- 8 -

1615 Kata
Sejak semalam Devin masih terus memikirkan kejadian kemarin siang. Terutama ia pasti merasa sangat bersalah pada Nayla. Ia sudah menjadi seorang laki-laki pecundang. Dan, tidak tau harus bagaimana cara ia menjelaskan pada Nayla tentang semua yang terjadi. Apa Nayla akan bisa mengerti? Apa gadis itu bisa memahaminya ?. Memikirkan itu membuat kepalanya akan pecah. Berulang kali ia menimang ponsel nya sejak semalam. Berniat untuk menghubungi Nayla. Tapi, ia ragu. Ia tidak yakin dengan situasi sekarang. Makanya, ia kemudian memutuskan untuk kembali meletakkan ponselnya dan memilih untuk tidur. Dan pagi-pagi sekali sehabis dari Masjid ia menerima tawaran Ayah mertuanya untuk jogging. Berlari mengelilingi kampung lumayan membuat kepalanya fresh. Mengobrol dengan sang mertua berhasil membuatnya lupa pada masalah kemarin. "Kita sebagai laki-laki itu harus tegas, jangan Plin plan. Jangan terlalu baik sama orang." Devin menoleh terkejut pada Ayahnya. Menatap beliau dengan gelisah. "Kenapa kamu?" Tanya Dika heran akan reaksi sang menantu. "Ke.kenapa ayah tiba-tiba ngomong gitu?." "Cuma mau ngasih pesan aja" jawab beliau kembali menikmati lontong sayur. Setelah lelah berlari, Ayah mertuanya itu mengajaknya untuk makan lontong sayur Bu Minah yang memang berjualan setiap pagi di area tempat tinggal mereka. "Rezky tuh, dia itu jadi laki-laki suka terlalu baik. Untung dia belum punya pasangan. Kalau punya pasangan bisa susah." "Kenapa begitu? Kan bagus Rezky baik." "Sekarang jadi orang baik itu susah. Suka ada orang yang manfaatin!. Belum lagi kalau baik sama perempuan. Mereka itu rata-rata suka baperan." "Pengalaman ya, Yah?". Tanya nya dengan cengiran badungnya. Dan ia tidak menyangka kalau Ayahnya itu mengangguk dengan jujur. "Intinya harus tegas aja. Jadi laki-laki harus punya prinsip dan tanggung jawab." Devin mengangguk saja, memikirkan kembali tentang kejadian kemarin. Memang masalahnya ada dirinya. Kalau saja ia tidak terlalu baik, terlalu ikut campur dalam hidupnya Nayla, atau tidak... Ia menghela napas sendiri memikirkan itu. Semua sudah terjadi dan ia tidak ada gunanya menyesali sekarang. "Kamu masih mau makan gak? Udah naik mataharinya tuh." Tanya Dika sedikit mengagetkan Devin yang memang sedang melamun. "Eh, udah Yah." Devin langsung menyapkan suapan terakhir bubur ayamnya kedalam mulut. Lalu menyesap minuman nya. Dika hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan menantunya. Kemudian memilih untuk membayar pesanan mereka sebelum kemudian keduanya pamit dan memutuskan untuk kembali ke rumah. *** Bilqis sedang memasukkan pakaian yang sudah ia gosok dan ia lipat kedalam lemari pakaian saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Ia menoleh dan melihat suaminya keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa memperdulikan Devin yang kini duduk di tepi tempat tidur. Huft Saat Devin menghela napas kasar, baru ia menoleh kembali. Dahinya langsung mengernyit dahi heran dengan sikap Devin yang seolah sedang menimang beban berat. "Abang, kenapa?" Tanyanya dengan lembut. Devin menggeleng kepala dengan lemah. Lalu melirik Bilqis yang sedang merapikan lemari bagian pakaian yang sengaja di gantung. "Masih mikirin masalah kemarin?". Tanya Bilqis lagi. Devin bukan nya menjawab malah menghela napas kasar lagi. Ia meletakkan handuk di atas kasur lalu beranjak bangun mendekati istrinya. Cup. Bilqis sudah mulai terbiasa dengan sikap genit suaminya. Jadi, tidak lagi kaget dengan Devin yang suka tiba-tiba menciumnya. Apalagi memeluknya seperti sekarang. "Aku berencana untuk ketemu sama Nayla siang nanti." Kata Devin pelan dan hati-hati. Dan hatinya semakin getir saat melihat pergerakkan istrinya terhenti. "Kamu mau kan temenin aku?." Istrinya tidak langsung menjawab, malah diam seolah tengah memikirkan sesuatu. "Biar nanti enggak ada salah paham lagi." "Apa, enggak apa-apa aku ikut?." Tanya Bilqis menoleh kebelakang padanya. "Ya gapapa lah, kan kamu istri aku." Jawab Devin. "Aku gak mau nanti kamu salah paham." "Aku percaya sama kamu, Bang." Jawab Bilqis menatap nya kini. Devin diam, memandangi istrinya dengan termenung. Kemudian tersenyum. Dia menggenggam tangan Bilqis dan kemudian menciumnya. "Sayang, setelah apa yang udah aku lakuin kamu masih percaya sama aku?." "Kenapa enggak? Abang enggak lakuin kesalahan apapun sama Bil. Waktu Abang jalan sama Kak Nayla, kita enggak ada ikatan apa-apa. Jadi, Bil gak berhak buat marah atau kecewa." Jelas Bilqis dengan penuh pengertian. "Tapi, kamu sayang sama abang. Kamu cinta kan sama Abang. Kamu percaya sama Abang, kalau Abang bakal selalu nungguin kamu balik." Jelas Devin lagi. "Bahkan Abang udah lamar kamu, kita lagi jalan ta'aruf waktu itu." Bilqis tersenyum gemas dengan reaksi suaminya yang terlihat begitu polos ketika mejelaskan semuanya. "Bang, Ta'aruf itu, bukan berarti kita punya ikatan. Abang masih bisa memilih." Devin menghela napas kasar dan frustasi dengan sifat istrinya yang begitu baik. Sampai membuatnya khawatir. "Kamu terlalu baik tau enggak, dek?. Kamu itu terlalu naif." Bilqis mengernyitkan dahi. "Abang enggak suka ih." "Kenapa?". "Nanti kamu mudah percaya sama orang. Enggak semua bisa di percaya, Bil." "Aku tau." "Tapi kamu jangan terlalu baik kayak gini. Kamu itu terlalu pengertian. Entar kalau nanti tiba-tiba ada orang datang terus minta suami kamu ini nikah lagi gimana? Masa kamu iya in aja. Nanti kalau -". Ucapan Devin terhenti karena Bilqis sudah menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Abang masih ingat kata-kata Ayah waktu ijab Kabul kan?.". Devin mengangguk. "Aku bukan penganut anti poligami. Tapi, aku enggak bakal sanggup buat berbagi suami. Aku bisa mentolerir yang lain. Kecuali pengkhianatan." Jelas Bilqis dengan nada begitu tegas. Devin sampai terdiam sendiri. Matanya berkedip-kedip mendengar nada tegas istrinya. Apalagi dengan raut galak Bilqis. Membuatnya langsung tersenyum kemudian. Ia menarik tangan Bilqis di mulutnya lalu tersenyum lebar. "Cinta banget ya sama aku?". Goda Devin. Bilqis mengernyit heran dan bingung. "Ternyata dibalik diam kamu, selama ini. Kamu-". "Apaan sih?" Kata Bilqis dengan muka mulai memerah. Devin semakin gemas dengan sikap istrinya. Ia langsung menarik Bilqis kedalam pelukkan. Membuat Bilqis kaget sendiri. "Abang.!." "Apa?". "Lepasin." "Kalau Abang gak mau." "Abanggg." Bilqis mulai merengek manja. Devin senyumnya semakin lebar. Ia bukannya melepaskan. Malah semakij mengeratkan pelukkan nya. Menatap istrinya dengan kerlingan menggoda. "Kamu kok makin cantik sih, tiap hari nya" kata Devin dengan senyum penuh makna. Matanya menatap setiap inci wajah istrinya yang tanpa riasan. "Buat Abang makin, makin makin makin cinta sama kamu." "Jadi Abang cinta sama Bil, karena cantiknya aja?." "Iya." Bilqis terkejut. "Abis kamu semuanya cantik sih. Semua yang ada sama diri kamu. Dan selalu bikin Abang nyaman dan tenang." Bilqis mendelik, berusaha melepaskan diri. Tapi Devin semakin suka menggoda. "Kamu itu, kayak air di tengah gurun pasir tau enggak buat Abang. Penyelamat." "Bang, lepasin dulu. Aku gak bisa napas." Kata Bilqis. Ia tidak menurut, hanya mengendurkan pelukkan. "Abang suka peluk kamu." Dia mulai merendahkan nada suaranya. Menunduk untuk semakin dekat dengan wajah istrinya. "Aku mencintai kamu, Bil". Ujar Devin pelan sebelum mencium bibirnya. Bilqis diam, tidak menolak. Ia membiarkan Devin menciumnya. Lalu dengan lambat laun, saat Devin mulai mengulum bibirnya ia mencoba untuk membalas. Ciuman itu penuh perasaan. "Kakak!. Diana udah siap nih! Jadi gak pergi " Seruan dari luar menghentikan ciuman mesra itu. Dengan napas tersengal, Bilqis menjatuhkan dahinya di d**a bidang suaminya. Devin mengulum senyum dan memeluk istrinya dengan nyaman. "Jadi!. Di tunggu di luar aja." Devin yang menjawab tanpa melepaskan pelukannya. "Bil-". "Aku juga cinta sama Bang Devin." *** Tepat pukul 4 sore, Devin menghentikan mobil di parkiran sebuah caffe yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-teman nya. Ia memutuskan untuk langsung turun dari dalam mobilnya. Setelah tadi berusaha menghubungi Nayla dan berakhir tidak ada jawaban. Ia juga sudah ke rumah gadis itu, namun Nayla juga sedang tidak ada di rumah karena satpamnya. Jadi, mengikuti insting ia memutuskan ke Cafee nya Timo. Berharap jika ia bisa menemui Nayla di sana. Baru saja ia akan membuka pintu cafe. Ia sudah di pertemukan dengan Abrar. Teman nya itu langsung mendorongnya keluar dari sana. "Mau ngapain Lo?!". Bentak Abrar setelah berhasil mendorongnya keluar. "Mau nyakitin Nayla lagi? Belum puas sama apa yang udah Lo lakuin?! b*****t!." Devin menghela beratnya, mencoba untuk tetap tenang dalam menghadapi emosi Abrar yang tiba-tiba itu. "Gue cuma mau ketemu Nayla, gue mau bicara sama dia." "Gak usah!. Mending Lo balik! Nayla juga enggak mau ngomong sama Lo!." Kata Abrar kembali mendorong nya dengan kasar. Devin diam sejenak, memandangi ke arah cafe. Sampai tiba-tiba ia memandangi ke lantai dua. Disana ia tidak sengaja melihat Nayla yang duduk di salah satu meja dekat dinding kaca. Dan Gadis itu tengah menatapnya. Selain Nayla, ada Ria juga yang menemani gadis itu. "Gue enggak habis fikir sama Lo! Kenapa Lo deketin Nayla-'. "Gue enggak deketin dia." Jawab Devin tegas. Abrar menatapnya tidak percaya. "Lo tau dia suka sama Lo! b*****t!." "Gue udah narik diri! Tapi kalian terus ngejodohin gue sama dia!. Gue udah coba nahan diri gue!." "Kenapa Lo gak jujur kalau Lo udah ada cewek!!". Devin menghembuskan napas kasarnya. Menatap sekitar yang memang bising karena letak cafe yang tepat di pinggir jalan raya. "Gue sama istri gue, enggak pacaran. Kita temenan. Tapi, gue punya perasaan sama istri gue udah sejak lama. Istri gue enggak mau pacaran, jadi gue gak bisa bilang kalau dia pacar gue". Jelas Devin lelah. "Lo di gantung sama tuh cewek?! Dan Lo masih berharap sama dia?! Bodoh!". "Cinta emang bodoh, kan?". Tanya Devin memicing matanya pada Abrar. "Sama kayak Lo yang terus cinta sama Nayla dalam diam. Dengan munafik seolah Lo dukung gue sama dia. Gue tau semuanya Brar." Abrar terdiam. "Lo yang minta gue buat tetap di samping dia!. Lo yang minta gue buat nemenin dia waktu orang tuanya pisah!." "Karena gue tau dia cuma cinta sama Lo! b*****t!". Bentak Abrar marah. "Lo enggak cinta sama dia." Abrar menatapnya semakin tajam. "Kalau Lo emang cinta, Lo enggak akan diam. Lo akan lakuin sesuatu supaya dia tau. Paling enggak Lo ngomong!. Tapi loe cuma diam.! Sembunyikan itu dalam ikatan persahabatan yang palsu." Abrar mengepalkan kedua tangannya. Menatap Devin dengan penuh kemarahan. Sedang Devin hanya menyunggingkan senyum remehnya. Kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan Abrar. Dia melangkah kembali menuju cafe untuk menemui Nayla. Dia datang hanya untuk minta maaf pada gadis itu. Bukan untuk ribut dengan Abrar. Atau menambah masalah lain dengan sahabatnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN