Dua minggu di Blackwell Corp telah mengubah segalanya, meski perubahannya baru terasa di bawah permukaan. Bagi Ethan Blackwell, Lily Rosemont bukan lagi sekadar sekretaris baru; dia adalah ritme yang tenang di tengah kekacauan hidupnya. Ethan kini tahu jadwalnya tidak akan kacau, kopi paginya akan sempurna, dan yang paling penting, di kantor, ia dikelilingi oleh kejujuran yang tulus dari seorang gadis polos, kontras dengan kepalsuan di rumah.
Namun, kepuasan profesional itu tidak bisa menutupi kekosongan. Ethan semakin sengaja menunda kepulangannya. Dia selalu punya alasan untuk rapat mendadak atau peninjauan berkas hingga larut malam. Alasan sebenarnya: dia lebih memilih ditemani keheningan produktif Lily daripada keramaian glamour Victoria yang dingin.
Suatu sore, saat mereka berdua tenggelam dalam meninjau laporan keuangan quarter sebelumnya, Lily memberanikan diri.
"Tuan Blackwell," kata Lily, suaranya pelan. "Bolehkah saya meminta sesuatu yang sedikit ... non-formal?"
Ethan mendongak dari tabletnya. Alisnya yang tegas terangkat sedikit. "Apa itu, Nona Rosemont?"
"Mengenai panggilan nama," ujar Lily, wajahnya sedikit merona. "Saya tahu ini mungkin terdengar tidak profesional, tapi saya merasa sedikit canggung setiap Anda memanggil 'Nona Rosemont'. Bolehkah Anda memanggil saya Lily saja? Semua orang di departemen lain memanggil saya seperti itu."
Ethan mencondongkan tubuh sedikit, senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di sudut bibirnya. Dia menikmati rasa canggung Lily.
"Lily," ulang Ethan, suaranya yang dalam melafalkan nama itu. "Kedengarannya ... bagus."
Lily menghela napas lega. "Terima kasih, Tuan Blackwell."
"Tunggu dulu," sela Ethan, meletakkan tablet-nya sepenuhnya. "Jika kita sepakat untuk menghapus formalitas, maka itu harus berlaku untuk keduanya. Jangan panggil saya Tuan Blackwell. Panggil saya Ethan."
Lily segera menggeleng, kepolosannya kembali. "Oh, tidak bisa, Tuan. Anda adalah atasan saya, CEO. Saya tidak akan pernah bisa memanggil Anda dengan nama depan saja. Itu melanggar batas profesionalitas dan hierarki kantor."
"Batasan," gumam Ethan, kata yang terdengar asing di telinganya. "Baiklah, kita kompromi. Bagaimana kalau Tuan Ethan? Kedengarannya masih menghormati, tapi sedikit lebih personal."
Lily mempertimbangkan sebentar. "Baiklah, Tuan Ethan. Saya setuju."
Ethan tersenyum puas. Dia berhasil mengurangi satu lapisan formalitas. Kemudian, dia menggodanya, memajukan wajahnya sedikit, tatapan abu-abunya menusuk mata hijau Lily.
"Tapi mungkin," bisik Ethan, suaranya lebih rendah, "ketika kita hanya berdua, di luar jam kantor, di tempat yang tidak dilihat orang, kita bisa mencoba nama saja. Ethan. Lily."
Lily segera menarik diri, pipinya memerah total. Dia tertawa canggung, menganggapnya sebagai lelucon atau godaan boss yang charming. "Anda suka bercanda, Tuan Ethan. Fokus pada laporan ini saja," balas Lily, dengan cepat mengalihkan perhatian kembali ke berkas.
Ethan membiarkannya. Dia tahu bahwa batasan Lily itu rapuh. Dia hanya menanam benih, menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkannya.
Momen-momen godaan halus itu segera terputus oleh realitas yang kejam. Pukul lima sore, Ethan memanggil kepala keamanannya, Tuan Jaya, ke kantornya. Lily, setelah mendapat instruksi, segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu.
Ethan duduk di kursi singgasananya, menunggu laporan yang ia minta seminggu lalu—laporan aktivitas Victoria setelah pertengkaran ranjang terakhir mereka. Ethan tidak mencari bukti perselingkuhan, ia hanya mencari bukti kelalaian Vicky terhadap pernikahan, senjata untuk perceraian.
Tuan Jaya, mantan kepala intelijen yang sangat cakap, menyerahkan flash drive dan beberapa cetakan foto buram. "Laporan sudah siap, Tuan. Ini lebih dari yang Anda minta."
"Lanjutkan," perintah Ethan, suaranya datar, tetapi ada ketegangan baja di rahangnya.
Tuan Jaya memulai dengan ringkasan padat: "Nyonya Blackwell memberitahu Anda ia pergi ke charity retreat di Bali. Sebenarnya, ia check in di vila pribadi Mandapa di Ubud, selama tiga hari. Bukan untuk retreat kesehatan. Dia ditemani oleh seorang pria."
Darah Ethan terasa dingin. Dia meraih cetakan foto itu. Foto-foto itu buram, dicetak dari kamera jarak jauh, tetapi gambar itu tidak bisa disangkal. Vicky, tanpa makeup glamornya yang tebal, tampak tertawa lepas di pelukan pria lain—tawa yang tidak pernah ia tunjukkan kepada Ethan. Mereka terlihat santai, intim, dan tanpa beban. Pria itu, yang kemudian diidentifikasi Tuan Jaya sebagai Adriel Surya, seorang influencer finansial dan klien lama Blackwell Properties.
"Bukti check-in bersama dan detail komunikasi mereka," lanjut Tuan Jaya, menunjuk ke flash drive. "Sudah saya amankan, Tuan."
Ethan menatap foto itu lama sekali. Kemarahan awalnya cepat surut, digantikan oleh gelombang kelegaan yang dingin dan kemenangan strategis.
"Jadi, dia yang melanggar kontrak lebih dulu. Dia yang menjual namanya untuk gairah rendahan. Dia berani menuduhku mencari 'partner yang sesuai' dan menjaga 'citra', padahal dia sendiri sudah mengkhianati nama Blackwell. Dia telah memberikan pembenaran mutlak padaku."
Pengkhianatan Victoria bukan hanya tentang ranjang; ini tentang pengkhianatan terhadap kontrak dan penghinaan terhadap harga diri Ethan. Vicky berani menuduhnya dan mengancamnya dengan status, padahal dia sendiri telah merusak pondasi pernikahan bisnis mereka.
Ethan mengambil napas dalam, meredakan ketenangan di permukaan. "Terima kasih, Jaya. Jaga kerahasiaan ini. Anggap berkas ini tidak pernah ada. Kita akan menggunakannya di waktu yang tepat."
Tuan Jaya keluar. Ethan menyandarkan kepalanya ke kursi. Dia menutup mata sejenak. Ketika dia membukanya, dia melihat ke arah pintu kaca, di mana Lily sedang sibuk menyusun tumpukan file.
Ethan melihat Victoria di foto: beracun, materialistis, dan pengkhianat. Kemudian dia melihat Lily: polos, jujur, dan loyal. Kontrasnya begitu brutal. Victoria telah menolak dan menghinanya; Lily hanya memberinya kehangatan. Victoria telah memberinya izin untuk berselingkuh; kini Victoria telah memberinya pembenaran moral untuk melakukannya.
"Aku tidak berhutang apa-apa lagi pada Victoria. Sekarang, aku hanya berhutang pada diriku sendiri untuk mencari kebahagiaan yang nyata."
Kebutuhan Ethan, yang tadinya hanya didorong oleh kebutuhan biologis dan pelarian emosional, kini dibenarkan oleh pengkhianatan istrinya. Obsesinya pada Lily berubah dari godaan terlarang menjadi misi yang harus ia tuntaskan.
"Lily," panggil Ethan, menggunakan nama yang baru ia sepakati.
Lily segera masuk. "Ya, Tuan Ethan?"
"Batalkan semua janji saya malam ini. Dan besok. Saya ingin Anda tinggal malam ini. Kita harus meninjau ulang due diligence klien properti yang sangat mendesak," perintah Ethan, nadanya kembali sebagai CEO, tetapi matanya penuh hasrat yang tersembunyi.
Lily terlihat sedikit terkejut dengan mendadaknya perintah itu, tapi profesionalitasnya segera mengambil alih. "Baik, Tuan Ethan. Saya akan segera menghubungi tim untuk pembatalan."
Ethan hanya mengangguk, mengawasinya kembali ke mejanya. Ethan tahu alasan sebenarnya: dia tidak bisa menghabiskan malam ini sendirian, ditemani oleh foto pengkhianatan Victoria. Dia butuh kebenaran Lily untuk menyembuhkan lukanya.
Malam telah turun di Jakarta, dan di balik kaca Blackwell Corp, seorang CEO yang terluka dan dibenarkan oleh pengkhianatan istrinya, telah memutuskan untuk mengejar seorang gadis polos yang menjadi satu-satunya sumber kehangatan. Batasan profesional Lily tidak akan bertahan lebih lama lagi.