Bab 13. Tantangan Dari Johan

1244 Kata
“Disingkirkan. Tubuh Ellena bergetar ketika dia mendengar kata-kata tersebut. Entah mengapa kata-kata itu terdengar seperti sebuah ancaman yang sangat menakutkan bagi dia. Kalau hanya disingkirkan dari pekerjaannya alias dipecat, mungkin Ellena masih bisa mencari pekerjaan lain. Tapi kalau yang dimaksud oleh Lisa arti disingkirkan itu adalah menghilangkan nyawa, tentu saja ini merupakan sebuah beban untuk Ellena. Dia tidak mungkin meninggalkan ibu dan adiknya yang saat ini tengah sangat bergantung pada dirinya. Ellena sampai bergidik mendengar penuturan dari sahabatnya itu. “Kamu kenapa, Ell?” tanya Lisa yang melihat ekspresi wajah Ellena berubah. “Oh enggak kok, aku nggak apa-apa. Tapi emang bener ya Pak Sean itu orangnya sekejam itu?” tanya Ellena ingin tahu dan sekedar ingin memastikan bagaimana nasibnya jika nanti Sean menemukannya. “Dari kabar yang aku dengar sih kayak gitu. Tapi nggak tau juga ya ... soalnya kan bisa aja itu cuma gosip. Tapi setahu aku Pak Sean itu emang nggak main-main kalau dia udah dibikin kesel sama seseorang. Bisa jadi dia bakal bales orang itu lebih parah dari yang pernah orang itu lakukan ke Pak Sean.” Ellena yang dari tadi tidak banyak berkomentar dan memilih untuk mendengarkan cerita dari Lisa tentang Sean. Dia mulai bisa menilai kalau Sean adalah orang yang serius dan tidak main-main untuk memberikan hukuman pada orang yang membuat masalah dengan dirinya. Tapi yang diceritakan oleh Lisa saat ini hanyalah cerita bagaimana Sean memukul mundur semua pesaing bisnisnya, hingga kini pria itu bisa duduk di posisi yang cukup berpengaruh dalam dunia bisnis. Karena itu ada sedikit keraguan di hati Ellena, apakah Sean benar akan sekejam yang dia bayangkan pada dirinya nanti. “Eh Lis, setelah kamu dengerin percakapan Pak Sean sama Pak Bima hari itu, apa mereka masih ngebahas masalah itu lagi?” Ellena berusaha untuk mengorek informasi dari orang yang dekat dengan Sean. “Kayaknya enggak sih. Soalnya sampai sekarang aku juga nggak ngelihat tuh Pak Bima kayak ngelakuin penyelidikan gitu. Biasanya kan aku tahu tuh kalau Pak Bima lagi menyelidikin siapa gitu kan, tapi soal perempuan malam itu kayaknya nggak ada lagi.” “Kalau menurut aku nih ya, mungkin dia memang orang yang dibayar untuk menghancurin Pak Sean. Ya maksud aku ... dia p*****r bayaran gitu loh, buat ngejebak Pak Sean,” lanjut Lisa lagi. ‘p*****r? Apa aku udah seburuk itu,’ keluh Ellena dalam hati. “Oh iya sih. Bisa jadi kayak gitu. Di drama Korea juga sering kejadian yang kayak gitu kan. Eh Lis, tapi kalau ada sesuatu tentang kabar ini, bisa kan kamu bagi ceritanya ke aku?” pinta Ellena dengan ragu-ragu. “Eh, tumben nih tertarik sama gosip. Cie ... perhatian nih ye sama Pak Sean? Mentang-mentang Pak Sean idolanya, jadi nggak rela ya kalau Pak Sean kena gosip murahan,” ledek Lisa sambil memamerkan senyum lebarnya. “Nah tuh tahu. Soalnya gosip yang kayak gini nih yang seru.” Ellena mencari alasan. “Tapi ingat, berita ini nggak boleh bocor ke mana-mana ya. Kalau sampai bocor, aku bakal marah banget sama kamu,” tegas Lisa memberikan peringatan pada sahabatnya itu. “Beres, kayak nggak tahu aku aja.” Dua orang wanita itu kembali berbincang santai menceritakan apa pun yang ingin mereka bicarakan. Dua orang wanita jika sudah bertemu pasti kalau tidak bergosip, mereka pasti menceritakan tentang pria. Merasa jenuh hanya di kamar saja, Lisa mengajak Ellena untuk sekedar pergi keluar berjalan-jalan di mall. Ellena yang kepalanya tiba-tiba mendadak pusing setelah mendengar cerita dari Lisa tentang Sean, langsung menyetujui ajakan sahabatnya itu agar dia juga bisa melupakan tekanan yang baru saja dia terima tentang Sean. “Ell, cari jadwal nonton gih. Siapa tahu ada film bagus,” pinta Lisa sambil menyetir mobilnya menuju ke mall yang tidak jauh dari rumah kost Ellena. “Oke, bentar ya aku browsing dulu.” Ellena segera mengambil ponselnya lalu segera mencari informasi film apa yang sedang diputar di bioskop hari ini. Dia segera memberi tahu Lisa, daftar film yang di putar di sana. Merasa tidak bertemu dengan film yang cocok, kedua wanita itu mengurungkan niat mereka untuk datang ke studio film. Sepertinya mereka hari ini akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan santai atau sedikit nongkrong di cafe mencari pemandangan baru selain dunia kerja. Merasa tidak ada yang ingin dibeli, dua orang wanita gabut itu pun memutuskan hanya untuk berkeliling sambil mengomentari barang-barang yang dipajang di etalase toko yang mereka lewati. Siapa tahu nanti akan ada barang yang mereka suka, maka mereka akan membelinya. “Eh, sepatunya cantik ya,” ucap Ellena yang kini berhenti di depan sebuah toko dengan brand mahal. Lisa sedikit melongok untuk mengintip label harga yang tertulis di sana, “Sepatunya bagus, harganya juga wow banget tuh,” ucap Lisa yang juga merasa harga sepatu itu terlalu mahal untuk dia. “Namanya juga brand bagus. Kita cari yang tembakan aja yuk,” ajak Ellena sambil tersenyum lebar pada sahabatnya itu. “Cari tembakan apa?” celetuk seseorang dari arah belakang dua orang wanita itu. Spontan saja Ellena dan Lisa langsung menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa orang yang berdiri di belakang mereka. Dua orang wanita itu kaget ketika mereka melihat ada Johan, berdiri sambil tersenyum menyapa ke arah dua orang bawahannya itu. “Pak Johan, kok Bapak ada di sini?” tanya Lisa yang tidak menyangka akan bertemu dengan Johan. “Lagi mau nyari kado buat adik sepupu. Kalian berdua ngapain cuma berdiri di sini?” tanya Johan balik. “Cuma lihat doang Pak, masuk juga percuma. Nggak akan bisa beli, sayang ama gaji kita. Iya nggak, Lis,” sahut Ellena meminta persetujuan dari Lisa. “Bener banget. Harga sepatunya hampir sama kayak sebulan gaji, Pak. Mending beli yang lain ya.” Johan tertawa mendengar ucapan dari dua orang wanita di depannya itu, “Gini aja. Kebetulan aku lagi cari kado buat adik sepupu aku yang masih SMA. Kalau kalian berhasil nemuin barang yang unik buat adik aku, maka sepatu itu bakal jadi milik salah satu dari kalian.” Johan memberikan tantangan pada dua orang wanita itu. “Seriusan, Pak? Itu mahal banget loh,” Lisa tergiur dengar tawaran dari Johan. “Iya beneran. Gimana ... kalian mau nggak?” “Mau banget lah. Iya kan, Ell?” Lisa menyenggol lengan Ellena. “Iyalah, siapa juga yang nggak mau dapat sepatu gratis. Terus hadiah kayak apa Pak yang diinginkan sama adik Bapak?” tanya Ellena. Johan pun segera menceritakan bagaimana karakter dari adiknya itu. Dia ingin memberikan tunjuk pada dua orang wanita yang ditantangnya itu agar bisa mencari barang yang cocok untuk dia berikan pada adiknya. “Udah paham kan sekarang?” Johan ingin memastikan pada dua orang wanita itu. “Paham, Pak! Saya bahkan udah punya pilihan buat dikasih ke adik, Bapak,” ucap Lisa dengan sangat bersemangat. “Oke, kalau gitu saya kasih kalian waktu 30 menit untuk cari barang itu dan saya tunggu kalian di cafe sana ya. Pakai uang kalian dulu, nanti saya ganti.” “Oke deh! Yuk Ell, kita jalan.” Lisa dan Ellena memilih untuk berpisah jalan. Mereka ingin memilih barang yang sesuai dengan pikiran mereka masing-masing tanpa diketahui oleh pesaingnya. Johan tersenyum lebar melihat semangat dari dua orang wanita rekan kerjanya itu. Dia pun segera menuju ke arah Cafe tempat dia akan menunggu para wanita itu menyerahkan barang pilihan mereka. Ellena masih berjalan di koridor Mall itu untuk mencari toko yang dia incar. Ellena melihat toko itu dari kejauhan dan segera melangkahkan kaki ke sana. “Yes! Akhirnya dapet juga. Moga aku bisa dapet sepatu itu,” ucap Ellena dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN