Lima

1472 Kata
Selasa (10.57), 20 April 2021 -------------------- Tiga hari tidak masuk kerja akibat sakit, hari ini Nala memilih kembali ke Delifood meski kondisinya belum benar-benar pulih. Rekan-rekan kerja Nala tampak sangat antusias menyambutnya membuat senyum Nala merekah penuh rasa bahagia. Menjelang makan siang, Nala mulai waswas dengan pandangan yang terus mengarah pada pintu masuk. Mita yang melihat itu menyadari apa yang dikhawatirkan Nala. Dia segera menghampiri Nala lalu berkata akan menggantikan bagiannya. Nala bisa beristirahat di belakang. Fakta bahwa dia baru sembuh dari sakit membuatnya tak perlu repot mencari alasan. Nala memilih duduk di ruang bersantai lantai dua yang dekat dengan ruangan manajer Delifood. Udara dari jendela tinggi di sana sangat nyaman dan segar. Apalagi tadi pagi langit baru berhenti menumpahkan rintik hujannya hingga udara menjadi agak dingin. “Na, gimana kondisi kamu?” Nala tersentak lalu mendongak menatap sang manajer yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya. Dia berniat berdiri untuk bersikap sopan namun Pak Arya, sang manajer, mencegahnya. “Sudahlah, duduk saja.” Lalu dia turut duduk di sofa seberang meja tempat Nala berada. Sejenak Nala tampak ragu. Tapi dia menuruti perintah Pak Arya dan segera duduk. Pak Arya bukan sejenis bos galak yang suka marah-marah. Tapi dia juga bukan tipe orang yang akrab dengan bawahannya. Karena itu duduk berdua dengan sang manajer seperti ini membuat Nala merasa sungkan. “Kamu masih agak pucat.” Komentar Pak Arya membuat Nala menyentuhkan telapak tangan di pipi lalu tersenyum ragu seraya menggeleng. “Maaf saya tidak bisa ikut menjenguk.” Nala menggerakkan tangan dengan jari terentang ke kanan-kiri sebagai isyarat ‘tidak apa-apa’. “Syukurlah.” Pak Arya tersenyum kecil lalu mendadak raut wajah berubah serius sekaligus—sedih? “Kita memang tidak dekat, Na. Tapi saya sama sekali tidak benci sama kamu. Malah saya senang memiliki pegawai sepertimu yang sangat rajin.” Kening Nala berkerut tak mengerti. Kenapa tiba-tiba si bos bicara seperti itu? Apa ada yang menduga si bos benci pada Nala? “Dan meski saya melakukan ini pun, sama sekali bukan karena saya benci. Saya hanya tidak punya pilihan lain.” Kerutan di kening Nala semakin dalam. Mata hitamnya menatap Pak Arya penuh tanya. Yang ditatap Nala hanya mendesah berat. “Sebelumnya saya ingin bertanya dulu. Apa kamu kenal Pak Aska Faresta?” DEG. Hanya mendengar nama itu disebut sudah berhasil membuat jantung Nala seolah berhenti berdetak. Ada getaran aneh penuh kerinduan yang tak bisa dihalaunya berpadu dengan rasa takut yang membuat tubuhnya merinding. “Kamu kenal?” Sejenak Nala ragu. Haruskah dia jujur atau berbohong saja? “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawab.” Lagi-lagi Pak Arya mendesah. “Saya hanya penasaran karena—” dia diam sejenak seolah berat melanjutkannya. “karena Pak Aska meminta saya untuk memecat kamu dari Delifood.” Kali ini Nala tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia tersentak lalu mendongak menatap Pak Arya dengan bibir terbuka dan sorot tak percaya. “Saya minta maaf harus menyampaikan ini, Na. Tapi seperti yang saya katakan tadi, itu bukan karena saya benci kamu. Itu permintaan Pak Aska sebagai pemilik baru restoran ini.” Nala masih ternganga dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Lalu dia tertunduk seraya mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. “Na, saya sungguh menyesal.” Lalu Nala mendongak menatap Pak Arya dengan senyum di bibirnya. Bertolak belakang dengan air matanya yang menetes lalu buru-buru disekanya. Sejenak dia tak mengatakan apapun. Hanya mengeluarkan notes dan pen dari saku yang tak pernah lupa dia bawa. “Saya tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah mengizinkan saya bekerja di sini selama hampir dua tahun ini.” Pak Arya membaca tulisan Nala lalu mendongak menatap wanita itu dengan sorot iba. “Seandainya ada yang bisa saya lakukan untuk membantu....” Nala menggeleng lalu kembali tersenyum. Lagi-lagi Pak Arya mendesah lalu menyodorkan amplop tebal ke depan Nala. “Ini uang pesangon dan gaji kamu bulan ini. Saya juga menambahkan bonus karena kamu pantas menerimanya.” Nala menunduk menatap amplop itu dengan air mata yang kembali bergulir. Ini artinya dia harus segera pergi, kan? Mungkin seharusnya dia tidak memilih bersembunyi tadi dan menghadapi Aska jika memang lelaki itu datang. Tapi—rasanya itu hanya menunda bom meledak. “Semoga kamu bisa segera menemukan tempat kerja yang baru.” Sekali lagi Nala mengusap air mata di pipinya lalu berdiri seraya memegang amplop dan notesnya di satu tangan. Sementara tangannya yang lain terulur ke arah Pak Arya. Dengan enggan Pak Arya juga berdiri lalu menjabat tangan Nala. “Terima kasih.” Pak Arya mengangguk, entah bagaimana mengerti arti gerak bibir Nala, lalu menepuk lembut pundak Nala. Setelahnya tanpa menunggu kata-kata penuh penyesalan yang lain, Nala buru-buru berbalik menuju tempat barang-barangnya disimpan. Dia bahkan bergegas keluar dari restoran itu tanpa kata-kata perpisahan pada rekan-rekan kerjanya. Tahu hal itu hanya akan menjadi tangis haru penuh rasa iba yang ditujukan padanya. *** Di salah satu suite hotel berbintang, tujuh orang yang terdiri dari empat lelaki dan tiga wanita tampak tengah berpesta. Bau alkohol yang berpadu dengan asap rokok menyengat dalam ruangan itu. “Toast dulu dong!” seruan Aska ditanggapi yang lain dengan mengangkat gelas penuh alkohol mereka masing-masing lalu mendentingkannya bersama-sama. Seolah berlomba, para lelaki meneguk minuman mereka dengan cepat yang mendapat dukungan semangat dari para wanita. “Aska! Aska! Aska!” Wanita dengan rambut yang dicat merah disamping Aska bertepuk tangan memberi dukungan. Dia adalah Cintya, teman tidur Aska. “Woooo...!” Cintya mengacungkan kepalan tangan ke udara melihat Aska bisa menghabiskan segelas minuman lebih cepat dari yang lain. Dia lalu memagut bibir Aska sebagai bentuk hadiah atas kemenangannya. Aska menyeringai senang. Tatapannya mulai tak fokus dan sejujurnya, sedikit mual. Tapi dia sama sekali tak mengeluh. Ini adalah hari bahagia yang patut dia rayakan. Alasannya sangat sederhana. Hanya satu kata. Nala. Hanya dengan melihat wanita itu menderita sudah membuat Aska ingin melompat-lompat gembira. Wajah lelah dan bingung wanita itu sangat nikmat dipandang. Andai Aska juga bisa melihat Nala menangis tersedu meratapi menderitaannya, pasti bahagia di hati Aska akan semakin lengkap. Sudah tiga bulan berlalu sejak Nala dipecat dari Delifood. Dan selama itu, Aska tak lagi menunjukkan diri di depan Nala. Tapi bukan berarti Aska membiarkannya. Dia terus mengawasi Nala secara diam-diam. Dan memastikan hidup wanita itu benar-benar bagai di neraka. Salah satunya dengan membuat Nala ditolak di semua perkerjaan yang diincarnya. Kalaupun diterima, itu hanya akan bertahan paling lama dua hari. Setelah itu Nala akan kembali luntang-lantung di jalanan, mengemis pekerjaan. “Sayang... ke kamar sekarang, yuk. Kamu sudah mabuk,” bujuk Cintya yang sudah berdiri seraya merangkul lengan Aska. Aska mengecup lengan telanjang Cintya lalu mengacungkan jari telunjuk. “Satu gelas lagi.” “Nggak.” Lalu Cintya menarik Aska kuat-kuat dengan susah payah. Aska mendesah. Tapi akhirnya dia mengalah. Dengan langkah sempoyongan, dia mengikuti Cintya ke kamar dan membiarkan yang lain bersenang-senang di sofa. *** Nala meremas kedua tangan dengan khawatir. Di seberang tempat duduknya ada si pemilik kontrakan yang menatapnya iba. “Bukan saya bersikap jahat. Tapi saya juga sedang butuh uang. Ini sudah lebih dari dua bulan kamu belum bayar uang kontrakan.” Semakin keras Nala meremas kedua tangan. Dia tidak berani mengatakan apapun karena ini memang salahnya. Dirinya terlalu percaya diri dengan hanya menyisakan uang gaji cukup untuk makan sebulan sementara sisanya dia bagi ke pengemis atau ia sumbangkan ke yayasan manapun yang ditemuinya. Begitu seterusnya hingga dia tidak memiliki banyak tabungan. Sementara gaji terakhir dari Delifood sudah habis untuk makan sehari-hari. Kini ia tak memiliki simpanan apapun. Bahkan untuk makan ia kebingungan. Jadi yang Nala lakukan hanya tertunduk di depan si pemilik kontrakan. “...saya kasih keringanan. Kamu bisa bayar setengah dulu. Sisanya saya tunggu tiga bulan lagi. Bisa?” Nala menggeleng pelan. Sadar dirinya tak akan sanggup. Terdengar desahan dari wanita di seberang Nala. “Kalau gitu saya minta maaf. Ada orang lain yang sudah menunggu menempati rumah ini. Saya kasih kamu waktu sampai besok.” Lalu wanita itu berdiri, hendak langsung pergi dari hadapan Nala. Tapi tiba-tiba Nala juga berdiri lalu refleks memegang tangan si pemilik kontrakan. “Ada apa lagi?” Nala buru-buru duduk kembali lalu meraih pen dan notesnya. Sejenak dia menulis, membuat si pemilik kontrakan turut duduk. Usai menulis, Nala segera menunjukkannya pada wanita di hadapannya. “Apa Anda tidak punya rumah lain yang bisa saya tempati? Atau tempat apapun untuk sekedar berteduh?” Si pemilik kontrakan menatap Nala iba. “Saya punya lahan kosong. Ada gubuk kecil di sana. Tapi sebelum saya beli, area itu pernah dijadikan kandang sapi dan belum dibersihkan. Jadi agak bau dan kotor. Apa kamu mau?” Mata Nala berbinar lalu buru-buru mengangguk. “Tapi—sebaiknya kamu lihat dulu. Kondisinya sangat buruk. Gubuk itu dulunya ditempati pengurus kandang. Sekarang sudah reyot. Apa kamu yakin?” Nala kembali mengangguk tanpa keraguan. Terdengar hela napas berat si pemilik kontrakan sebelum ia berdiri. “Ayo saya antar kamu lihat tempatnya dulu.” --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN