Episode 7

1351 Kata
Setibanya di kantor polisi, mereka semua dikumpulkan pada satu ruangan yang cukup besar. Tetapi karena jumlah mereka yang sangat banyak, ruangan itu menjadi sesak. Dengan banyaknya jumlah manusia dan berkuranganya pasokan O2,  ruangan sekarang rasanya memerlukan tambahan oksigen. Baru sebentar begini aja di kantor polisi, Senja sudah merasa sesak nafas. Apa kabar yang di penjara seumur hidup ya? "Aduhhh!" Senja kesakitan, saat secara tidak sengaja bahunya bersinggungan dengan siswa SMA lawan yang sedang mencoba meregangkan tubuhnya. "Maaf ya, Sis. Gue nggak sengaja. Habisnya sempit banget nih ruangan. Pegel semua badan gue nggak digerakin daritadi." Seorang remaja belia seumuran Revan, meminta maaf singkat sembari kembali memiringkan badannya ke kiri. Ruangan ini semakin lama rasanya semakin mirip dengan ruangan sauna. "Hati-hati lo, Nyet! Niat banget sih lo nempel-nempel kalo liat yang beningan dikit?" Revan mengomel. "Fiz, kita tuker posisi aja. Bu Sen biar diujung tembok aja, biar nggak kesenggol-senggol sama ini tikus sawah." Revan kemudian menempatkan Senja diujung tembok. Kemudian dia duduk tepat di sebelahnya. Memisahkan ketua gang sekolah tetangga, Cakra dengan Senja. Senja melirik sekilas wajah datar Cakra saat Revan memprovokasinya. Tapi sepertinya Cakra sama sekali tidak terprovokasi. Dia hanya duduk diam dengan ekspresi wajah bosan. Bagaimanalah type manusia setengah bisu begini bisa menjadi biang onar di sekolahnya? "Sebenarnya ada masalah apa sih di antara kalian  sampai pada tawuran begini? Kalau pun memang ada masalah, bukankah lebih baik dicari solusi bersama? Win win solution gitu. Apa nggak bisa? Zaman aja bisa berubah sesuai era. Masa kalian semua masih pada tawuran aja," tukas Senja. Sebagai seorang guru ia ingin menasehati para generasi muda. "Lo siapa, pake nasehatin gue segala? Kayak diri lo udah bener aja. Kalo lo emang anak baik-baik nggak mungkin juga kan lo ikutan ketangkul di sini barengan kita semua?" decih Cakra sinis. Bujubune kutukupret! Beneran minta ditampol bacotnya ini anak kecil! "Eh, dengar ya kamu tepung Cakra Kembar. Saya ini guru di Bina Bangsa Jaya. Saya tadi ada ditengah-tengah arena pertempuran, demi menyelamatkan anak didik saya yang kalian keroyok tadi. Faham?" Senja memelototi Cakra. Tidak ada sopan-sopannya ini bocah. "Guru?" Cakra menatapnya skeptis. Kagak yakin gue kalo lo gurunya si kadal buntung ini. Coba gue lihat wajah lo yang ngaku-ngaku jadi guru." Dengan santai Cakra memegang dagu Senja. Kemudian ia memiringkannya ke kanan dan ke kiri. "Nggak ada pantes-pantesnya gue lihat." Senja menepis kasar tangan Cakra, yang diikuti dengan ayunan kepalan tangan Raven ke arah wajah Cakra. "Lo itu yang nggak ada sopan-sopannya ya sama guru gue, b*****t!" "Udah! Udahhh! Kalian ini di kantor polisi aja masih aja berantem. Mau nih malam ini kita semua menginap di sini jadi santapan nyamuk. Mau?!" amuk Senja. Cakra dan Revan diam dengan wajah masam. Sejurus kemudian terdengar suara-suara canda tawa dari beberapa orang, dan juga suara hentakan kaki khas polisi. Wajah Senja memucat seketika, saat menyadari ada Irjen Elang Pramudya di antara para polisi gagah yang sedang berjalan kearah tempat mereka ditahan. Senja sengaja menunduk saat langkah-langkah itu tiba di depannya. "Ini semua para pelajar yang ikut dalam tawuran tadi sore ya?" tanya Elang pada salah satu anggota polisi yang sedang bertugas di sana. "Benar Komandan! Siap Komandan!" sahut anggota polisi itu dengan lantang. Senja pun semakin menundukkan wajahnya. Ia juga berupaya menyembunyikan tubuh mungilnya di belakang punggung Revan. Dia sangat malu dipergoki sebagai salah seorang peserta tawuran. "Eh kamu anak perempuan juga ikut-ikutan tawuran? Tidak malu kamu?" Elang membentaknya. Senja tetap bungkam. "Dan kalian semua di sini, apa tidak terbersit sedikitpun di benak kalian, bagaimana kecewanya para orang tua kalian yang mencari nafkah siang malam  membiayai sekolah kalian? Tapi apa yang kalian semua lakukan? Malah tawuran dijalanan! Kalian tahu, kalian bukan hanya melukai orang lain atau diri kalian sendiri karena saling serang. Tetapi juga meresahkan masyarakat. Merusak fasilitas-fasilitas umum yang sudah dengan susah payah dibangun oleh pemerintah melalui devisa negara. Devisa negara itu didapat dari pembayaran pajak yang dibayarkan oleh orang-orang tua kalian juga. Yang mana artinya, itu sama saja dengan kalian sudah merusak apa yang sudah orang tua bangun dengan susah payah! Mengerti!" Suasana di ruangan pun menjadi hening seketika. Senja yang nota bene adalah seorang guru, juga turut gentar mendengar kemarahan Elang. "Mengapa kalian semua tidak menjawab? Apa kalian semua yang ada di sini menjadi bisu mendadak?" "Tidak Pakkk!" Suara koor pun menyahuti pertanyaan Elang Pramudya. "Kamu yang anak perempuan, coba maju ke depan sini?" Mampus gue, batin Senja. "Kamu selain bisu apa tuli juga?" Senja sampai meringis ngeri mendengar nada seram Elang. Dengan perlahan dia berjalan ke depan menghadap Elang. Tangan kanannya terus saja berusaha menaikkan robekan baju di bahunya yang terus saja melorot turun. "Dia tidak tahu apa-apa, Pak. Dia cuma ada di saat yang tidak tepat dan terjebak di tengah-tengah kekacauanan. Kalau Bapak ingin mencari tahu sebab musabab tawuran, Bapak silahkan mengintrogasi saya atau si Breng- eh Cakra Wisesa, Pak." Revan langsung berdiri dan mendorong Senja ke belakang tubuhnya. "Saya tidak butuh nasehat kamu!" Elang makin naik darah melihat Revan yang terus saja berusaha mengintervensi perintahnya. "Udah, Revan. Biar ibu coba jelaskan kronologis kejadiannya dengan Bapak Polisi ini." Senja berbisik pelan ke telinga Revan. Revan pun akhirnya diam dan duduk kembali di lantai. Tetapi matanya menatap penuh amarah pada Elang yang terus saja membentak-bentak Senja. "Senjahari! Ini kamu yang ngekost di rumah ibu saya kemarin kan? Yang membawa ibu saya ke rumah sakit? Bagaimana ceritanya kamu malah ikut tawuran dengan anak-anak SMU ini?" cetus Elang bingung. "Ehmmm... begini ceritanya, Pak. Saya ini guru mereka di sekolah Bina Bangsa Jaya. Sewaktu mereka sedang tawuran, saya mencoba menghentikannya, sebelum akhirnya dihentikan oleh bapak-bapak polisi yang sedang bertugas tadi." Senja menjawab tegas. Ia harus membela murid-muridnya bukan? Elang menarik nafas panjang. Bingung melihat kesemerawutan ini. "Kamu sudah menghubungi penjamin atau pengacaramu? Kalau tidak, nanti kamu bisa bermalam di sini, Nja." Peringatan Elang menyadarkan Senja, akan konsekuensinya ditahan di sini. Setelah berulang-ulang kali menarik nafas panjang, Senja pun akhirnya menghubungi ponsel Abimanyu. Abi langsung mengangkat teleponnya dalam bada pertama. Syukurlah. "Ya, Senja. Ada apa kamu menelepon Mas? Kamu baik-baik saja kan? Atau... ada sesuatu yang sedang terjadi, Nja? Sebelum menjawab, Senja menarik napas panjang terlebih dahulu. Radar Abi memang sensitif. Sedari bayi merah sampai dewasa selalu bersama, dan pernah menjadi suaminya selama beberapa bulan, pasti menjadikan Abi  faham akan sifatnya. Jika tidak terjadi sesuatu hal yang fatal, pasti dirinya tidak akan pernah meminta bantuan Abi. Radarnya Abi sudah mulai mencium ada sesuatu hal yang tidak beres padanya. "Ka--kalau Mas ada waktu luang, Mas bisa tolong ke kantor polisi nggak, Mas?Senja ditahan di sini Mas. Da--dan Senja butuh penjamin, so--" "Kamu WA alamatnya sekarang juga. Mas akan langsung bergerak ke sana!" Saat Senja baru saja mengetikkan alamat via WA, saat tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Seorang pria dewasa rupawan berusia sekitar akhir empat puluhan memasuki ruangan sambil menatap tajam Cakra. Sementara yang ditatap cuma melengos saja. "Ini terakhir kalinya Papa mau mengurus kamu di kantor polisi untuk masalah unfaedah seperti ini ya, Cakra! Besok-besok kalau kamu berulah lagi, Papa akan biarkan kamu membusuk di penjara, kalau kamu memang niat sekali ingin merasakan tinggal di sel penjara. Ayo pulang!" Senja kaget mendengar bentakan papa Cakra. Serem banget! Nggak Bapak, nggak anak, itu ekspresi mukanya pada nggak ngenakin banget. Cakra tetap bungkam. Ia tidak membalas sesuku katapun kalimat ayahnya. Tapi matanya tampak membangkang saat sekilas menatap wajah ayahnya. Senja yakin suasana di rumah mereka pasti panas seperti sedang tinggal di negara apinya avatar. Sekonyong-konyong papa Cakra menatapnya, yang saat itu juga tengah menatap papa Cakra. Senja merasa laki-laki itu tampak sedikit terkejut menatapnya. Mungkin dia berpikir Senja adalah anak nakal yang hobby tawuran juga. Saat mereka saling berpandangan, entah kenapa suasana jadi berubah magis. Senja seolah-olah bisa merasakan waktu seakan terhenti. Tatapan laki-laki itu tampak melembut dan Senja pun merasa jantungnya berdebar-debar. Dia seperti terhipnotis. "Baju kamu robek, ini pakai saja jaket saya." Papa Cakra membuka jaket military armynya dan kemudian menghampiri Senja yang sedang duduk di lantai. Ia memakaikan jaket itu di bahu mungilnya. "Kamu itu anak perempuan. Jangan suka ikut tawuran. Nanti ayahmu jantungan. Saya pulang dulu. Permisi." Dia mengelus pelan puncak kepala Senja. Dan anehnya Senja menerima perlakuan itu dengan... senang!Astagaaaa dia bertingkah seperti abg labil sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN