Seperti malam-malam sebelumnya. Sepulang kerja Reino selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah sakit di mana Senarita dirawat. Terhitung sudah seminggu wanita itu dirawat di sana dan kondisinya semakin membaik, meskipun ingatannya belum juga menemui titik temu.
Reino membawa langkah kakinya menuju ruangan di mana wanita yang sekarang menjadi tunangannya dengan ketidak sengajaan, atau lebih tepat demi kesehatan wanita itu. Membuka handel pintu dengan begitu pelan, takut-takut membangunkan wanita yang saat ini tengah terlelap dalam tidurnya di atas tempat tidur khusus pasien.
Langkah Reino semakin mendekat ke arah Senarita, dilihatnya wanita itu resah dalam tidurnya. Bahkan keringat pun keluar di sekitaran dahi wanita yang mempunyai paras begitu cantik. Membuat tangan Reino terulur ke depan lalu mengambiil tisu yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidur pasien guna mengelap keringat Senarita.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Rita. Kenapa selama satu minggu ini aku tidak bisa menemukan identitasmu sama sekali,” gumam Reino yang dengan telaten merawat wanita yang baru pertama kali ia kenal. Padahal pertemuan pertama mereka sangatlah tidak dalam keadaan yang baik. Wanita itu marah-marah pada dirinya yang tidak tahu apa salahnya.
Bibir pria bertubuh atletis dengan tinggi badan seratus delapan puluh dua, serta mempunyai jambang halus yang tumbuh di rahang tegasnya tersebut, tertarik ke atas ketika mengingat pertemuan mereka. Padahal waktu itu harusnya menjadi malam yang paling buruk dalam sejarah hidupnya, karena dikhianati oleh sang kekasih yang ternyata merupakan istri temannya sendiri. Namun, justru sebaliknya yang terjadi.
“Kamu memang wanita yang sangat unik, Rita,” gumamnya lagi sembari tangannya tidak henti mengusap keringat yang ada di kening wanita itu tanpa mengganggunya.
Ketika Reino ingin beranjak dari sana setelah selesai mengeringkan keringat dengan tisu, langkahnya terhenti karena tangannya tiba-tiba saja di cekal oleh Senarita. Lantas hal itu membuat Reino menghentikan langkahnya dan berbalik badan menatap Senarita yang ternyata masih dengan mata terpejam. Lalu Reino mendudukkan bokongnya di kursi tepat di samping ranjang pasien.
“Kenapa?” bisiknya dengan sengaja di dekat telinga Senarita. Berharap wanita itu mendengar dirinya dan membuka matanya segera. Keningnya berkerut ketika menangkap mimik wajah Senarita yang seperti menahan sebuah rasa sakit. Kembali, keringat itu keluar lagi dari tempat yang sama. Membuat Reino merasa heran dibuatnya.
“Rita … bangun. Kamu kenapa?” lirihnya sembari mengusap lengan atas wanita itu.
Sementara itu cengkeraman di tangan Reino semakin kuat diiringi keringat yang semakin banyak keluar dari tempat yang sama. Bahkan saat ini merambah ke leher wanita itu.
“Jangan pergi, Ibu. Jangan tinggalkan Sena,” racau Senarita yang semakin gelisah dalam tidurnya. Ia menggenggam erat tangan Reino dan ia bawa ke dekapannya, sampai-sampai membuat Reino harus membungkukkan badannya ke depan. Hingga kini wajahnya semaki dekat dengan wajah Senarita.
“Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Kamu tidurlah lagi,” ucap Reino dengan suara yang begitu lembut. Reino memberanikan diri untuk mengusap puncak kepala Senarita dengan tangan satunya yang bebas, guna memberikan sebuah kenyaman pada wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya tanpa terencana terlebih dulu.
Benar saja, wanita itu tidur kembali dengan menggenggam tangan Reino begitu eratnya, seolah takut jika lepas darinya. Sementara Reino dengan sabar menuruti kemauan Senarita, meskipun tubuhnya sebenarnya sangat letih sekali. Karena seharian ini dirinya melakukan pertinjauan di proyek secara langsung.
“Siapa Sena? Siapa kau sebenarnya?” lirih Reino sembari menatap wajah Senarita dari jarak yang sangat dekat. Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya, namun tak kunjung mendapatkan jawaban yang pasti. Mungkin Reino tidak akan pernah mendapatkan jawaban itu, selain dari mulut Senarita sendiri.
Rasa kantuk yang menderanya begitu hebat, membuat Reino tidak bisa bertahan lama dalam posisi jaganya. Pria itu lantas memejamkan mata dengan kepala yang tertumpu pada sisi ranjang sebelah Senarita. Sementara tangan yang satunya masih berada di atas tubuh Senarita.
Senarita mengerjapkan matanya pelan, lalu membukanya dengan sempurna. Ia merasa sedikit berat dibagian dadanya. Lantas wanita itu membawa matanya menuju bagian depan ttubuhnya. Betapa kaget dirinya ketika mendapati tangan Reino yang ada di atas tubuhnya dengan posisi tangannya lah yang menggenggamnya.
Tidak mau mengganggu tidur pria yang ia ketahui sebagai tunangannya, Senarita memindahkan tangan Reino di sisi ranjang dengan gerakan yang teramat pelan. Lalu Senarita memandang pria yang terlelap di sampingnya, sementara gurat kelelahan nampak begitu jelas di wajah pria berparas tampan dan juga meneduhkan tersebut.
Senarita memberanikan diri untuk mengusap pelan kepala Reino. Ia merasa kasihan pada pria itu yang selalu menyempatkan dirinya untuk menemaninya, padahal Senarita tahu, Reino juga kerja selama sseharian penuh.
“Kenapa enggak pulang saja, sih. Pasti lelah banget, kan?” omel Senarita sembari tangannya masih asik mengusap kepala Reino.
Meskipun mereka dibilang sudah bertunangan, entah mengapa Senarita tidak memiliki rasa ketertarikan sedikit pun pada pria yang kini selalu menemani dirinya di saat ia dalam keadaan seperti ini. Rasa kasihan lah yang lebih mendominan dirinya, karena pria itu mau tidak mau harus mengurus dirinya yang seolah tidak mempunyai keluarga.
“Harusnya kamu enggak usah memaksakan diri seperti ini, dan malah mengabaikan tubuhmu yang kelihatannya sangat lelah.” Senarita terus saja bergumam karena Reino mengabaikan kesehatannya demi menemani dirinya.
Sungguh miris sebenarnya hidup yang Senarita alami saat ini. Dirinya yang tidak bisa mengingat apapun mengenai keluarga maupun dirinya sendiri, malah tidak ada yang menemaninya dalam keadaan seperti sekarang ini selain pria yang merupakan tunangannya. Namun, anehnya ia tidak mengingat satu momen pun kebersamaan mereka meskipun Senarita memaksanya dan malah berakhir kepalanya yang terasa semakin pusing dan sakit.
“Kenapa enggak meninggalkan diriku sendirian saja, daripada harus membuatmu bersusah payah merawat orang yang tidak ingat dengan dirinya sendiri,” ada sebuah kegetiran di dalam hatinya. Ia hidup, namun tak lebih seperti mayat yang masih bernyawa. Karena tidak ada satu kepingan memorinya yang terlintas di kepalanya selain masa di mana dirinya membuka matanya dan sudah berada di sini dengan seorang pria bernama Reino.
Meskipun sudah berusaha menerima keadaannya dengan berlapang hati, akan tetapi tetap saja Senarita tidak bisa menerima sepenuhnya. Ia masih berusaha menanyakan pada seorang perawat yang mengurus dirinya selama Reino bekerja. Bertanya pada mereka, kenapa bisa dirinya ada di sini. Dan mereka menjawabnya dengan laporan yang ada. Bahwa Senarita mengalami kecelakaan tunggal, lalu mengalami hilang ingatan seperti sekarang.
Merasa ada sebuah usapan di atas kepalanya, Reino pun bangun dari tidurnya. Mengerjapkan matanya lalu menegakkan tubuhnya dan ia sedikit terperanjak ketika melihat Senarita sudah duduk begitu sempurna, sembari menatapnya penuh dengan senyuman yang begitu meneduhkan siapa saja yang melihatnya.
“Apa kamu butuh sesuatu?” tanya Reino. Pria itu sedikit menggerakkan tubuh bagian atasnya ke kanan dan ke kiri guna merenggangkan otot punggungnya yang terasa sakit akibat tidur dengan posisi yang salah.
Senarita menggeleng tanpa memudarkan senyumannya sedikit pun. “Kenapa enggak tidur di rumah saja?” tanya Senarita begitu lembut. Sebisa mungkin ia akan menghormati pria yang ada di depannya. “Pasti kamu sangat lelah, kan?” lagi, wanita yang Reino tahu begitu galak, kini menunjukkan sisi manis dan perhatiannya kepada dirinya.
“Sudah kewajibanku untuk menemanimu di sini,” jawab Reino singkat. Lalu pria itu berdiri, membuat Senarita bertanya di dalam hati. Apa yang akan dilakukan pria dengan wajah lelahnya itu.
Seolah tahu apa yang ada di kepala Senarita, Reino menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap wanita yang kini juga menatap dirinya dengan pakaian khusus pasien rumah sakit ini.
“Aku akan menemui dokter. Karena kau sudah dibolehkan keluar sebenarnya hari ini. Tapi aku malah tenggelam pada pekerjaanku,” jelas Reino yang semakin membuat wajah Senarita menatapnya bingung. “Kenapa? Takut sendirian lagi?” tanya Reino menangkap sebuah ketidak relaan dari wajah lawan bicaranya.
“Enggak, bukan itu maksudku,” jawab Senarita sembari menggelengkan kepalanya. “Tapi inikan sudah malam. Mereka pasti juga sudah istirahat. Apa enggak sebaiknya besok saja?” tanya Senarita berusaha menahan tawanya. Karena lelah, pria itu sampai lupa waktu.
Reino yang baru sadar jika sekarang malam sudah semakin larut, pria itu hanya menggaruk tengkuk kepalanya, guna mengusir rasa malu yang tiba-tiba saja menyerang dirinya. Lantas kemudian pria itu melangkah mendekat ke ranjang Senarita kembali.
“Istirahatlah, kamu pasti masih merasa lelah,” ucap Senarita yang mendapat anggukan dari Reino. “Sini,” ajaknya kemudian sembari menepuk sisi ranjangnya yang masih muat untuk di tempati oleh satu orang. Karena memang ruangan ini merupakan ruangan VVIP, dan juga ranjang pasien ukurannya lebih besar dari ranjang pasien yang lainnya.
“Maksudnya?” tanya Reino menatap tidak mengerti dengan apa yang di maksud oleh Senarita. Sementara dirinya sekarang ini duduk di tempatnya semual. Sebuah kursi tunggal yang sangat tidak nyaman jika diduduki terlalu lama.
“Bukankah katamu kita ini tunangan? Berarti kita sudah sering menghabiskan waktu bersama, bukan?” tanya Senarita menatap gelagat aneh pada Reino. Jika memang mereka beneran tunangan, kenapa reaksi Reino kaget seperti itu hanya ia suruh untuk tidur di sampingnya. Hanya tidur. Tidak melakukan hal yang lainnya. Bukankah itu hal yang wajar? Terlebih lagi keadaan Reino yang memang sangat lelah. Mana tega Senarita membiarkan Reino tidur dengan posisi duduk seperti sebelumnya.
“Tapi kita tidak pernah bersentuhan melewati hal yang wajar,” balas Reino. Bukannya menolak, ia pria yang normal. Takut-takut jika dirinya nanti melakukan hal diluar batasannya.
“Kita hanya berbagi tempat tidur saja, Mas. Siapa yang menyuruhmu untuk melewati batasmu?” tanya Senarita balik. Sepertinya tunangannya ini salah mengartikan maksud kalimatnya. “Aku hanya tidak ingin pinggangmu sakit dan besok tidak bisa berangkat kerja. Hanya itu saja,” jelas Senarita kemudian. “Atau aku saja yang tidur di sofa kecil itu?” tawar Senarita yang bersiap untuk turun dari ranjang pasirn, namun dicegah segera oleh Reino.
“Enggak! Kita berbagi tempat tidur ini saja, daripada kamu yang tidur di sofa. Nanti malah nggak sembuh-sembuh luka di kepalamu itu,” tidak menunggu sanggahan Senarita, pria itu langsung melepas sepatunya dan kemudian naik ke sisi ranjang yang kosong lalu merebahkan tubuhnya di sana.
Senarita menahan senyumnya ketika melihat kewaspadaan Reino yang tampak terpancar begitu jelas di wajahnya. Ia merasa geli sendiri. Seharusnya dirinyalah yang berada di posisi itu, bukan malah sebaliknya yang seolah saat ini Senarita ialah pemangsa buas. Tidak mau mengulur waktu istirahat mereka, wanita itu pun juga ikut merebahkan tubuhnya di sisi lainnya. Tentu saja masih ada jarak di antara mereka dan mereka mulai memejamkan mata.
Namun, tidak bagi Reino. Dengan susah payah pria itu mengatur deru napasnya agar tidak memburu seperti hewan buas yang siap melancarkan aksinya untuk memburu mangsanya.
Ini wanita kenapa tidak ada waspadanya, ya? Sangat beda sekali pada saat pertama bertemu. Padahal kan aku juga pria yang normal. Reino hanya bisa ngedumel di dalam hatinya, sembari mengatur napasnya agar kembali normal dan menenangkan bagian dirinya yang lain.