“Pak Johan, saya telat ya?” tanya Ellena ketika dia baru sampai di Cafe dan sudah melihat Lisa duduk di depan Johan.
“Enggak kok, nggak apa-apa. Minum dulu Ell, kayaknya kamu capek banget habis lari-larian.” Johan menuangkan air ke dalam gelas minum dan dia sodorkan pada Ellena.
“Makasih, Pak,” ucap Ellena sambil meletakkan paper bag belanjaannya, lalu segera menegak habis air yang disuguhkan oleh Johan.
Lisa melihat ke arah paper bag milik Ellena yang ada di atas meja, “Waduh! Curiga kita beliin barang yang sama nih, tapi lain toko,” celetuk Lisa.
“Emang kamu beli apa, Lis?” tanya Johan.
Lisa meletakkan paper bag belanjaannya di atas meja, headset, “Senjata untuk para introvert yang malas keluar rumah,” jawab Lisa sambil menyodorkan barang belanjaannya.
“Eh, seriusan kamu juga beli headset?” Ellena kaget dengan pilihan barang yang dibeli oleh sahabatnya.
“Iya. Dan kalau boleh nebak, pasti kamu juga beli barang yang sama kan?”
“Beneran Ell, kamu juga beli headset?” Johan ingin memastikan.
“Iya. Saya juga beli headset. Wah kok bisa sama gini ya. Terus nentuin siapa yang menang gimana dong, Pak?” tanya Ellena yang sudah memimpikan memakai sepatu mahal itu kantor.
“Hahaha ... gila ya kalian. Kok bisa sih punya pikiran yang sama. Kalian nggak janjian kan?” Johan tertawa melihat keanehan pada dua orang wanita yang ada di depannya itu.
“Enggak kok Pak, kami nggak janjian. Tapi kayaknya isi pikiran kami sama. Sama-sama pengen hadiah,” celetuk Lisa ikut tertawa.
“Kamu juga mau hadiah, Ell?” tanya Johan.
“Ya mau lah, Pak. Dapat hadiah mahal, bego aja kalau nolak,” jawab Ellena.
“Oke oke, karena kalian beli barang yang sama ... jadi saya anggap kalian berdua pemenangnya. Entar biar salah satunya saya yang pakai. Sebenarnya tadi saya juga mikir bakal beliin headset juga sih, tapi belum sempat ke beli aja. Kalau gitu, sekarang kita makan dulu ... baru habis itu saya penuhi janji saya buat kasih kalian hadiah ya.”
“Jadi kita semua dapat nih, Pak?” tanya Ellena dengan mata berbinar.
Johan menganggukkan kepalanya, “Iya, kalian semua dapat. Bukan hanya karena hadiahnya, tapi saya kagum kalian punya telepati yang kuat.”
“Wah Ell, gak rugi tadi kita jalan,” sahut Lisa yang juga kegirangan.
Johan segera memanggil seorang pelayan Cafe, karena kini dia sudah siap untuk memesan. Pria itu membebaskan dua orang tamu cantiknya untuk memilih makanan apa saja yang ingin mereka santap sore ini.
Ellena dan Lisa segera memesan makanan sesuai dengan keinginan mereka hari ini. Mereka berdua sangat berterima kasih pada Johan yang seperti sebuah berkat di akhir bulan.
“Wah ... makasih banget ya Pak atas traktirannya,” ucap Ellena sambil menerima makanannya yang disodorkan oleh pelayan Cafe.
“Sama-sama. Jangan sungkan kalau mau pesan lagi ya, saya tahu kok kondisi dompet kalian kalau akhir bulan ini,” ledek Johan sambil terkekeh.
“Jangan terlalu jujur kenapa, Pak,” sahut Lisa yang juga ikut tertawa.
Ketiga orang itu segera menikmati hidangan mereka masing-masing. Sesekali terdengar obrolan di meja itu untuk membuat suasana tidak terlalu canggung.
Selama ini Johan memang diketahui oleh banyak orang sedang menaruh hati pada Ellena. Namun jarang sekali dia berhasil membawa Ellena pergi makan bersamanya seperti hari ini.
“Pak Johan, bener ya katanya Pak Johan ini teman baiknya Pak Sean?” tanya Lisa.
“Nggak sampai jadi teman baik sih, tapi dulu kami pernah kuliah bareng,” jawab Johan.
“Oh, gitu. Kirain Pak Johan itu sahabatan sama Pak Sean,” sahut Ellena.
Enggak kok, cuma temen biasa aja. Dulu memang sempat akrab, tapi sejak dia pindah ke Amerika, kami udah nggak komunikasi lagi.”
“Eh Pak, dengar-dengar katanya hubungan Bapak sama Pak Sean jadi nggak baik itu gara-gara Bapak rebut pacarnya Pak Sean ya?” tanya Lisa.
Johan melihat ke arah Lisa, “Dapat dari mana kabar kayak gitu?” tanya Johan sedikit serius.
“Ya dengar aja sih, Pak. Kabarnya kayak gitu yang beredar, soalnya kadang-kadang Pak Sean sama Pak Johan itu kayak orang yang musuhan ... tapi kadang juga kompak.”
Johan tidak menjawab pertanyaan dari Lisa. Dia hanya melempar senyum pada wanita itu lalu kembali menikmati makanannya.
Tampaknya kabar tentang perseteruan antara Johan dan Sean di masa lalu sudah menjadi santapan umum di perusahaan. Tapi Johan sendiri tidak tahu apakah gosip itu akan berdampak baik untuk dia atau justru akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
“Pak, kok gak dijawab sih. Bener apa nggak tuh?” Lisa kembali bertanya karena dia masih penasaran.
“Ih kamu ini, kalau kepo kok pengennya cepat dapat Konfirmasi aja. Lagian ini kan masalah pribadinya Pak Johan sama Pak Sean, nggak usah terlalu kepo lah ama urusan orang.” Ellena memperingatkan Lisa karena dia sendiri juga merasa tidak enak pada Johan.
“Sebenarnya bener sih apa yang dibilang sama Ellena. Nggak enak aja nanti kalau banyak yang denger tentang cerita itu, padahal kan itu udah lama banget dan saya aja udah hampir lupa. Tapi yang pasti, saya nggak ngerebut pacarnya Sean. Tapi kebetulan aja kita naksir orang yang sama dan cewek itu milih saya. Udah gitu aja.” Johan memberikan sedikit penjelasan untuk tetap menjaga nama baik dia dan sayang.
“Alasan Pak Johan yang dipilih sama cewek itu apa, Pak? Apa karena Pak Sean udah jutek dari dulu ya.” Lisa masih tetap memberondong Johan agar bercerita.
Johan tersenyum lebar pada Lisa, “Udah cepet habisin makanan kalian. Habis itu saya penuhi janji saya, terus saya harus pergi. Soalnya masih ada janji lain.” Johan menyudahi pembahasan tentang masa lalunya.
Ellena dan Lisa segera menghabiskan makanan mereka sampai tandas. Lumayan, makanan ini cukup banyak, sehingga nanti malam mereka tidak perlu lagi mencari makan malam di kos mereka masing-masing.
Setelah selesai makan dan membayar semua tagihan, Johan segera mengajak dua orang wanita itu menuju ke toko tempat tadi Ellena melihat sepatu yang dia inginkan. Sesuai janji, Johan membelikan Ellena sepatu dengan harga mahal namun Lisa lebih memilih untuk membeli tas saja yang tentu saja harganya sedikit mahal dari sepatu milik Ellena.
“Ell, kamu beneran nggak mau tas juga?” tanya Johan pada Ellena.
“Nggak Pak, saya mau sepatu aja,” jawab Ellena menolak pemberian Johan.
“Ell, terima aja ... tasnya bagus-bagus dan mahal-mahal. Kapan lagi kita bisa belanja gratisan di toko branded kayak gini,” bisik Lisa sedikit mengompori Ellena.
“Issh!” Ellena menyikut lengan Lisa.
“Ya udah kalau kamu nggak mau, kalau gitu saya pergi duluan ya. Makasih ya, udah dibantuin nyari kado. Kalian nanti pulangnya hati-hati, jangan malam-malam,” pesan Johan sebelum dia meninggalkan Ellena dan Lisa.
Ketiga orang itu pun berpisah jalan. Johan langsung pergi meninggalkan Mall sedangkan Ellena dan Lisa masih ingin mampir ke toko roti untuk mereka bawa pulang. Setelah mendapatkan semua barang yang mereka butuhkan, Lisa segera mengantar Ellena kembali ke rumah kosnya.
“Ell, baju yang kamu rendam tadi aku bawa ya,” ucap Lisa setelah dia memarkir mobilnya di depan kamar kos Ellena.
“Oh gitu, ya udah ... ntar aku ambilin plastik,” jawab Ellena sambil melepas sabuk pengamannya.
“Mbak Ellena, ada paket nih,” panggil ibu penjaga kos saat dia melihat Ellena turut dari mobil lisa.
“Iya Bu, bentar,” sahut Ellena.
“Lisa, kamu ambil sendiri ya bajunya, ini kuncinya. Aku ambil paketku dulu di rumah ibu,” ucap Ellena sambil mengulurkan kunci kamarnya.
“Ok!”
Lisa yang sudah biasa main ke kamar kos Ellena, sudah mengerti di mana sahabatnya itu biasa menyimpan barang-barangnya. Oleh sebab itu Lisa langsung menuju ke tempat penyimpanan barang yang dia cari.
“Eh iya lupa, kan aku tadi ke sini mau pinjem blus putihnya Ellena. Aku cari sendiri aja lah,” ucap Lisa yang baru ingat tentang tujuannya datang ke kosan Ellena.
Lisa segera membuka lemari pakaian Ellena untuk mencari blus yang dia ingin pinjam. Dia menyibak-nyibakkan secara perlahan pakaian yang ada di gantungan. Tangan Lisa berhenti bergerak ketika dia melihat ada satu benda yang cukup menarik perhatiannya.
“Loh, ini kan ....” Lisa sambil melihat ke arah pintu kamar Ellena.
“Apa orang itu Ellena?”