Matahari masih malu - malu untuk muncul ketika Devin dan Rezky keluar dari dalam masjid yang ada di dekat rumah mereka. Dengan begitu santai kedua nya berjalan ke arah pulang. Sambil bersembang dengan nyaman.
"Kapan, bakal balik ke Belanda ?" Tanya Devin.
Rezky menoleh padanya, ia menghela napas beratnya membuat Devin heran sendiri.
"Kenapa ?" Tanya Devin, dengan heran. Rezky menggeleng, ia malah memandang jauh ke depan. Membuat Devin yakin kalau sahabat nya itu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Lusa, gue balik kok. Minggu depan gue ada ujian " jawab Rezky akhirnya.
"Gak mau ketemu sama Dee ?" Tanya Devin, membuat Rezky menoleh padanya.
Cowok itu kemudian menggeleng kan kepalanya dengan pelan. Dan raut wajah yang menunjukkan ke senduan. Selalu saja, Rezky akan selalu berekspresi seperti itu jika sudah membahas tentang Deana Wardhana. Cinta pertama yang tidak pernah terajut walau ia tau, bahwa keduanya sama - sama saling mencintai.
Ia sama sekali tidak mengerti dengan sikap keduanya. Saling cinta, tapi malah tidak mau bersama. Aneh, yang satu gengsi nya luar biasa. Satu lagi, malah menunggu tanpa mau berusaha untuk berjuang.
"Ini udah tiga tahun lebih, lho " ujar Devin padanya.
Rezky hanya menoleh kemudian mengulum. Sahabat nya itu memandang ke atas langit, kemudian kembali kedepan.
"Kalau dia jodoh gue, dia pasti bakal kembali " ujar Rezky.
Devin mendengus malas, keduanya memasuki pekarangan rumah.
"Loe terlalu naif " gumam nya sambil berlalu.
Rezky hanya mengulum senyum, kemudian menggeleng kepala melihat Devin yang sudah lebih dulu masuk kedalam rumah.
Setelah menyembang sebentar dengan Mama mertua di dapur saat ia minum tadi, Devin langsung memutuskan untuk ke kamar.
Cklek
"Assalamualaikum " ucap Devin memberi salam.
"Waalaikumsalam " jawab Bilqis yang tengah berada di dalam.
Devin tersenyum lebar, ia menutup kembali pintu kamar dan kemudian melangkah mendekati Bilqis yang sedang memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper. "Ada yang kurang ?".
Bilqis menggeleng, ia berbalik menuju lemari untuk mengambil beberapa potong pakaian nya.
Namun, saat ia menarik pakaian nya yang terlipat tidak sengaja sebuah Amplop putih terjatuh.
Devin yang melihat itu langsung mengambil nya. Hampir bersamaan dengan Bilqis, tapi Devin lebih dulu mengambilnya. Mendadak raut muka gadis itu berubah. Ada kegelisahan di sana, juga ketakutan sendiri.
"Ini apa ?" Tanya Devin, dengan heran. Apalagi saat melihat raut wajah Bilqis yang berubah.
"Bu.bukan apa-apa kok. Itu cuma .."
"Boleh abang lihat ?" Tanya Devin.
Bilqis tidak langsung menjawab, ada perasaan khawatir dalam dirinya. Membuat Devin semakin penasaran dengan isi amplop putih tersebut. Namun, saat Bilqis mengangguk pelan, langsung saja Devin membuka nya.
"Bil, ini -" ucap Devin, tidak percaya saat melihat dan membaca isi kertas tersebut. Ia menoleh pada Bilqis dengan perasaan campur aduk.
"Bil, udah ambil keputusan. Kan? Jadi, gak ada penyesalan kok." Jawab Bilqis, kembali menyiapkan keperluan nya dan Devin.
Devin terdiam, ia memandangi Bilqis dengan rasa bersalah. Kembali ia membaca kertas tersebut.
Di sana jelas tertulis, kalau Bilqis mendapatkan beasiswa kuliah di Kairo, Mesir. Universitas Al-Azhar.
Mengapa ia sama sekali tidak tau ? Dan, kenapa Bilqis tidak cerita padanya ?
Tidak kah ia merasa egois dengan mengajak Bilqis menikah dengan nya, sementara gadis itu sudah memiliki rencana untuk masa depan nya sendiri.
Devin menelan ludah dengan berat. Ia duduk di tepi kasur dengan perasaan campur aduk.
Melihat itu, Bilqis menghela napas berat. Ia sudah menduga kalau akan seperti ini.
"Abang .."
"Kenapa kamu gak cerita ?" Tanya Devin, dengan perasaan sedih.
Bilqis ikut merasa bersalah sekarang. Ia berdiri di depan laki - laki yang sekarang sudah sah menjadi suami nya. Dan juga pemilik hati nya.
"Bil, udah bikin keputusan. Bil gak akan menyesal kok. Di Jakarta juga masih banyak universitas bagus, kan ?"
Devin menggeleng, ia beranjak dari duduk nya berjalan keluar balkon kamar. Merasa, dirinya sudah terlalu egois. Seandainya saja ia mau bersabar, pasti Bilqis akan mencapai mimpi nya.
"Maafin, aku. Aku emang terlalu egois. Tanpa, mikir ke inginan kamu, aku. Aku .. "
Bilqis menarik lengan Devin, membuat laki - laki itu menghadap nya dan memandangi nya. Ia tau apa yang saat ini di rasakan suaminya.
"Bang, Bil gak menyesal kok ngelepasin itu. Bil, udah mikir semuanya dengan baik. Sebelum menjawab lamaran kamu, aku sudah mempertimbangkan semuanya. -"
"Aku tau itu mimpi kamu, bisa kuliah di Mesir, masuk Al-Azhar. "
"Memang iya, tapi aku akan merasa egois kalau meminta Abang buat menunggu lebih lama lagi. Dan.. " Bilqis menjeda sejenak ucapannya membuat Devin menatapnya menunggu. "Dan,aku juga takut kalau kamu menyerah. Aku tau, menunggu tanpa kepastian itu menyakitkan. Seolah mencintai sendiri. "
"Bil -"
"Aku sayang sama Abang, aku mau bersama dengan kamu, Bang. Buat aku, kamu sudah menjadi lebih dari sekedar seorang Abang yang selama ini selalu menjaga dan melindungi ku. Enam tahun lebih, sudah cukup ngebuat aku yakin untuk mempercayai hidup ku sama kamu ".
Devin memandangi istrinya dengan mata berkaca. Ia tau semua ini sangat lah berat. Tapi, jika ia di suruh menunggu tiga tahun atau bahkan lebih. Apa dia masih bisa ?.
Atau tidak ada yang bisa menjamin, jika dalam penantian nya nanti, Bilqis tidak akan menemukan laki - laki lain yang lebih baik dari nya.
"Enam tahun, ini walau kita berjauhan. Kamu selalu ada buat, Bil. Masih selalu setia nungguin, Bil. Apa Abang masih mau nunggu, Bil, tiga atau empat tahun lagi ?" Ujar Bilqis, mengusap pipi suami nya. Kemudian ia maju selangkah, menyelipkan kedua tangan nya di sela lengan Devin. Memeluk laki - laki itu dengan nyaman. "Bil, juga gak mau kehilangan kamu. Bil, sayang dan cinta sama kamu. Kita gak tau masa depan. Bil, juga takut kalau suatu saat nanti Abang akan berpaling dan gak lagi mencintai atau menyayangi Bilqis ".
Devin tersentak sendiri mendengar ucapan gadis itu. Sedikit merenggangkan pelukkan mereka agar ia bisa memandangi wajah gadis nya. "Bil, mencintai Abang Devin ". lanjut Bilqis dengan malu - malu.
Devin memandangi nya begitu lekat, membuat pipi nya bersemu. Sehingga ia tidak lagi sanggup membalas tatapan Devin itu. Ia menunduk, berusaha untuk menyembunyikan rona kemerahan di wajah nya. Namun, Devin malah meraih dagunya, membuat ia harus kembali memandangi nya dengan senyuman manis kali ini.
"Bil, Abang gak bisa menjanjikan untuk selalu memberikan kebahagian dalam rumah tangga kita. Tapi, Abang janji akan selalu berusaha membuat kamu tidak akan menyesal menikah sama Aku. " Ujar Devin, dengan penuh keyakinan.
Bilqis tersenyum, " Makasih, ".
Devin mengangguk, pelan. Ia sedikit menunduk. Saat tatapan itu berubah menjadi sayu membuat Bilqis memejamkan kedua matanya. Membiarkan Devin, kembali mencium nya.
Kali ini,tanpa keraguan sedikit pun Devin mengulum bibir mungil tipis itu. Setelah semalam ia mencicipinya berkali - kali ia sama sekali tidak merasa bosan. Bahkan, membuat nya menjadi ketagihan. Ia memang tidak memiliki pengalaman untuk satu itu, tapi membiarkan hati yang menuntun mereka. Membuat semua mengalir begitu saja.
"Abang .." gumam Bilqis, dengan napas tersengal. Ketika ciuman mereka terlepas. Ia tersenyum memandangi suami nya yang setengah mati menahan diri. Membuatnya merasa kasihan. Tadi, malam juga begitu. "Kalau Abang mau.. Bil.. "
Devin menggeleng, ia mengulum senyum nya. Merapikan rambut halus istrinya.
"Abang udah janji kan, kalau mau ngelakuin itu saat bulan madu kita nanti. Tenang aja, Abang masih kuat kok " ujar Devin. Membuat Bilqis tersenyum haru. "Abang mau malam pertama kita, nanti di Raja Ampat."
"Tapi -"
"Tenang aja, istri ku. Lagian, aku gak yakin kamu bisa tidak berteriak sa- aduh" ia mengaduh, karena mendapat pukulan dari Bilqis. Namun, ia tertawa saat melihat muka Bilqis yang kesal tapi mukanya bersemu semakin parah.
"m***m, ih " keluh Bilqis, sambil berbalik kembali masuk kedalam kamar.
Ia memang tidak terbiasa dengan kata - kata frontal Devin. Selalu tidak nyaman, tapi sekarang ia merasa malu.
Bagaimana ia melakukannya nanti ?
Memikirkan itu, membuatnya sedikit takut.
©©©