Sentuhan yang Menghancurkan Batasan.

1092 Kata
​Malam itu, setelah Ethan membatalkan semua janji, suasana di lantai eksekutif Blackwell Corp terasa lebih sunyi dan intens dari biasanya. Lily tetap tinggal, menyelesaikan semua instruksi Ethan dengan kecepatan kilat, tetapi ia merasakan ketegangan aneh dari atasan barunya. Tatapan Ethan kini lebih sering tertuju padanya, lebih lama, dan lebih dalam dari sekadar pengawasan profesional. ​Pukul 22.00, Ethan akhirnya mengakhiri sesi peninjauan berkas. ​"Kerja bagus, Lily," puji Ethan, menggunakan nama depan yang kini terasa begitu personal di antara mereka. Dia berdiri, aura kekuasaan yang biasanya dingin kini terasa membara. "Ini sudah larut. Saya akan mengantarmu pulang." ​Lily terkejut. "Tidak perlu, Tuan Ethan. Saya bisa memesan taksi online," tolak Lily, merasa tidak nyaman dengan gagasan menghabiskan waktu lebih lama lagi di luar kantor dengan Ethan, apalagi setelah melihat intensitas tatapan pria itu. ​"Tidak ada bantahan," perintah Ethan, nadanya kembali sebagai CEO yang dominan. "Sudah larut malam, dan ini Jakarta. Pengemudi pribadi saya sudah saya istirahatkan. Saya akan menyetir sendiri. Ini bukan permintaan, Lily. Ini adalah perintah keamanan. Saya tidak ingin ada insiden yang mengganggu efisiensi sekretaris terbaik saya." ​Lily tahu ia tidak bisa melawan perintah CEO. Dia menghela napas, meraih tas kerjanya, dan mengikuti Ethan menuju lift eksklusif yang hanya melayani lantai eksekutif. ​Lift itu berlapis perunggu dan marmer, mencerminkan kemewahan Blackwell Corp. Ethan menekan tombol untuk lantai dasar, dan lift mulai bergerak turun dengan mulus. Keheningan di dalam kotak baja itu terasa tegang, dipenuhi oleh aroma cologne mahal Ethan dan aroma sabun Lily yang sederhana. ​Lily berdiri di sudut, berusaha menjaga jarak yang profesional, sementara Ethan berdiri di tengah, tatapannya terarah ke angka lantai yang terus menurun. ​Tepat saat lift melewati lantai 40, sebuah suara gemuruh keras tiba-tiba terdengar dari bawah tanah. ​Seketika, seluruh gedung Blackwel Corp tenggelam dalam kegelapan total. ​Lampu lift segera mati. Listrik cadangan darurat seharusnya langsung menyala, tetapi ada keterlambatan yang signifikan. Lift itu berhenti mendadak, menyebabkan mereka berdua sedikit terhuyung. Alarm darurat kecil berbunyi dengan suara lemah. ​Kegelapan yang pekat dan mendadak itu menghantam Lily dengan kekuatan brutal. Lily memiliki phobia terhadap kegelapan yang ekstrem—trauma masa kecil yang selalu ia sembunyikan. ​Napas Lily segera tersengal. Jantungnya berdebar kencang di balik setelan kerjanya. Dia tidak bisa melihat apa-apa, bahkan bayangan Ethan di sebelahnya. Ruang sempit yang gelap itu terasa mencekik. ​"Tidak ... tidak," desah Lily, suaranya gemetar. ​Ethan segera menyadari ada yang salah. Dia mendengar suara napas Lily yang tidak teratur. ​"Lily? Ada apa?" tanya Ethan, suaranya cepat, berusaha menemukan Lily dalam gelap. ​Lily tidak bisa menjawab. Dia tidak bisa bernapas. Seluruh tubuhnya diliputi kepanikan. Dia hanya butuh titik fokus, sesuatu yang solid untuk membawanya kembali ke kenyataan. ​Secara naluriah, didorong oleh keputusasaan dan rasa takut yang mendalam, Lily melompat ke depan, memeluk apa pun yang ia temukan. Dan yang ia temukan adalah tubuh Ethan yang kuat. ​Pelukan Lily erat, mendesak, dan penuh ketakutan. Wajahnya menempel di d**a Ethan. Tubuhnya yang mungil gemetar hebat. ​Ethan terkejut. Sentuhan itu, pelukan yang datang dari kepanikan murni, mematikan semua profesionalisme dan d******i CEO-nya. Ia merasakan tubuh Lily yang gemetar, mendengar napasnya yang putus-putus. ​"Ssttt ... tenang, Lily. Saya di sini. Ada saya," bisik Ethan, suaranya segera melembut menjadi nada yang menenangkan, nada yang mungkin tidak pernah ia gunakan sejak masa kecil. ​Ethan membalas pelukan Lily. Tangannya bergerak mengelus punggung Lily dengan lembut, melindungi. Pelukan itu seharusnya hanya menenangkan, tetapi sensasi tubuh Lily yang gemetar di lengannya, gairah yang terpendam, dan kerentanan Lily yang tiba-tiba membangkitkan hasrat Ethan dengan cepat. ​"Dia takut. Dia membutuhkan perlindungan. Aku harus melindunginya. Tapi ... Tuhan, dia sangat rapuh di pelukanku," monolog Ethan dalam hati. ​Mereka berdiri di kegelapan pekat itu selama beberapa menit yang terasa seperti keabadian. Lily menyerap kekuatan dan kehangatan dari tubuh Ethan, sementara Ethan menikmati sentuhan yang secara paksa telah menghancurkan semua batasan yang dipasang Lily. ​Waktu terasa berhenti. Dalam kegelapan itu, tidak ada CEO dan sekretaris. Hanya ada seorang pria yang penuh hasrat terpendam dan seorang wanita yang ketakutan mencari perlindungan. Aroma Lily, yang kini tercampur dengan keringat ketakutan, terasa memabukkan bagi Ethan. ​Tiba-tiba, dengan suara gemuruh yang kali ini diikuti oleh bunyi klik keras, lampu darurat di lift menyala dan lift mulai bergerak lagi. Genset cadangan gedung sudah bekerja. ​Cahaya kuning redup memenuhi lift. ​Lily segera menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Ia memeluk atasan, suami orang, di tengah lift yang gelap, didorong oleh phobia-nya. ​Lily melepaskan pelukannya dengan cepat, seolah tersengat listrik. Dia melangkah mundur, wajahnya memerah karena malu, bukan hanya karena ketakutan. ​"Maafkan saya, Tuan Ethan! Saya ... saya phobia gelap. Saya panik. Saya benar-benar minta maaf atas ketidaksopanan ini," ujar Lily, suaranya masih sedikit bergetar, tetapi kini dipenuhi rasa canggung yang luar biasa. ​Ethan, yang harus menahan hasratnya yang tiba-tiba membuncah, kembali memasang topeng CEO-nya, tetapi ada kelembutan yang tersisa di matanya. ​"Tidak masalah, Lily," jawab Ethan, menyentuh bahu Lily sekilas—sentuhan singkat yang tegas dan posesif. "Itu adalah reaksi naluriah. Saya mengerti." ​Lift mencapai lantai dasar, dan pintu terbuka. Di luar, sudah ada tim keamanan dan teknisi yang berdiri dengan wajah panik. ​"Tuan Blackwell! Kami mohon maaf! Ada kerusakan minor pada transfer switch genset cadangan! Ini tidak akan terjadi lagi," ujar Kepala Keamanan dengan nada panik, membungkuk dalam-dalam. ​"Perbaiki. Malam ini juga," perintah Ethan dingin, suaranya kembali sebagai CEO yang kejam, mengabaikan permohonan maaf mereka. ​Ethan meraih lengan Lily. "Kita pergi. Saya tidak akan mengizinkanmu pulang sendirian setelah apa yang terjadi." ​Lily, yang masih shock dari kombinasi ketakutan dan sentuhan Ethan, tidak mampu melawan. ​Ethan membawa Lily ke tempat parkir pribadi. Dia membuka pintu Range Rover hitamnya. Dia memilih menyetir sendiri, seperti yang ia katakan, agar mereka mendapatkan privasi penuh. ​Saat mereka melaju di jalanan Jakarta yang sepi, Ethan melirik Lily yang duduk diam, memandang ke luar jendela. ​"Aku merasakan detak jantungnya. Aku merasakan tubuhnya yang rapuh di pelukanku. Vicky memberiku izin. Vicky memberiku pembenaran. Dan kini, takdir telah memberiku kesempatan." ​Ethan tahu, pelukan singkat di lift yang gelap itu adalah pelanggaran batasan yang tidak bisa ditarik kembali. Ethan kini memiliki senjata lain: pengetahuan tentang kelemahan Lily dan kebutuhan Lily akan perlindungannya. ​Dia memutar setir, membawa mereka lebih dekat, menuju ke apartemen Lily. Malam itu, Ethan tidak akan hanya mengantar Lily pulang. Dia akan menguji seberapa kuat batasan yang tersisa dari gadis polos itu. Hasrat yang terpendam, didorong oleh pengkhianatan istrinya dan kini diperkuat oleh sentuhan naluriah Lily, telah mencapai titik didih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN