Aura yang Menggetarkan.

1089 Kata
Kantor sudah sepi. Suara tawa rekan kerja yang biasanya masih terdengar di koridor, kini menghilang satu per satu. Hanya tersisa deru AC dan bunyi jam dinding yang berdetak pelan. Ethan berdiri di depan kaca besar ruangannya, dasinya sudah ia longgarkan, kemejanya tidak lagi setegas tadi siang. Seharian penuh rapat membuat bahunya terasa berat, tapi pikirannya tidak benar-benar lelah. Justru, ia merasa ada sesuatu yang mengusik sejak pagi tadi: cara Lily berbicara dalam rapat, kalimatnya ringkas tapi jelas, tatapannya berusaha tenang meski jelas gugup. Ia jarang memperhatikan sekretaris barunya—biasanya semua staf hanyalah roda penggerak dalam sistem besar yang ia pimpin. Namun Lily berbeda. Ada ketulusan, ada kejujuran, dan yang lebih mengganggu, ada getaran lembut yang secara tak sadar menarik perhatian Ethan. Ketika ia keluar dari ruangannya, matanya langsung menemukan Lily. Gadis itu masih duduk di meja, merapikan dokumen dengan teliti. Jam sudah melewati pukul delapan malam. “Kamu belum pulang?” suara Ethan terdengar dalam, sedikit berat. Lily terlonjak kecil, buru-buru menutup map di hadapannya. “Ah … hampir selesai, Tuan Ethan.” Ia menoleh sepintas, menimbang. Dalam hati, ia tidak suka karyawannya lembur tanpa alasan mendesak—apalagi seorang wanita. Dunia bisnis terlalu kejam untuk membiarkan seseorang tenggelam di dalamnya hingga lupa waktu. “Sudah malam. Kau tidak seharusnya masih di sini.” Ethan mendekat, suaranya lebih lembut. Lily menelan ludah, berusaha tersenyum. “Saya hanya ingin memastikan laporan besok rapi.” Ethan memperhatikannya sejenak, lalu menghela napas. “Biar aku antar pulang.” Lily membelalak, nyaris kehilangan kata-kata. “Ah, tidak usah repot-repot—” “Aku tidak suka ada stafku lembur sendirian. Terlebih seorang wanita.” Suaranya tegas, nada yang tak memberi ruang untuk penolakan. Lily terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Ethan—dingin tapi juga protektif. Perlahan, ia mengangguk. “Baiklah … Ethan.” Nama itu kembali terucap, ragu tapi lembut. Dan entah mengapa, tiap kali mendengarnya dari bibir Lily, d**a Ethan terasa bergetar. Mereka berjalan berdampingan menuju lift. Koridor kantor gelap, hanya cahaya lampu darurat yang menyinari langkah mereka. Suara sepatu Ethan yang mantap kontras dengan langkah hati-hati Lily. Ketika pintu lift terbuka, mereka masuk. Hanya berdua. Udara di dalam lift terasa berbeda—terlalu sempit, terlalu dekat. Lily berdiri dengan tangan memegang tasnya erat-erat, matanya menatap angka digital di atas pintu. Ethan, meski tampak tenang, bisa merasakan keheningan yang sarat ketegangan. Lift bergerak turun. Angka di layar berkurang perlahan. Namun tiba-tiba— 'BRUK!' Lift berguncang hebat, lampu padam seketika. Lily menjerit kecil. “Ah!” Nafasnya terengah, tubuhnya gemetar. Kegelapan menelan ruangan sempit itu. “Tenang.” Ethan spontan mendekat, berusaha memastikan ia baik-baik saja. Namun Lily justru semakin panik. Suaranya pecah, bergetar. “Tidak … tidak … tolong … jangan gelap … jangan sempit begini …” Ethan menatapnya dalam gelap. Ia bisa merasakan tubuh Lily gemetar hebat. Panik. Phobia. Tanpa berpikir panjang, ia meraih bahunya, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Lily, lihat aku. Dengarkan aku. Kamu aman.” Namun Lily tetap terisak, tubuhnya kaku. Dalam momen itu, naluri Ethan menguasai dirinya. Ia menunduk, bibirnya menemukan bibir Lily. Ciuman itu bukan rencana. Bukan perhitungan. Itu adalah insting—cara paling cepat untuk meredakan kepanikan yang nyaris melumpuhkan gadis itu. Dan entah bagaimana, berhasil. Tangisan Lily mereda perlahan, terhenti oleh kehangatan tak terduga. Nafasnya yang memburu mulai mengikuti ritme Ethan. Waktu seakan berhenti. Dunia di luar lift, semua angka, rapat, target—lenyap. Hanya ada mereka berdua dalam ruang gelap itu. 'TING!' Lampu kembali menyala. Lift bergerak lagi, normal seolah tidak pernah ada masalah. Namun Lily tidak bergerak. Ia masih dalam dekapan Ethan, matanya membesar, wajahnya memanas. Bibirnya—masih merasakan jejak hangat ciuman barusan—bergetar tanpa suara. Ethan menatapnya, perlahan melepaskan genggamannya. Tapi matanya tak bisa berpaling. Ada keterkejutan, ada penyesalan samar, namun juga ada sesuatu yang lebih dalam—keinginan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. “Kamu baik-baik saja sekarang?” suaranya terdengar berat, hampir berbisik. Lily menunduk cepat, tidak menjawab. Tangannya mengepal pada tasnya, wajahnya merah, dadanya masih naik turun. Ethan menutup mata sejenak. Ia sadar apa yang baru saja ia lakukan. Batasan telah ia lewati. Ia, seorang Ethan Blackwell yang selalu menjaga kendali, baru saja kehilangan kendali dalam hitungan detik—karena seorang gadis bernama Lily. Dan parahnya, ia tidak menyesalinya. *** Beberapa security sudah berjaga di depan pintu lift lantai itu. Wajah mereka tegang, keringat menetes di pelipis meski ruangan ber-AC. Mereka tahu siapa yang ada di dalam—dan kalau lift macet, itu berarti CEO mereka ikut terjebak. Mereka sudah membayangkan bagaimana murka Ethan yang terkenal perfeksionis dan tak pernah toleran dengan kesalahan kecil. Seorang security bahkan menelan ludah gugup ketika lampu indikator lift akhirnya menyala kembali, menandakan pintu akan terbuka. Begitu pintu bergeser, semua menundukkan kepala dalam-dalam, siap menerima ledakan amarah. Namun yang terdengar bukan bentakan, melainkan suara Ethan yang tenang tapi dingin, “Panggil teknisi. Pastikan lift ini diperiksa malam ini juga, jangan sampai kejadian seperti ini terulang.” Nada suaranya tanpa amarah, tapi justru membuat semua security makin kaku. Mereka saling pandang sejenak, antara lega sekaligus terheran. CEO mereka benar-benar tidak marah. Di sisi lain, Lily menunduk sambil merapatkan tasnya ke d**a, berusaha menahan diri agar tidak terlihat gugup. Saat lift tiba di lobi, udara dingin malam langsung menerpa wajah mereka. Aroma hujan sisa siang tadi masih tercium samar. Lily melangkah cepat keluar, seolah ingin menjauh, melarikan diri dari situasi yang terlalu berat untuk dipahami. Namun baru beberapa langkah, suaranya Ethan memanggil, berat dan tak terbantahkan. “Lily.” Tubuh Lily seketika menegang, langkahnya terhenti. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menguatkan diri sebelum akhirnya menoleh perlahan. Tatapan Ethan menembus langsung padanya, membuat Lily tak bisa menyembunyikan detak jantungnya yang berdebar kencang. “Aku antar pulang.” Nada itu bukan tawaran. Itu keputusan. Lily berhenti sejenak, tubuhnya kaku. Ia tidak menoleh, tapi Ethan bisa melihat tangannya mengepal. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. Mereka melangkah menuju mobil Ethan yang terparkir. Sunyi. Tak ada kata yang terucap, hanya degup jantung yang masih bergaung dalam d**a masing-masing. Mesin mobil menyala, suara halusnya mengisi ruang hening di antara mereka. Ethan menoleh sebentar ke arahnya. “Di mana kamu tinggal?” tanyanya. Lily menyebutkan alamat apartemennya dengan suara hampir berbisik. Mobil meluncur keluar, meninggalkan gedung tinggi perusahaan yang masih menyala di balik kaca jendela. Sepanjang perjalanan, hanya ada keheningan yang menggantung. Lily sesekali menatap keluar, berusaha menenangkan dirinya, sementara Ethan fokus pada jalan, sesekali meliriknya dari sudut mata. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan apartemen sederhana milik Lily. Ethan tidak langsung berbicara, hanya menatap gedung itu sebentar sebelum mengalihkan pandangan pada gadis di sampingnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN