Selasa (11.53), 20 April 2021
------------------------
Aska bersiul-siul bahagia seraya mengenakan setelan kerjanya. Bisa dibilang dia sangat bersemangat hari ini. Setelah beberapa hari melelahkan akibat proyek barunya, kini Aska punya waktu untuk bersantai. Dan waktu berharga semacam ini akan dia manfaatkan sebaik mungkin.
Senyum tertahan Aska menghiasi bibir membayangkan apa yang akan dilakukannya nanti. Dia sudah tidak sabar. Bahkan hanya sekedar membayangkan apa yang akan dilihatnya, hati Aska sudah melonjak gembira.
“Nala...,” gumam Aska dengan senyum mengejeknya. “Aku penasaran bagaimana kabarmu sekarang.”
Pekerjaan yang menyita waktu Aska membuat lelaki itu tak sempat melakukan hal lain. Hal lain yang dimaksudnya adalah mengawasi Nala dengan matanya sendiri. Padahal itu merupakan hiburan yang menyenangkan. Obat penatnya. Siapa sangka, kehancuran seseorang akan menjadi kebahagiaan bagi orang lain?
Usai mengenakan pakaian, Aska bergegas keluar kamar menuju ruang tamu di mana Raffi sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu.
“Yakin gak mau sarapan?” tanya Aska begitu ia tiba di dekat Raffi.
“Gak usah.” Raffi berdiri lalu berjalan di samping Aska menuju mobilnya. “Lo keliatan seneng banget,” nadanya setengah mengejek. Tahu betul apa yang membuat Aska senang.
“Gimana gak seneng? Gue mau ketemu mantan gue tersayang,” dengan senyum geli, Aska mengedipkan sebelah mata pada Raffi lalu masuk ke mobil sang asisten.
Raffi terdiam sejenak sebelum turut masuk ke sisi pengemudi. “Gue sumpahin lo jatuh cinta beneran sama Nala.”
Seketika tawa Aska pecah. “Lo nyumpahin gue sampe ludah lo nyembur ke puncak Monas juga itu gak mungkin terjadi.”
Raffi menoleh ke arah Aska yang sedang memasang sabuk pengaman dengan sisa tawa di bibirnya. Banyak yang ingin dia katakan. Nasihat, teguran, bahkan larangan yang semuanya berhubungan dengan Nala. Tapi Raffi ragu.
“Apa?” tanya Aska bingung menyadari tatapan Raffi.
Akhirnya Raffi hanya mendesah seraya menggeleng lalu segera mengenakan sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil.
“Lo pengen ngomong sesuatu? Bilang aja,” desak Aska yang dilanda rasa penasaran.
“Gak ada. Ujung-ujungnya lo gak bakal dengerin gue,” sahut Raffi seraya mengemudikan mobilnya.
Seketika Aska mengerti. Dia duduk bersandar dengan tatapan lurus ke depan. “Kalau yang mau lo bilang ada hubungannya sama Nala, lo bener. Gak akan gue dengerin. Gue gak akan berhenti sampe dia bener-bener hancur.”
Raffi hanya angkat bahu sebagai tanggapan.
***
Menjelang makan siang, Aska meregangkan tubuh dengan senyum lebar di bibir. Semua pekerjaannya sudah benar-benar beres. Hari ini dia bisa pulang lebih awal. Tapi tentu saja, dia tidak akan menghabiskan waktu berdiam diri di rumah. Masih ada hal yang lebih menyenangkan untuk dilakukan.
Klek.
Pintu ruangan Aska terbuka dan tampak Raffi memasuki ruangannya dengan kantong kertas di tangan. Lelaki itu menghampiri Aska lalu mengulurkan kantong kertas yang dibawanya yang langsung diterima Aska tanpa melihat isinya.
“Lo cuma mau makan itu?” tanya Raffi seraya mengedikkan dagu ke kantong kertas yang kini pindah ke tangan Aska.
“Iya. Lo udah makan, kan?”
Raffi mengangguk.
“Kalau gitu kita pergi sekarang.” Tanpa menyembunyikan raut penuh semangatnya, Aska bergegas keluar ruangan mendahului Raffi.
Lagi-lagi yang bisa Raffi lakukan hanya mendesah seraya membuntuti Aska. Demi bisa mengawasi Nala, Aska melewatkan makan siang. Hanya meminta Raffi membelikannya roti isi yang akan dimakannya selama perjalanan. Sepertinya tanpa Aska sadari, Nala mulai menjadi obsesinya. Bahkan Raffi curiga perasaan itu sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Hanya saja, kini adalah puncaknya.
Tak ada yang bisa Raffi lakukan sebagai sahabat. Raffi hanya berdoa semoga perasaan itu tak menghancurkan Aska nantinya.
Selama perjalanan, kedua sahabat itu berbicara banyak hal. Namun seolah menjadi kesepakatan tak terucap, mereka sama sekali tak mengungkit soal Nala. Hingga akhirnya mereka tiba di kawasan yang tampaknya merupakan taman kota.
“Kenapa berhenti di sini?” tanya Aska seraya membuka kantong kertasnya lalu mulai menggigit roti isinya.
“Awas lo kotor-kotor di mobil gue,” peringat Raffi tajam.
Aska mengabaikan peringatan Raffi. Dia menurunkan kaca mobil di sampingnya lalu matanya memperhatikan sekeliling seraya terus menggigit dan mengunyah.
“Mana Nala?”
“Yang jalan kaki di depan itu apaan?”
Aska mengalihkan perhatian ke arah yang dimaksud Raffi. Ada banyak orang di sana yang tampaknya menikmati makan siang. Tapi hanya dalam beberapa detik, dia menemukan wanita yang tampak berjalan lesu lalu duduk di kursi taman.
Seketika senyum Aska merekah. Dia kembali menggigit makan siangnya tanpa mengalihkan perhatian dari wajah Nala. “Biar gue tebak. Dia ditolak lagi.”
Raffi tak mengatakan apapun karena tahu betul tebakan Aska benar. Ah, sebenarnya itu bukan tebakan. Itu memang fakta yang sama-sama mereka ketahui. Karena Aska sendiri yang memberi perintah pada Raffi untuk memastikan Nala tak diterima bekerja di manapun dan Raffi melakukan perintah Aska sebaik mungkin.
“Bahagia itu sederhana, ya,” gumam Aska dengan senyumnya yang terus merekah sementara pandangannya tak lepas dari Nala. “Liat dia sengsara kayak gini rasanya gue puas banget.”
Lalu senyum penuh kemenangan Aska menghilang digantikan kilat kejam di matanya yang penuh amarah saat bayangan mamanya didorong hingga jatuh menimpa bebatuan keras memenuhi pikirannya.
“Mama....”
Jemari Aska mengepal kuat di sisi tubuh. Matanya basah. Dia menunduk menatap Mamanya yang berusaha bangkit seraya meringis menahan sakit dengan luka di sikunya.
Namun Aska yang saat itu masih berusia lima belas tahun seolah terpaku di tempat. Dia tak berusaha membantu Mamanya bangun. Tatapan penuh amarah dan dendamnya perlahan beralih pada lelaki dan wanita di depannya. Handoyo dan Maura.
“Apa uang yang diberikan Mas Han belum cukup untuk kalian?” wanita dengan dandanan cantik dan seksi itu bertanya dengan nada mengejek.
Mama Aska tak berusaha berdiri. Dia malah duduk bersimpuh dengan kedua tangan menyatu di depan dâda. “Aku hanya minta tolong biayai Aska sampai dia selesai kuliah, Mas.”
Handoyo tak mengatakan apapun. Hanya diam membisu dan memalingkan wajah dari dua orang di hadapannya.
“Enak sekali kamu bicara.” Lagi-lagi Maura yang berbicara. “Mas Han kan sudah bilang. Tinggalkan Aska di sini. Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi mikirin kebutuhan dia. Tapi kamunya ngotot bawa Aska hidup susah.”
Meski Maura yang bicara, Mama Aska tetap menatap penuh permohonan ke arah Handoyo. “Aska tidak mau, Mas. Lagipula aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya punya dia.”
“Ya sudah kalau gitu.” Kembali Maura yang menyahut. “Itu resiko kalian. Kenapa masih mengganggu kami?”
“Mas—”
“Ma, ayo pulang!”
Lalu Aska berbalik tanpa menunggu tanggapan. Saat melewati halaman penuh tanaman hias itu, langkah Aska mendadak berhenti menyadari ada seseorang yang mengintip di antara rimbun tanaman. Dia menoleh, lalu mendapati mata hitam gadis kecil itu menatapnya penasaran.
Nala Olivia.
Jemari Aska yang berada di atas paha mengepal kuat. Tatapannya terus terarah pada wanita yang masih terduduk lesu di kursi taman, memperhatikan sekeliling yang mulai sepi.
“Dia harus ngerasain apa yang dirasain Mama dulu. Bahkan lebih pedih.” Lalu bibir Aska yang menipis penuh amarah kembali melengkung membentuk senyuman. Dia melanjutkan menikmati roti isi dengan perasaan bahagia.
Raffi tak menanggapi. Pandangannya juga tak lepas dari Nala. Namun berbeda dengan yang dirasakan Aska, Raffi tak kuasa menahan rasa iba.
“Mau diapain sampah itu?” Mendadak Aska bertanya dengan kening berkerut.
Raffi yang tadi memperhatikan Nala setengah melamun mulai tersadar. Dia juga baru menyadari Nala mengambil nasi bungkus yang dibuang namun tak masuk ke dalam tong sampah. Bungkus cokelat dengan sisa nasi yang berceceran tergeletak terbuka di samping tempat sampah. Jemari Raffi mengepal, merasakan dâdanya seperti diremas.
“Dia pasti lapar,” gumam Raffi, menyembunyikan suara serak penuh emosinya.
Mendengar itu, Aska tersenyum miring. “Pasti cari perhatian.”
Raffi tak menanggapi lagi. Dia memilih diam dan memalingkan wajah dari Nala.
Tampak Nala melirik sekitar sejenak begitu sisa nasi bungkus sudah di tangannya. Lalu dia buru-buru kembali duduk di kursi taman dan mulai memakan nasi sisa itu dengan lahap.
DEG.
Aska ternganga melihat itu. Keningnya berkerut akibat rasa aneh yang mencengkeram dâda. Sakit yang menyengat, membuat dâdanya seolah berdenyut perih.
Refleks Aska memasukkan kembali roti isi ke dalam kantong kertas lalu keluar dari mobil. Dengan langkah tegapnya dia menghampiri Nala lalu berdiri di samping wanita itu sambil berkacak pinggang.
“Sedang apa kau?” bentak Aska.
Nala yang dibentak tiba-tiba tersentak kaget. Dia mendongak dengan mulut penuh lalu matanya melebar menyadari siapa yang berdiri di dekatnya.
“Aku tanya sedang apa kau?” kembali Aska membentak dengan amarah yang kian mendidih.
Refleks Nala meraup nasi bungkus itu lalu berdiri hendak kabur. Namun Aska berhasil mencengkeram baju bagian belakangnya.
Kesal karena sikap Nala, Aska membalikkan tubuh wanita itu menghadapnya lalu kembali bertanya, “Kau sedang apa? Kau pikir aku tidak lihat dari mana kau memungut sampah itu!”
Seketika mata Nala berkaca-kaca bersamaan dengan amarah yang juga merambati hatinya.
PLAK!
Wajah Aska tertoleh ke samping akibat kerasnya tamparan Nala. Dia tertegun, tak menyangka Nala berani melakukan itu. Bahkan sampai Nala meronta melepaskan diri lalu bergegas pergi, Aska masih tetap diam di tempat dengan tangan menyentuh pipinya yang terasa panas.
Sementara itu di dalam mobil, Raffi hanya bisa geleng-geleng kepala tak mengerti dengan sikap Aska. Katanya ingin melihat Nala hancur sampai tak bisa bangkit. Tapi begitu Nala benar-benar hancur, sahabatnya itu malah bersikap lebih tidak masuk akal lagi.
------------------------
♥ Aya Emily ♥