Delapan

1929 Kata
Selasa (11.56), 20 April 2021 ------------------- Nala mengguncang-guncang tubuh Aska dengan panik. Air matanya semakin deras. Lalu susah payah dia menyingkir dari himpitan tubuh Aska. Nala semakin terisak begitu menyadari ada darah yang mengalir di sudut bibir Aska. Dia menatap sekeliling yang gelap lalu berusaha berteriak meminta tolong. Tapi tak ada suara yang terdengar. Apalagi hujan dan guntur masih meramaikan langit malam. Membuat suara gubuk roboh teredam. Ditambah lahan ini memang agak jauh dari pemukiman warga. Sadar tak mungkin bisa mengangkat tubuh Aska sendirian dan dirinya tak punya banyak waktu,  Nala berdiri lalu berlari meninggalkan Aska hendak mencari seseorang yang bisa menolongnya. Dia beruntung hanya menempuh sekitar 200 meter, ada warung dengan banyak lelaki dewasa di sana yang tampak tengah mengobrol seru. Tanpa ragu Nala menghampiri mereka lalu membuat gerakan memohon sambil menunjuk-nunjuk ke arah gubuk. Bibirnya berkali-kali menjelaskan apa yang dialaminya. Tapi dia ragu orang-orang itu akan mengerti apa yang dia katakan tanpa suara. “Ada apa, Neng?” “Coba bicara lebih jelas.” Akhirnya Nala memilih jalan singkat. Dia menarik salah satu tangan seorang Bapak di dekatnya dan langsung berlari menembus hujan. Diabaikannya seruan bingung si Bapak. Tapi beruntung lelaki itu tak lantas memukulnya agar menjauh karena berpikir dirinya gila. Bapak itu menurut membiarkan dirinya ditarik Nala. Bahkan lelaki-lelaki lain turut membuntuti dengan bingung. Mobil Aska masih terparkir di jalan menuju lahan kosong bekas kandang sapi. Begitu tiba di sana, Nala langsung melepas tangan si Bapak lalu kembali menunjuk-nunjuk sambil berlari menghampiri Aska. Seketika orang-orang itu mengerti begitu melihat ada orang yang tergeletak di dekat reruntuhan. Mereka langsung menghampiri sambil saling berseru memberi arahan. “Cek itu mobil ada kontaknya gak?” “Ada yang bisa nyetir?” “Dia masih napas?” Seruan-seruan itu saling bersahutan. Nala hanya diam menangis di dekat Aska, menunggu para lelaki itu mengangkat Aska. Setelah memastikan mobil bisa dinyalakan, mereka bersama-sama mengangkat Aska ke mobil. Nala turut masuk dan duduk di kursi belakang sementara Aska dibaringkan di sampingnya dengan kepala di atas pangkuannya. Dua orang di antara para lelaki tadi yang menemani mereka. Yang satu mengemudi dan satunya lagi duduk di samping sisi pengemudi. Lalu mobil melaju menembus rintik hujan diiringi tangis tanpa suara Nala. *** Raffi merebahkan diri di sofa depan tv. Namun pikirannya sama sekali tak tertuju ke layar di hadapannya. Memorinya terus memutar ulang bayangan Nala yang memakan nasi sisa dari tempat sampah. Dan lagi-lagi, dâda Raffi terasa seperti diremas kuat. “Aska brêngsek!” Kembali Raffi mengumpati sang sahabat entah untuk keberapa kalinya. Bagaimana tidak? Aska lah yang membuat Raffi harus merasakan rasa pedih ini. Dia penyebab Nala begitu menderita. Entah sampai kapan Aska akan seperti ini. Apa hatinya sudah begitu hitam diselimuti dendam hingga setitik pun rasa iba untuk Nala tidak dia rasakan? Cukup lama Raffi berbaring nyalang di atas sofa. Lalu dia mendesah seraya meraih ponsel yang tergeletak di meja depannya. Matanya tak bisa terpejam. Otaknya terus bekerja menolak istirahat. Akhirnya dia putuskan mengecek pesan masuk. Tidak mungkin selarut ini Aska kembali mengganggu, kan? Beberapa email dan pesan chat langsung berlomba memenuhi ponsel Raffi. Lalu keningnya berkerut menyadari ada banyak sekali panggilan tak terjawab. Penasaran Raffi mengecek siapa penelepon dan ternyata semuanya dari ponsel Aska. Bahkan yang terbaru sekitar lima menit yang lalu. Tanpa pikir panjang, Raffi menelepon balik nomor Aska. Hanya dua deringan dan panggiln langsung diterima. Tapi baru saja Raffi hendak bicara, sambungan telepon diputus secara sepihak, membuat Raffi memandang ponselnya dengan raut tak percaya. Ada apa ini? Tapi tak butuh waktu lama Raffi mendapat jawaban. Sebuah pesan masuk seketika memacu jantungnya lebih cepat. Buru-buru Raffi berdiri menuju kamar mengambil jaket, dompet, dan kunci mobilnya. Ini Nala. Hanya namamu yang kukenal di kontak ponsel Aska. Bisakah kau datang ke rumah sakit sekarang? Aska kecelakaan. Raffi tak memikirkan mengapa Nala yang bersama Aska saat ini. Raffi tak sempat memikirkan hal lain. Yang memenuhi kepalanya hanya bayangan terburuk mengenai kondisi Aska. *** Aska membuka mata perlahan. Keningnya berkerut menyadari suasana asing di sekitarnya. Dia memperhatikan sekeliling. Lalu berhenti lama pada sosok sang sahabat yang berbaring di atas sofa kamar bernuansa putih itu. Sejenak mata Aska kembali terpejam. Lalu dia berusaha bangkit duduk. Erangan pelan lolos dari sela bibirnya merasakan sakit di bagian punggung. Namun dia hanya menggeliat, tetap memaksakan diri dalam posisi duduk bersandar. “Tidur lagi, Ka.” Raffi mengatakan itu dengan nada menggumam tanpa membuka mata. Seolah dia tengah mengigau. “Ini masih gelap.” Aska mengabaikan ucapan Raffi. “Kenapa gue di sini?” Sejenak Raffi menguap seraya meregangkan tubuh. Lalu dia turun dari sofa menuju kursi di samping ranjang Aska. “Lo gak inget sama sekali?” Aska menggeleng. “Lo ditemuin jatuh ketimpa... katanya sih gubuk. Untung bukan kepala lo yang kena. Orang semalem bilang kayaknya kayu penyangga bagian atap gubuk.” Seketika memori semalam membanjiri benak Aska. Matanya melebar teringat detik-detik dia melihat gubuk sialan itu nyaris jatuh menimpa tubuh Nala. “Nala gimana? Dia baik-baik aja?” refleks Aska bertanya dengan sorot cemas dalam matanya. Salah satu alis Raffi terangkat. Dia semakin tak mengerti dengan kelakuan Aska. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya sementara Nala tak mengatakan apapun semalam. Hanya menyerahkan barang-barang Aska lalu pergi bersama dua lelaki yang turut mengantar Aska ke rumah sakit.  Dari dua lelaki itu juga tak banyak informasi yang didapat Raffi. Mereka hanya mengatakan tiba-tiba Nala datang meminta tolong. Setelahnya mereka menemukan Aska sudah dalam keadaan pingsan dengan setengah tubuh tertindih bangunan. Mendengar keterangan dua lelaki itu, Raffi meringis dan bahkan sudah berpikiran buruk. Tapi dokter mengatakan Aska baik-baik saja. Sedikit luka dalam akibat kerasnya hantaman benda tumpul di punggungnya sementara bagian tubuh yang lain hanya sedikit memar yang akan segera pulih. Sebuah keajaiban yang membuat Raffi berpikir bahwa orang jahat memang susah mati. “Lo ngetawain gue? Napa senyum-senyum gitu?” Aska tampak kesal melihat bibir Raffi melengkung membentuk senyum geli. “Gak ada maksud apa-apa gue tanya keadaan Nala. Gue cuma mau pastiiin gak akan dituduh sebagai tersangka gara-gara Nala terluka dan ada gue di tempat kejadian.” Raffi mengibaskan tangan dengan malas. “Dia baik-baik aja. Semalem dia yang hubungi gue pake hape lo. Anehnya Nala tau kode keamanan hape lo padahal gue aja gak tau.” Aska tak menanggapi. Dia ingat memang tidak pernah mengganti kode keamanan ponselnya. Dan dulu Nala tahu kode keamanan yang dia gunakan. “Di mana dia sekarang?” “Udah balik.” “Balik ke mana? Gubuk yang dia tempati roboh gitu. Lagian siapa sih yang nyaranin dia tinggal di tempat macam itu? Tuh orang bisa dituntut apalagi sampe ada korban kayak gini.” Raffi menghembuskan napas keras menahan kesal. “Sadar gak lo tambah bikin gue bingung? Katanya lo pengen Nala hancur. Ya udah, biarin dia sampe minum aja harus nunggu hujan gara-gara sekedar beli air dia gak sanggup. Biarin dia sampe tidur di jalanan dan makan harus ngais tempat sampah. Bukannya memang itu yang lo mau?” Aska terdiam, menyembunyikan rasa nyeri di dâdanya akibat membayangkan Nala melakukan seperti yang dikatakan Raffi. “Kalau nurani lo tersiksa ngeliat Nala saat ini, gue saranin lo berhenti ganggu dia. Tinggal lanjutin hidup lo kayak dua tahun ini tanpa Nala dan biarkan Nala juga lanjutin hidupnya.” Mendadak Aska menepuk dâdanya sendiri dengan tatapan tajam mengarah pada Raffi. “Tapi nurani gue juga tersiksa ngebiarin dia hidup nyaman. Gue gak bisa—” “Kalo gitu bales dendam lo sama orang tuanya. Kenapa harus Nala?” Aska memalingkan wajah dari Raffi. “Gue pengen mereka ngerasain apa yang gue rasain waktu itu. Rasanya jantung gue kayak ditikam ngeliat Mama diperlakukan sekejam itu. Gue pengen mereka juga ngerasain hal itu dengan ngeliat Nala yang gue siksa.” Raffi menghela napas lalu berdiri. “Tapi sejauh yang gue liat, kayaknya mereka gak peduli sama Nala. Mereka tetep bahagia sementara Nala harus nanggung dosa mereka sendirian. Jadi objek balas dendam atas kelakuan mereka.” Lalu Raffi menepuk pelan pundak Aska. “Gue pergi dulu.” Sepeninggal Raffi, Aska termenung dengan tatapan nyalang. Benaknya mulai memutar semua memori tentang Nala. Sejak mereka pertama kali bertemu sampai pertemuan terakhir mereka di malam yang gelap itu. *** “Untuk sementara kamu bisa di sini. Kebetulan anak Ibu lagi liburan beberapa hari sama teman-temannya.” Mata Nala berkaca-kaca saat dia mengangguk lalu buru-buru menulis kata “terima kasih” di notesnya. Wanita paruh baya di hadapannya adalah pemilik warung tempat Nala meminta tolong semalam. Dia dan warga daerah sini sangat baik. Mereka membantu menyelamatkan barang-barang Nala. Saat Nala kembali bersama dua lelaki yang turut mengantar Aska ke rumah sakit, barang-barang Nala sudah tersimpan di kamar anak sang pemilik warung. Tadi pagi-pagi sekali, pemilik kontrakan juga datang. Dia tampak cemas dan merasa bersalah. Nala hanya menanggapi dengan senyum dan berulang kali menjelaskan dengan tulisan bahwa dirinya baik-baik saja. Baru setelah itu dia bernapas lega dan percaya. Nala tak lagi meminta tolong untuk dicarikan tempat tinggal lain. Dia mengerti tempat semalam adalah tempat terbaik yang bisa ditawarkan si pemilik kontrakan. Dirinya tak mau merepotkan lagi. Dia harus berusaha mencari tempat tinggal lain sendiri. Sudah cukup beruntung setidaknya besok dia masih memiliki tempat berteduh. Sepeninggal pemilik warung dari kamar yang Nala tempati, dia segera membereskan tempat tidur dan sedikit merapikan kamar itu yang tampaknya si pemilik adalah lelaki remaja. Tak ada lagi yang bisa Nala kerjakan, dia duduk di sisi ranjang seraya meminum teh hangat yang tadi diantarkan si pemilik warung dengan rasa bersalah. Bagaimana tidak? Dirinya sudah cukup merepotkan dengan menumpang bermalam di sini. Dan si pemilik warung masih memperlakukannya dengan begitu baik. Mengantar teh hangat dan pisang goreng untuk mengganjal perut Nala yang memang belum diisi karena makanan terakhir yang masuk ke mulutnya adalah nasi sisa yang dibuang di dekat tempat sampah. Memori siang itu membuatnya kembali teringat pada Aska. Masih jelas dalam benak Nala bagaimana kilat amarah dalam mata Aska memancar tajam saat dirinya menikmati nasi sisa yang ditemukannya. Lalu ingatan itu berubah. Tak ada lagi amarah dalam mata Aska. Lelaki itu menatap Nala tanpa ekspresi sebelum matanya terpejam lalu tubuhnya jatuh menimpa Nala. Tak ayal, kejadian itu membuat bagian kecil otak Nala yang masih penuh harapan mulai berpikir mungkinkah masih ada cinta di hati Aska untuknya? Tapi pertanyaan itu langsung ditepis otak realistis Nala. Jelas Aska memperlakukannya dengan buruk karena membenci dirinya meski Nala tak tahu alasannya. Jadi mustahil masih ada cinta di hati lelaki itu untuknya. Tapi kalaupun ada, lalu kenapa? Mereka tetap tidak mungkin bisa bersama. Nala juga tidak mau terperosok dalam lubang yang sama. Tak ingin terlalu larut dalam khayalan tanpa akhir, Nala meraih pisang goreng yang masih mengepul dengan garpu dan berniat segera menghabiskannya agar bisa membantu si Ibu menyiapkan masakan untuk warungnya. Namun saat ia masih sibuk meniup-niup, pandangannya menangkap lembaran foto yang mencuat dari bagian depan tasnya. Foto yang dipandanginya untuk menguatkan hati saat dia mulai lelah dan merasa sakit. Foto yang ia jadikan teman tidur, pengingat bahwa dia pernah diinginkan meski hanya sebentar. Mendadak nafsu makan Nala menghilang. Diletakkannya kembali garpu beserta pisang goreng yang masih mengepul. Lalu diraihnya foto itu dengan mata berkaca-kaca. Senyum Nala merekah saat jemarinya membelai permukaan foto yang licin. Letakkan kembali, Nala! pekik Nala dalam hati mengingatkan diri sendiri. Kau sudah berjanji hanya akan memandanginya tiap malam. Dan semalam kau sudah melakukannya. Sekarang kembalikan itu ke tempat semula lalu bergegas keluar. Setelah menghela napas sejenak, Nala mengangguk seolah mengiyakan perintah hatinya. Lalu ia letakkan foto itu ke balik bantal. Sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan, membuat Nala mengutuki diri sendiri. Tapi begitu ingat dia akan menginap di sini semalam lagi, akhirnya Nala memilih membiarkan foto itu berada di tempat yang mudah ia jangkau. ------------------ ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN