Bab 2

1414 Kata
Bab 2 “Bumi memanggil Dana, Dana ke bumi?” Suara Nadine membuyarkan lamunan Dana saat ia merasakan Nadine mengetuk keningnya. Dia menatap temannya. "Kamu melamun lagi. Apa ada yang salah?" Nadine bertanya padanya. Dana menghela nafas panjang. Nadine adalah sahabatnya. Selain keluarganya, ia paling mempercayai Nadine. Dia sudah mengenalnya sejak sekolah dasar. Mungkin jika dia memberitahu Nadine tentang masalahnya, Nadine bisa memberi beberapa saran. "Aku ada masalah besar, Nadine," ucapnya dengan nada berat. "Apakah terjadi sesuatu pada Paman lagi?" Nadine bertanya, kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Dana menggelengkan kepalanya, Nadine mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, masalah besar apa yang sedang kamu bicarakan?” tanya Nadine lagi. Dana melihat sekeliling dan, karena tidak melihat siapa pun kecuali mereka berdua, dia melanjutkan berbicara. "Ini tentang... ." Dia mulai berucap. "Apakah ini ada hubungannya dengan kakakmu, Doreen?" “Sudah kubilang sebelumnya bahwa dia terlibat hubungan dengan bos lamanya, kan?” Dana sempat menceritakan pada Nadine tentang hubungan kakaknya dengan bosnya. Dia tidak punya orang lain untuk diajak curhat selain Nadine. Dia tidak ingin memberi tahu orang tuanya karena dia tidak ingin mereka khawatir. "Apakah mereka tidak bersama lagi?" tanya Nadine. Dia mengangguk. "Jadi, apa masalahnya? Bukankah seharusnya kamu senang karena kakakmu tidak lagi bersama sugar daddy-nya?" "Masalahnya adalah, dia mencuri jutaan dolar dari bosnya dan pacarnya juga terlibat bersamanya." "Apa?!" seru Nadine tapi dengan tatapan mengejek. Dia segera membungkamnya. "Jangan berisik," katanya. Nadine menutup mulutnya. "Maaf," dia meminta maaf. “Dan masalahku adalah, jika dia tidak muncul dan mengembalikan uang yang dicuri, kami harus membayarnya.” "Ya Tuhan!" seru Nadine. Dana memperhatikan ada ketidakpercayaan di wajah temannya. "Aku tidak percaya Doreen akan melakukan itu." "Aku juga," katanya muram. "Apakah Paman dan Bibi mengetahuinya?" Nadine bertanya setelah beberapa saat. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin orang tuaku mengetahui perbuatan kakakku. Kamu kan tahu, Ayah baru saja pulang dari rumah sakit." "Jadi, apa rencanamu?" "Aku tidak tahu. Aku sudah mencoba menelepon Doreen beberapa kali, tetapi nomornya tidak aktif. Sepertinya dia sudah mengganti nomornya. Dan saya tidak punya uang sebanyak itu," kata Dana pada Nadine. "Padahal pengacara CEO itu hanya memberiku waktu seminggu." Temannya terdiam, tenggelam dalam pikirannya. Tapi setelah beberapa saat, dia berbicara. "Bagaimana jika kamu berbicara secara pribadi dengan bos kakakmu?" dia menyarankan. “Mungkin dia akan menunjukkan rasa kasihan padamu. Lagi pula, kakakmulah yang salah, bukan kamu.” "Bagaimana jika dia tidak mau mendengarku?" tanya Dana ragu. "Bagaimana kalau dia mendengarkan dan mengasihanimu? Tidak akan terjadi apa-apa kalau kamu tidak mencobanya, Dana. Dan kamu tidak akan rugi apa-apa kalau mencobanya. Setidaknya kamu sudah mencoba." Ya, temannya ada benarnya. Berbicara dengan si CEO adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalahnya. Tidak peduli dia bisa lakukan apa, bahkan jika Dana meminjam uang dari perusahaan pemberi pinjaman, dia tidak akan mampu membayar kembali satu juta dolar. Dana menghela nafas panjang. Dan dia memberi tahu temannya bahwa dia akan mengikuti saran temannya itu. "Kamu pasti bisa, Dana," temannya menyemangatinya. Dana hanya tersenyum. Ya, dia harus melakukannya. Dana mau tidak mau merasa cemas saat dia keluar dari taksi yang dinaikinya. Dia merasakan tangannya berkeringat saat dia melihat ke gedung David Empire. Dana pergi ke New York untuk berbicara dengan pemilik David Empire. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan masuk ke dalam gedung. Ia semakin merasa gugup saat masuk, apalagi dengan udara dingin yang menggigil di kulitnya. Meski memakai kardigan, dia tetap merasakan kedinginan. Dana terus berjalan hingga mencapai ruang tunggu. Dia memberi tahu resepsionis tujuannya dan dimintai kartu identitasnya, yang segera dia berikan. Setelah itu, dia berjalan menuju lift. Dia mempercepat langkahnya ketika dia melihat lift akan segera ditutup. Dia meletakkan tangannya di pintu untuk mencegahnya menutup sepenuhnya. Saat dia hendak memasuki lift, dia berhenti ketika dia melihat seorang pria di dalam. Dia menatap wajahnya dan memperhatikan bahwa pria itu mengerutkan kening. Namun, meskipun dia mengerutkan kening, Dana tidak dapat menyangkal bahwa pria itu tampan. Mulai dari alisnya yang tebal, hidungnya yang lurus, hingga bibirnya yang penuh. Matanya hitam pekat. Dia tinggi dan mengesankan. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan lengan digulung hingga siku. Dia juga bisa melihat rambut-rambut di lengan itu. Dia sangat sempurna, model dan aktor tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ketampanannya. Setelah beberapa saat, dia mengedipkan matanya saat pria itu berbicara. "Apakah kamu mau masuk lift atau tidak?" pria bertanya dengan suara bariton. "Oh... maaf," kata Dana sebelum masuk ke dalam lift. Dia diam-diam memarahi dirinya sendiri atas reaksinya. Dia tertegun hanya karena melihat seorang pria tampan. Sial, sungguh memalukan. Siapa yang tahu apa yang dipikirkan pria itu tentangnya. Dia memasuki lift, dan pintunya tertutup. Dia hendak menekan tombol ketika dia berhenti. Dia tidak tahu di lantai mana kantor pemilik berada. Dia belum bertanya pada resepsionis sebelumnya. Dia memarahi dirinya sendiri dalam hati, lalu mengumpulkan keberanian untuk berbalik dan melihat pria di belakangnya. Dana terkejut saat melihat pria itu masih memerhatikannya. Ekspresinya masih berkerut. "Hai," sapanya sambil sedikit mengangkat tangannya. "Euum, bolehkah saya bertanya? Di lantai berapa kantor pemilik gedung ini berada?" Dia bertanya, memperhatikan alis pria itu yang terangkat. Dia tidak menjawab, dia hanya menatapnya. "Halo?" Dana mencoba menyapa ketika pria tampan itu tidak menanggapi pertanyaannya. "Lantai 15," jawabnya singkat. Dana tersenyum manis. "Terima kasih," jawabnya sambil berbalik dan menekan tombol kantor Franco dari tempatnya berdiri. Dan dari posisinya, meski tanpa menoleh, dia masih bisa merasakan tatapan tajam dari pria itu. Sepertinya pria itu sedang mengulitinya. Dia melirik apa yang dia kenakan saat itu. Dia mengenakan jeans pas badan, atasan tanpa lengan berwarna putih, dan di atasnya dipadukan dengan kardigan abu-abu. Dia juga memakai sandal datar. Dia tidak bisa diam di tempatnya. Dia cemas karena lift yang dia naiki terus naik, dan berada di satu lift bersama pria tampan di belakangnya membuatnya semakin buruk. Jadi yang dilakukan Dana adalah mundur selangkah agar sedikit menyingkir dari pandangan si pria. Namun tanpa disengaja lengan mereka saling bersentuhan. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memandangnya ketika dia merasakan aliran listrik ke seluruh tubuhnya hanya dari sentuhan kulit mereka saja. Pria itu juga menoleh padanya. Dan berdasarkan ekspresi wajahnya, sepertinya dia merasakan apa yang juga dirasakan Dana. Dana mengalihkan pandangannya karena dia tidak bisa menahan tatapan yang diberikan pria itu padanya. Dia merasa seperti tenggelam dalam tatapannya, seolah akan memakan jiwanya. Dana menghela nafas lega ketika lift berhenti di lantai 15. Dan ketika pintu terbuka, dia segera keluar dari lift. Saat itulah dia menghembuskan nafas yang dia tahan dan sebelum lift ditutup, dia melirik ke arahnya dan menyadari bahwa pria itu masih menatapnya. Dia menghilang dari pandangannya ketika lift tertutup sepenuhnya. Dana secara naluriah meletakkan tangannya di d**a kirinya ketika dia merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia bahkan tidak lari untuk merasakan hal itu. Dia hanya menghela nafas panjang. Setelah itu, dia berjalan mencari ruangan kantor Franco. Ketika seorang wanita mendekatinya, dia berbicara dengannya. "Permisi," katanya. "Di mana kantor Tuan David?" dia bertanya. "Seluruh lantai 20 di bagian Accounting adalah Kantor Tuan Franco," jawab wanita itu. "Oh," dia hanya berkata setelah mendengar itu. Sepertinya pria yang dia ajak bicara tadi tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia mungkin tampan, tapi dia pembohong. Sebagian otaknya membela pria itu, mengatakan bahwa pria itu mungkin tidak tahu di mana kantor Franco berada. "Oke, terima kasih," jawabnya. Dana kembali menuju lift dan menekan tombol lantai 20. Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai di lantai 20 yang ingin ia tuju. Dia mendekati seorang wanita yang dia lihat di sana, yang sedang sibuk di depan komputernya. “Permisi, Nona.” Sapa Dana. "Ya Bu?" "Hmm... nama saya Dana. Bolehkah saya berbicara dengan Pak David?" dia bertanya. “Apakah Anda ada janji dengan dia, Bu?” dia bertanya balik. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tapi bisakah saya bicara dengannya?" "Maaf, Nona, tetapi Tuan Franco sedang sibuk saat ini. Ada seseorang yang sedang bertemu dengannya." "Bolehkah saya berbicara dengannya setelah dia selesai?" dia bersikeras. "Maaf Nona, tapi dia tidak bisa menemuimu jika tidak ada janji." "Begitukah?" ucap Dana, sepertinya dia tidak punya kesempatan untuk berbicara dengannya sekarang. "Tapi bolehkah saya membuat janji dengannya?" Dia mengangguk, memberikan keberaniannya. "Beri saja nama lengkapmu dan nomor kontakmu." Dana memberikan apa yang dia minta. Setelah dia menuliskannya, pintu kantor Franco terbuka. Matanya terbelalak saat melihat pria yang bersamanya di dalam lift tadi. Dia memperhatikan bahwa dia berhenti sebentar ketika dia melihat ke arahnya. Dia kemudian mengalihkan pandangannya dan menatap pria tua yang keluar dari pintu berikutnya. Berdasarkan sikap dan penampilan pria itu, sepertinya dia adalah Franco, orang yang ada di sana hari itu. Dia juga memperhatikan dari sudut matanya bahwa wanita yang dia ajak bicara tadi berdiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN