Senja di Balik Jendela.

1046 Kata
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Ethan merasa ada sesuatu yang menggerakkan dirinya. Hari itu berlanjut dengan jadwal padat: negosiasi kontrak, presentasi strategi, dan diskusi anggaran. Lily mengikuti setiap langkah, menulis cepat, mencoba menangkap ritme dunia yang terasa terlalu cepat. Kadang ia tertinggal, kadang ia salah menulis, tapi setiap kali itu terjadi, ia menatap Ethan—dan entah bagaimana, tatapan pria itu memberinya kekuatan untuk tidak menyerah. Ketika sore tiba, dan rapat besar terakhir selesai, Lily duduk di kursinya, bahu terasa pegal, tangan pegal karena terlalu lama menulis. Tapi ada senyum kecil di bibirnya. Ia selamat. Ia melewati hari pertamanya di pusat badai kekuasaan ini. Ethan berjalan melewati kursinya, berhenti sebentar. “Besok jam delapan pagi. Jangan terlambat.” Nada datar, tapi bagi Lily, itu terdengar seperti pengakuan bahwa ia cukup layak untuk kembali. Ia menunduk sopan. “Ya, Tuan.” Dan saat Ethan melangkah pergi, Lily menatap punggungnya yang tegap, hitam melawan cahaya sore yang masuk lewat dinding kaca. Dalam hati, ia berbisik: Dunia ini keras. Tapi mungkin … aku bisa bertahan. *** Kantor sudah kosong. Suara langkah, dering telepon, dan bisik-bisik rapat yang biasanya memenuhi lantai itu kini lenyap, digantikan hanya oleh desiran pendingin ruangan dan detak jam dinding yang stabil. Ethan masih duduk di kursinya, bahu tegapnya sedikit merosot setelah seharian menghadapi rapat tanpa henti. Presentasi, data keuangan, laporan investor—semuanya menumpuk, menuntut fokus penuh. Namun di antara semua tekanan itu, ada satu hal yang masih menyisakan jejak dalam pikirannya: cara Lily menatap layar laptop dengan alis berkerut, menulis catatan rapat dengan kecepatan yang mengejutkan, lalu menatapnya sesekali untuk memastikan ia mengikuti arahan dengan benar. Ia menoleh. Di ujung meja panjang, Lily masih sibuk merapikan berkas, menyusunnya dengan ketelitian seorang pemula yang takut salah. Blus putih satin yang ia kenakan terlihat lembut diterpa cahaya senja dari balik kaca tinggi. Gerakannya canggung, tapi ada ketulusan yang jarang Ethan temukan dalam orang-orang yang bekerja di dekatnya. “Kamu terburu-buru sekali, Lily.” Suara baritonnya terdengar santai, nyaris bergema di ruangan yang terlalu besar untuk hanya dua orang. Lily tersentak, menoleh cepat. Matanya melebar sesaat, lalu ia buru-buru menunduk. “Saya pikir pertemuannya sudah selesai, Tuan—” “Ethan.” Ia memotong dengan nada lembut tapi tegas. Lily terdiam, wajahnya menyiratkan ragu. Di antara mereka ada garis tipis yang tak boleh dilanggar: atasan dan bawahan. Namun cara Ethan menyebutkan namanya—tenang, nyaris personal—terdengar seperti undangan untuk mendekat, bukan sekadar basa-basi. “Baiklah … Ethan,” akhirnya Lily mengucap, suaranya pelan, seakan takut salah langkah. Ethan memperhatikan ekspresinya dengan senyum samar. Ada sesuatu yang menggelitik di dadanya setiap kali gadis itu menunduk untuk menjaga jarak, tapi tetap tak bisa menyembunyikan getaran yang nyata di matanya. Hening menguasai ruangan. Hanya suara detik jam yang terdengar, teratur namun menekan. Ethan bangkit perlahan, gerakannya tenang, lalu melangkah ke arah jendela besar yang menghadap kota. Dari sana, ia bisa melihat cahaya senja yang mulai meredup, berganti lampu-lampu gedung yang satu per satu menyala seperti bintang buatan manusia. “Kamu tahu, Lily,” ucapnya tanpa menoleh, “dunia ini bergerak cepat. Pertemuan bisnis, angka-angka, target. Kadang aku lupa untuk melihat hal sesederhana ini.” Jemarinya terangkat sedikit, menunjuk ke arah langit jingga yang terpantul di kaca. Langkah Lily terdengar ragu, tapi akhirnya ia berdiri di sampingnya. Ia mengikuti arah pandang Ethan, dan sesaat, wajahnya melunak. Senja itu memang indah—kota yang biasanya tampak keras tiba-tiba terlihat seperti lukisan yang tenang, namun sekaligus menyimpan kesepian. “Saya … jarang berhenti untuk melihat hal seperti ini,” bisik Lily. Ethan menoleh, tatapannya jatuh pada profil wajah Lily yang diterangi cahaya oranye lembut. Ia terdiam, menahan kata-kata yang ingin keluar. Lalu, dengan suara yang lebih lirih dari biasanya, ia berkata, “Mungkin karena kamu terlalu sibuk menjaga diri.” Lily menelan ludah, jantungnya berdegup. Kata-kata itu seolah menyingkap sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. Ethan memang bukan pria biasa. Tatapannya tajam, bukan hanya pada angka-angka laporan, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya. Dan kali ini, tatapan itu seakan menembus dinding rapuh yang Lily bangun di sekeliling dirinya. Ethan merasakan keheningan yang berbeda. Bukan sekadar keheningan kantor yang sepi, tapi keheningan yang dipenuhi ketegangan halus. Ia sadar, ia sedang melangkah ke wilayah berbahaya: wilayah di mana seorang pria yang selama ini hidup dengan kontrol mutlak justru tergoda untuk melepaskan sedikit kendali. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ethan ingin melihat seseorang bukan sebagai pion dalam permainan bisnis, bukan pula sebagai simbol status sosial. Ia ingin melihat Lily—apa adanya. Namun Lily buru-buru mundur setengah langkah. Tangannya kembali sibuk merapikan berkas, seolah ia perlu menyibukkan diri agar tak terjebak terlalu jauh. “Saya harus pulang. Masih ada pekerjaan rumah,” katanya cepat. Ethan tidak menahan. Ia hanya menatapnya, lalu mengulum senyum samar yang nyaris tak terlihat. Ada sesuatu dalam dirinya yang tahu: waktu akan membawa gadis itu semakin dekat, dengan atau tanpa keinginannya. Lily berjalan ke arah pintu, langkahnya terburu-buru tapi tidak sepenuhnya yakin. Sesaat sebelum keluar, ia menoleh. Ethan masih berdiri di depan jendela, siluetnya menyatu dengan cahaya lampu kota yang mulai hidup. Dalam benak Lily, pria itu bukan lagi sekadar CEO dingin yang terkenal tak tersentuh. Ada sisi lain—sisi rapuh yang tersembunyi di balik ketegasan, yang membuatnya tampak lebih manusiawi. Dan entah mengapa, justru sisi itu yang membuat Lily ingin mengenalnya lebih jauh. Ketika pintu tertutup, Ethan masih berdiri mematung. Tangannya menekan permukaan kaca dingin, matanya menatap jauh ke lampu-lampu kota. Dalam refleksi, ia melihat bayangan dirinya: pria yang tampak kuat, tetapi dengan mata yang menyimpan lelah dan keraguan. Ia teringat Victoria, istrinya, yang mungkin malam ini sedang menghadiri pesta lain dengan gaun berbeda, dikelilingi pujian dan kilau kamera. Dunia Victoria adalah panggung. Dunia Ethan adalah medan perang. Dua dunia yang semakin lama semakin terpisah. Dan di tengah semua itu … ada Lily. Gadis muda yang tidak mengenakan berlian, tidak sibuk mencari sorotan, tapi justru mampu membuat Ethan berhenti sejenak, menatap senja, dan merasa hidup. Ia tertawa kecil, getir. “Apa yang sedang kulakukan?” pikirnya. Baginya, membiarkan perasaan sekecil apa pun tumbuh adalah kelemahan. Ia dibesarkan untuk menguasai, bukan untuk merasakan. Namun malam itu, di ruang kantor yang kosong, Ethan tahu satu hal dengan pasti: Lily telah menyalakan percikan yang tak bisa ia abaikan. Dan percikan kecil itu, cepat atau lambat, akan membesar menjadi api.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN