Sembilan

2074 Kata
Selasa (11.58), 20 April 2021 ---------------------- “Brêngsek, Ka! Balik ke tempat tidur!” Aska mengabaikan seruan Raffi dan tetap melanjutkan mengenakan pakaian yang dibawakan Raffi. Dia bahkan dengan entengnya melepas sendiri jarum infus yang menancap di punggung tangannya. “Kalau tau lo bakal kabur dari rumah sakit gini, gak gue bawain apa yang lo minta.” Tadinya Raffi pikir Aska hanya tidak suka pakaian rumah sakit. Dia sudah sangat mengenal Aska. Lelaki itu jadi banyak maunya dan lebih mirip bocah saat sedang sakit. Ada saja yang dia minta dan keluhkan. Entah makanan rumah sakit ataupun pakaiannya. Tak dia sangka permintaan Aska kali ini memiliki tujuan lain. “Gue gak mau kabur.” “Trus itu apa?” “Gue udah baikan. Jadi udah waktunya pergi dari sini. Banyak pasien lain yang lebih butuh.” Raffi berkacak pinggang sambil menatap Aska kesal. “Ka, dokter bilang lo harus istirahat total! Lo paham maksudnya, kan?” “Bilang sama dokter itu gue lebih tau badan gue,” balas Aska seraya merapikan kemeja yang dikenakannya. Keningnya hanya sedikit berkerut saat rasa sakit melanda bagian punggungnya. “Lo gak bawain gue jaket?” Raffi tak menyahut lagi. Hanya terus menatap Aska kesal. Aska hanya angkat bahu. “Mobil gue masih di sini, kan?” Raffi tak menanggapi. “Ya udah. Gue bisa naik taksi.” Akhirnya Raffi menghela napas. “Gue udah suruh orang bawa mobil lo balik. Ayo gue anter. Sebenarnya lo mau ke mana?” “Ke tempat Nala,” gumam Aska seraya berjalan mendahului Raffi. Raffi tertegun. Lalu dia bergegas menyusul Aska, mencengkeram siku sang sahabat kuat hingga langkah Aska terhenti. “Lo mau apa lagi? Apa lo sama sekali gak dengerin omongan gue?” “Ini karena gue mikirin omongan lo.” Aska menghela napas. “Lo bener. Yang salah orang tuanya. Kenapa gue harus lampiaskan sama Nala?” “Syukurlah lo udah sadar. Kalo gitu biarkan dia hidup tenang mulai sekarang. Jangan ganggu dia lagi.” “Gue mau nebus semua kesalahan gue sama dia.” “Gue rasa dengan lo nyingkir jauh-jauh dari Nala, itu udah kayak penebusan dosa. Kalau lo pengen balikin apa yang udah lo renggut dari dia, gue bisa selesaikan diam-diam. Tempat tinggal, pekerjaan, dan lainnya.” Aska melepaskan cengkeraman Raffi dari lengannya. “Gue bisa urus semua sendiri mulai sekarang.” Aska hendak melangkah kembali. Namun kali ini Raffi menghalangi jalannya dengan berdiri tepat di hadapan Aska. “Jujur sama gue. Ini bukan sekedar penebusan dosa, kan? Lo gak mau kehilangan Nala. Apa sebenarnya lo cinta sama Nala?” Aska terdiam. Keningnya berkerut tampak memikirkan ucapan Raffi. “Gue gak tau.” Akhirnya hanya itu yang Aska ucapkan seraya menyentak lengannya lepas dari cengkeraman Raffi lalu keluar kamar. Langkah kaki Aska begitu mantap menyusuri lorong rumah sakit. Tapi mendadak dia berhenti. Pertanyaan Raffi tadi terngiang dalam benaknya. Lalu berganti menjadi sosok Nala yang memungut nasi sisa dan memakannya dengan lahap. DEG. Refleks Aska mengangkat tangannya menyentuh dâda yang terasa berdenyut perih. Lalu jemarinya mengepal kuat, berharap rasa tak nyaman itu pergi. “Lo baik-baik aja? Udah gue bilang kan....” Mendadak Aska berbalik menghadap Raffi yang langsung menghentikan ucapannya. Satu tangan Aska masih mengepal di dâda. “Bukan cinta yang gue rasakan, Raf. Ternyata itu iba.” Lalu Aska tersenyum kecut. “Kayaknya gue gak bakat jadi jahat sampe akhir.” Tanpa menunggu tanggapan, dia pun berbalik meneruskan langkah. Raffi menggeleng pelan sambil memandangi punggung sang sahabat. Dirinya juga iba pada Nala. Tapi bukan berarti dia akan melibatkan diri dalam kehidupan Nala. Jika memiliki kesempatan untuk menolong, Raffi hanya akan membantu memastikan Nala mendapat kehidupan yang layak. Seperti yang dia sarankan pada Aska. Lalu benarkah yang Aska rasakan sekedar rasa iba? *** Seperti biasa, Nala melakukan pekerjaannya dengan semangat dan penuh senyuman. Membuat si pemilik warung merasa senang hingga nyaris melupakan kekurangan Nala. “Andai punya lebih banyak pemasukan, pasti Ibu senang sekali punya pegawai seperti kamu.” Ucapan si pemilik warung membuat Nala tertegun. Hatinya mulai penuh harap lagi. Dirinya tidak butuh gaji. Yang penting ada atap untuk bernaung dan makan. Itu sudah lebih dari cukup. Nala sudah bersiap menyampaikan tawarannya. Namun si pemilik warung tengah menunduk mengawasi gorengan di atas wajan sementara Nala yang sedang mencuci peralatan bekas makan para pengunjung agak jauh darinya. Buru-buru Nala menyelesaikan gelas terakhir lalu bergegas menghampiri si pemilik warung. Tapi begitu dekat, perhatian si pemilik warung terarah pada jalanan di luar. “Wah, itu tamu siapa yang bawa mobil bagus begitu.” Lalu dia tersenyum seraya menoleh pada Nala. “Maklum, Nduk. Daerah sini jarang dilewati mobil. Apalagi yang bagus begitu.” Nala balas tersenyum lalu rasa penasaran membuatnya turut menoleh ke luar. Ternyata bukan hanya dirinya, para pengunjung juga tengah melihat ke arah yang sama. Bahkan yang sedang makan. “Eh, berhenti di sini tuh,” celetuk salah satu pengunjung. “Kayaknya mau tanya arah,” sahut yang lain. Nala turut terus memperhatikan. Lalu mendadak jantungnya memacu sangat cepat sementara matanya melebar menyadari siapa yang baru saja keluar dari mobil. Aska. Refleks Nala mundur lalu berbalik menuju dalam rumah yang menyatu dengan warung, terus bersembunyi di kamar yang ditempatinya semalam sambil dalam hati berdoa semoga pemilik warung tak mengatakan di mana dirinya berada. *** Aska mendesah begitu mobil yang dikemudikan Raffi berhenti di depan sebuah warung yang amat sederhana. Tadi mereka harus berhenti beberapa kali untuk bertanya pada warga sekitar mengenai wanita yang menempati gubuk roboh semalam. Dua warga yang mereka temui sama sekali tidak tahu meski sudah mendengar tentang insiden itu. Baru seorang pejalan kaki yang akhirnya memberi petunjuk di mana Nala kini berada. “Napa? Mulai kerasa sakit?” Aska mengibaskan tangan mengelak. “Cuma capek aja.” Lalu dia keluar dari mobil tanpa menunggu tanggapan Raffi. Sejujurnya punggung Aska mulai terasa ngilu. Ingin sekali dia cepat-cepat pulang lalu berbaring telungkup. Tapi dia meredam keinginan itu dan berusaha menyembunyikan rasa tak nyamannya dari Raffi. Sejenak Aska memperhatikan warung makan kecil itu lalu bedecak. Kenapa Nala selalu memilih tempat menyedihkan macam ini? Dia benar-benar pintar mencuri simpati orang lain. Aska melanjutkan langkah. Mengabaikan tatapan para pengunjung yang tampaknya menikmati sarapan agak siang, Aska memusatkan perhatian pada wanita paruh baya yang berdiri menatapnya. “Mau—pesan sesuatu?” tanya wanita itu terbata. “Tidak,” sahut Aska dengan nada arogannya. “Aku ke sini mencari wanita bernama Nala.” Mendadak raut penasaran dan bingung si Ibu berubah menjadi senyum lebar. “Oh, keluarganya Nala? Nduk, ini ada—” ucapannya terhenti begitu menyadari Nala tak lagi berada di sana. “Dia di sini, kan?” tanya Aska tak sabar. “Pasti di dalam. Ayo saya antar.” Tanpa curiga si pemilik warung berbalik ke dalam rumah dan membiarkan Aska membuntutinya. Tiba di depan sebuah pintu, dia mengetuk pelan lalu membukanya tanpa menunggu jawaban. “Nduk. Ada yang cari kamu,” ujarnya dengan senyum lebar. Lalu si Ibu kembali menatap Aska tanpa sempat melihat tatapan ketakutan Nala. “Dia di dalam. Ibu harus kembali ke depan.” Aska hanya mengangguk kecil sebagai tanggapan. Begitu si Ibu meninggalkannya, dia masuk ke kamar sempit itu dengan pandangan yang langsung menghunjam Nala tajam. Nala yang sebelumnya duduk di sisi ranjang mendadak berdiri dengan waspada begitu Aska memasuki kamar. Kedua tangannya saling mengait di depan tubuh dengan gugup. Aska mengabaikan sikap Nala dan terus masuk dengan tatapan meremehkan ke sekeliling ruangan. Lalu tatapannya sejenak terhenti pada dua tas di meja nakas sebelum kembali ke arah Nala. “Lima menit untuk membereskan barang-barangmu.” Tiba-tiba Aska berkata seraya melipat kedua tangan di depan dâda. Kening Nala berkerut bingung. Dia menatap Aska tak mengerti berharap mendapat penjelasan. Aska mengedikkan dagu ke arah tas Nala lalu menunjuk pergelangan tangan mengisyaratkan jam. “Waktu terus berjalan. Kalau kau tidak bergerak, aku akan menyeretmu keluar dengan tas itu. Seketika Nala mengerti. Aska ingin membawanya pergi. Entah neraka apa lagi yang sudah disiapkan lelaki itu untuknya. Setelah insiden semalam, tampaknya Aska tak juga puas menyiksa dirinya. Kini Nala mengerti alasan Aska menyelamatkan dirinya semalam. Bukan karena peduli. Tampaknya Aska berpikir kematian terlalu bagus untuk Nala. Dia pasti lebih suka Nala hidup untuk lebih disakitinya. “Oke. Aku anggap tidak ada barangmu lagi di kamar ini selain tas itu. Kalau begitu kita pergi sekarang.” Aska menuju meja nakas dengan dua langkah panjang lalu meraih tas Nala dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mencengkeram lengan Nala. Seketika Nala meronta seraya menggeleng-geleng begitu Aska menyeretnya menuju ambang pintu. Namun jelas Nala kalah tenaga melawan tubuh kekar Aska yang tinggi. Ditambah lagi dia tak mau membuat keributan di rumah penolongnya. Akhirnya Nala menyerah. Tapi begitu dia teringat foto di bawah bantal, kembali Nala meronta kuat-kuat. Kesabaran Aska habis sudah. Di depan ambang pintu kamar, dia mencengkeram lengan Nala lebih kuat lalu berbalik dengan tatapan amarahnya tertuju pada Nala. “Kalau kau terus meronta seperti ini, aku akan dengan senang hati mematahkan tangan dan kakimu agar bisa menyeretmu keluar dengan tenang,” geram Aska. Nala beringsut mundur ketakutan. Tapi buru-buru tangannya yang bebas menunju ke arah ranjang. Melihat itu Aska mendengus kesal. “Aku sudah memberimu waktu.” Kembali dia menggeram marah tapi detik berikutnya melepas lengan Nala. “Cepat ambil!” Buru-buru Nala berbalik mengambil foto di bawah bantal. Tapi begitu benda itu berada di tangannya, jantung Nala berdegup kian kencang antara takut dan khawatir. “Kenapa lama sekali?” tanya Aska kian tak sabar. Akhirnya Nala menghela napas. Seraya berbalik, dia menyembunyikan foto di belakang tubuh lalu menghampiri Aska. “Apa di tanganmu?” Sebagai tanggapan, Nala hanya menggeleng pelan. “Aku tidak akan beranjak dari sini sebelum kau menunjukkannya. Bisa saja itu pisau untuk membunuhku, kan?” Nala mengabaikan ucapan Aska dan tetap berdiri mematung dengan pandangan mengarah pada vas bunga plastik di sudut ruangan. Rasanya memang sudah lama sekali sejak terakhir kali dia menatap langsung mata Aska, kecuali tanpa sengaja atau terpaksa. Sikap Nala berhasil memancing kemarahan Aska hingga ke ubun-ubun. Mendadak Aska bergerak menghapus jarak antara mereka, membuat tubuh bagian depan mereka menempel. DEG. Tubuh Nala membeku. Bahkan dia pikir sejenak tadi jantungnya berhenti berdetak. Hingga Nala tak sadar Aska telah merebut foto di belakang tubuhnya lalu melangkah mundur. Nala ternganga melihat Aska memandangi foto itu. Lalu tanpa bisa dicegah, matanya berkaca-kaca membuatnya buru-buru memalingkan wajah. Setelah ini Aska pasti akan semakin menghinanya. Sementara itu kekesalan Aska seketika sirna melihat foto di tangannya. Digantikan nyeri yang kembali menghantam dâda. Lalu dia mendongak, memperhatikan Nala yang kini memalingkan wajah darinya. “Tak kusangka kau masih menyimpan foto ini,” gumamnya. “Baiklah. Kita pergi sekarang.” Usai memindahkan foto ke tangan yang memegang tas, Aska kembali mencengkeram lengan Nala lalu menariknya menuju bagian depan rumah. Menyadari Aska akan benar-benar membawanya pergi ditambah foto yang belum dikembalikan, refleks Nala kembali meronta bahkan sampai tiba di warung. “Loh, ada apa?” si pemilik warung bertanya bingung sambil melihat jemari Aska yang masih mencengkeram kuat lengan Nala. “Aku tidak mau pergi!” Tampaknya gerak bibir Nala langsung dimengerti si pemilik warung. Tatapannya beralih pada Aska sambil memegang spatula panas bagai senjata. “Kamu bukan keluarganya, ya?” Aska tersenyum tipis sebelum berkata, “Aku suaminya.” Refleks Nala kembali menggeleng kuat-kuat. Si Ibu yang melihat itu langsung menunjuk-nunjuk Aska dengan spatula. “Jangan bohong! Mentang-mentang Nala ndak bisa bicara trus mau kamu manfaatkan? Dasar berandal!” Tanpa mengatakan apapun lagi, Aska mengulurkan foto di tangannya pada si Ibu. “Itu foto pernikahan kami. Tertera tanggalnya juga. Kami sudah menikah dua tahun lalu.” Si Ibu tampak terkejut setelah melihat foto sepasang pengantin yang tampak bahagia di atas pelaminan. Keduanya duduk dengan kedua tangan saling terjalin dan tatapan penuh cinta dalam mata mereka. Bahkan si Ibu sampai menatap bergantian antara foto itu dan dua orang di depannya. Lalu dengan perlahan si Ibu menoleh ke arah Nala yang kini tertunduk dengan sikap kalah. “Tapi—Nala ndak mengakui kamu sebagai suami.” Aska angkat bahu. “Kami bertengkar. Wajar dalam rumah tangga, kan? Lalu Nala kabur tanpa membawa uang sampai dia harus tinggal di gubuk reyot itu.” Kali ini si Ibu memercayai ucapan Aska tanpa keraguan. Dia menatap Nala dengan lembut seraya berkata, “Kalau ada masalah sebaiknya diselesaikan, Nduk.” Nala hanya mengangguk kecil tanpa berani mengangkat kepala. Anggukannya hanya bentuk kesopanan karena faktanya masalah antara dirinya dan Aska memang sebaiknya tak diselesaikan. Diam-diam Nala menyusut air mata lalu berjalan pasrah begitu Aska kembali menyeretnya setelah berpamitan kaku pada pemilik warung. ------------------ ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN