kalau begitu, biar saya antar kamu ke sana.” “Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri,” tolak Amara cepat. Raymond menatapnya lekat. “Saya tidak akan membiarkan ibu s**u anak saya pulang malam-malam sendiri, apalagi dalam kondisi kamu yang masih lemah seperti ini. Ini bukan soal sopan santun, tapi soal tanggung jawab.” Amara terdiam. Juwita pun hanya memperhatikan dari belakang, kali ini memilih tidak ikut campur. Dia bisa melihat—meski Raymond terlihat tegas, nada suara dan cara dia memperlakukan Amara … seperti ada perhatian yang halus dan tulus di sana. "Aduh!" Amara berteriak saat merasakan nyeri pada dadanya. Juwita segera memapah Amara untuk duduk di kursi. Dengan lembut Juwita mengusap punggung Amara lalu bertanya. "Kamu kenapa?" "d**a saya nyeri sekali, Bu," jawab Amara yang kini mulai meneteskan keringat. Juwita segera menatap Raymond. "Ray. Cepat ke ruangan perawat dan bilang kalau Amara perlu memompa ASI." Meski bingung, Raymond segera melakukannya. Pria itu melangkah menuju ruangan yang tak jauh dari ruangan NICU. "Ners. Amara mengeluh dadanya nyeri dan harus dipompa ASInya," ucap Raymond saat kebetulan melihat seorang perawat wanita. "Baik. Sebentar akan saya siapkan alatnya. Mungkin Bapak bisa memberikan Mbak Amara minum yang banyak." Saat Raymond hendak kembali ke ruang tunggu, ponselnya bergetar keras di saku jas. Sebuah notifikasi masuk—bukan dari Papi atau Mama, tapi dari nomor tak dikenal. Ia sempat mengabaikannya, namun layar menampilkan satu baris pesan yang langsung membuat langkahnya terhenti. 'Aku masih tidak terima jika Mas Raymond menjadikan perempuan itu sebagai ibu s**u Theodore. Aku sudah menyelidiki latar belakang perempuan itu.' 'Dia itu hamil tanpa seorang suami, Mas. Apa itu namanya jika bukan perempuan murahan.' 'Aku pasti bisa mengasuh Theodore, Mas. Dan kalau perlu aku akan melakukan terapi hormon agar bisa mengeluarkan ASI dan memberikannya pada Theodore.' Raymond hanya dapat menggelengkan kepalanya saat membaca pesan terakhir dari Jessica, adik iparnya sudah tidak waras rupanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN