Episode 6

1341 Kata
Dan pada akhirnya Abimanyu lah yang mengantarkan Senja mengajar keesokan paginya. Bayangkan saja, dari jam enam pagi Abi sudah ngetem di depan rumahnya. Mau marah juga bagaimana, karena ini memang rumahnya. Di sepanjang perjalanan, Senja terus menekuk mukanya. Ia kesal karena terus diintili oleh Abi. Senja baru bereaksi saat Abi tiba-tiba mengambil rute yang berbeda dari yang seharusnya. "Lho... lho... Mas, kita mau ke mana ini? Perasaan kalau mau ke tempat Senja mengajar, nggak lewat sini deh, Mas. Mas nggak salah jalan?" "Lho mana Mas tahu lokasi kamu mengajar itu di mana? Orang kamu nggak bilang. Karena kamu diam saja dari tadi, Mas pikir kali aja kamu mau ikut Mas ke kantor karena rindu banget dengan Mas." Abi menjawab santai. "Kalau nggak tahu ya tanya dong Mas. Itu punya mulut buat apa coba?" Senja rasanya pengen banget ngegetok kepala Abi dengan dongkrak mobil. "Selain buat nyium kamu maksudnya? Ya buat makan, minum dan ngobrol seperti inilah. Apa Mas salah? Atau kamu mau nambahin lagi beberapa fungsi lainnya?" Abi lagi-lagi menggoda Senja. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bersenda gurau dengan mantan istrinya ini. Sementara Senja, mendengar candaan garing Abi menatap mantan suaminya ini skeptis.  Abi adalah type orang yang sangat kaku dan bertempramen tinggi. Ia jarang sekali berkelakar.  Karena menurutnya terlalu banyak lelucon itu menghilangkan wibawa. Abi tidak seperti dirinya hari ini. Setiba di sekolah, Senja cepat-cepat turun. Ia tidak mau dipergoki oleh murid-murid atau rekan-rekannya turun dari mobil mewah Abi. Senja adalah typical orang yang tidak suka diobrak-abrik kehidupan pribadinya. Baginya tugasnya di sini adalah sebagai seorang guru. Yaitu mendidik dan mengajar muridnya dengan sebaik-baiknya dengan segenap ilmu yang dia punya. Titik. Kehidupan pribadinya adalah miliknya sendiri. Baru saja ayunan kakinya masuk selangkah ke ruang guru, dia sudah disambut oleh suitan cie cie dari beberapa staff pengajar yang tiba lebih dulu. Ternyata ada beberapa rekannya yang tadi sempat memergokinya turun dari mobil mewah dengan supir yang kualitas super premium juga. "Duh  Bu Senja pantesan aja waktu disodorin babang Sabda yang tamvan rupawan menggoda iman anteng-anteng aja. Rupanya udah punya babang tamvan lain di hatinya. Kenalin dong sama kita-kita, Bu. Kali aja ntar dikenalin juga sama temen-temen yang sekualitas dirinya." Bu Zahra salah seorang rekan seprofesinya mulai menggoda Senja yang hanya tersenyum saja digoda oleh rekan-rekannya. "Just for your information, he is my oldest brother, sista. Bukan pacar saya. Jelas pemirsa?" jawab Senja santai. Dan lagi lagi, jawabannya hanya direspon cie... cie. Mereka semua membuat ekspresi tidak percaya. Senja merasa pagi ini dirinya akan masuk bulletin siang dalam dunia pergosipan di kantor sekolah. Setelah berbasa basi sejenak, bell pun berbunyi. Senja keluar dari kantor guru. Bersiap-bersiap untuk mengajar. Brukkk!!! "Aduh!" Senja mengaduh kecil. Ia merasa keningnya kepentok tembok, eh tembok manusia tepatnya. Karena berjalan sambil melamun, ternyata Senja menabrak bahu Revan, yang bermaksud masuk ke kelas. "Ibu kenapa? Duh kepala Ibu nyium bahu saya ya? Makanya kalau jalan jangan sambil ngelamunin saya dong Bu? 'Kan kepentok jadinya." Revan si murid rasa guru,  memijat kepala Senja yang sedikit memerah. "Kamu ini ya? Tidak ada sopan-sopannya sama guru sendiri." Senja menepis tangan Revan. "Lho saya tidak sopan di bagian mananya pada Ibu coba?" Revan menjinjitkan alis tebalnya, menantang kata-kata Senja. "Lha itu, Kamu anak kecil malah berani mengelus-elus kening saya sebagai orang yang lebih tua. Bukannya itu termasuk dalam kategori tidak sopan?" "Ya dilihat dari sudut mana dulu dulu dong, Bu. Misalnya nih, ada seorang ibu yang sudah katakanlah sepuh, tiba-tiba saja kepalanya pusing, terus jatuh dan kepalanya kepentok odong-odong. Nah Kang Odong-odongnya yang kebetulan abege pasti akan berinisiatif menolong. Karena kepala si Ibu sepuh tadi benjol, maka si anak abege menolong dengan cara membalurkan minyak gosok ke kepala si ibu sepuh. Pertanyaannya, apakah itu juga bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak so—" "Sudah! Saya sudah paham kamu mau ngomong kearah mana sebenarnya. Saya sedang tidak mood  membahas analogi ngawur kamu." Dan Senja pun langsung pergi meninggalkan murid edannya dengan langkah lebar-lebar. Murid-murid sekarang pintar sekali memutar balik keadaan. Sementara dibalik pilar, Sabda berusaha menahan tawa melihat kelakuan menggemaskan adik dari adik iparnya tersebut. "Eeeehh... ada Bu Senja. Saya boleh minta pendapat Ibu sedikit tidak Bu?" Miss Citra, guru bahasa inggris yang centilnya terkenal sejagat sekolah tiba-tiba saja menghadang langkahnya. "Ya, ada apa, Miss?" "Begini, Bu Senja. Menurut Ibu lebih ganteng yang mana antara Pak Sabda dengan kakak sulungnya Bu Senja tadi? Jawab dengan jujur ya, Bu?" Miss Citra mengedip-ngedipkan bulu mata palsunya yang selentik desy bebek. Astaghfirullah. Allahu Akbar!Ternyata pertanyaan unfaedah seperti ini yang ingin ditanyakan. "Nggak bisa disamainlah, Bu. Mereka 'kan dua individu yang berbeda. Jadi tidak bisa dipukul rata." Senja menjawab ogah-ogahan. "Wajah mereka berdua mirip apa Bu?" Miss Citra belum mau menyerah juga sebelum mendapat pencerahan dari Senja. "Karena saya ini guru di bidang studi matematika, saya akan menjawab sesuai dengan keahlian bidang studi saya. Menurut saya, Pak Sabda itu mirip trapesium. Sedangkan kakak sulung saya mirip jajaran genjang. Permisi." Kali ini Senja tidak lagi berjalan lebar-lebar menuju kelasnya. Ia sudah setengah  berlari. Ia takut kembali ditanya-tanya tentang hal-hal yang unfaedah lagi. Dan kali ini Sabda tidak tahan untuk tidak menyemburkan tawa gelinya, saat melihat Senja setengah berlari meninggalkan Miss Citra yang mendadak bengong di tempat. Sementara Miss Citra yang ditinggalkan bingung sendiri. Karena setahunya, bentuk wajah orang itu kalau tidak oval, ya bulat telur, atau malah persegi. Penampakan wajah model trapesium dan jajaran genjang itu tidak bisa ia bayangkan sama sekali. =================== Waktu menunjukkan pukul pukul empat sore lebih tigapuluh menit, saat Senja keluar dari gedung sekolah. Dia memang sengaja mengulur-ulur waktu untuk pulang ke rumah mertuanya, yang sekarang harus diakuinya sebagai rumah orang tuanya. Setelah mendapatkan driver gojek, dari aplikasi ponselnya, Senja pun segera meluncur pulang menuju rumahnya. Baru saja berkendara sekitar lima menit, Senja dikejutkan oleh dua kelompok anak-anak SMU yang sedang tawuran. Mata tajam Senja pun segera menangkap beberapa wajah yang begitu familiar, yang sedang terlibat baku hantam dan lempar-lemparan dengan anak SMU tetangga. "Stop! Stop di sini saja, Pak." "Kenapa berhenti di sini, Bu? Bahaya. Anak-anak SMU ini pada tawuran, Bu!" Si driver gojek tetap keukeuh tidak mau berhenti di tengah-tengah situasi yang kacau balau. "Justru itu, Pak. Mereka itu siswa-siswa saya. Saya sebagai guru mereka bertanggung jawab untuk melindungi mereka semua." Setelah membayar ongkos sesuai tarif awal pemesanan, Senja pun mulai berlari kencang menuju area tawuran. Ia melihat siswa-siswanya tampak mulai kewalahan karena jumlah massa yang tidak berimbang. Salah seorang dari murid-muridnya menoleh. "Astaga, Bu Senja. Ngapain Ibu ke sini?" Revan tampak begitu kesal melihat Senja yang langsung terjun di tengah-tengah situasi yang memanas. Mereka tengah lempar-lemparan batu. "Mau ngajarin kamu Trigonometri! Ya, mau bantuin kamu lah. Pakai nanya lagi?" cetus Senja. "Ck! Bikin susah saja." Walaupun Revan mengucapkan kata-kata itu cukup pelan bahkan nyaris berbisik, tetapi Senja masih bisa mendengarnya. "Dasar murid tidak tahu terima kasih! Dibantuin malah ngedumel nggak jelas." Senja sambil dengan refleks mendorong tubuh Revan saat sebuah lemparan batu mengarah tepat pada kepalanya. "Lihat nih! Ini gunanya saya di sini. Coba tadi kamu tidak saya dorong. Sudah innalilahi kali kamu ditimpuk batu seperti gilingan cabe gedenya yang dilempar ke arah ka—" "Awas Bu!" Senja ditarik kuat kearah samping oleh Revan, saat tiba-tiba saja mereka dikelilingi kelompok kecil dari musuh mereka. Kemeja putih Senja sampai robek karena kuatnya tarikan tangan Revan, saat tongkat bisbol lawan tadi nyaris menghantam kepalanya. Suara sirene polisi yang tiba di tempat kejadian membuat Senja menarik nafas lega, tetapi malah membuat Revan memaki kasar. Sejurus kenudian satu persatu siswa yang ikut tawuran dari kedua kubu dinaikkan ke mobil polisi. Ketika tiba gilirannya dan Revan, salah satu petugas itu mengomel. "Kamu ini anak perempuan masih saja sempat-sempatnya ikut tawuran seperti ini hah? Mau jadi apa kamu kalau masih sekolah saja kerjanya cuma tawuran seperti ini? Saya tidak tahu bagaimana reaksi guru-guru kamu nanti saat mendapati murid perempuannya ikut-ikutan tawuran seperti ini." Petugas itu menaikkan Senja ke mobilnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaan Senja. Mukanya cemong-cemong dan baju yang robek cukup lebar. Heh, itu bapak polisi tidak tahu saja kalau guru yang dia sebut-sebut itu sebenarnya ada di mari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN