Mulai Menyusun Rencana Dan Berubah

1011 Kata
Suara burung berkicau di luar jendela adalah satu-satunya musik yang menemani kesunyian kamar. Lexa—atau lebih tepatnya, jiwa Rebecca yang kini menghuni tubuh ini—berdiri di depan cermin panjang, menatap bayangan asing yang memantul. Tubuh ini bukan miliknya, tapi dia yang sekarang memegang kendali penuh. "Loco," ujarnya suatu pagi, suara sengaja dibuat lemah dan rapuh. "Aku butuh waktu seminggu. Untuk sendirian." Loco, yang baru saja masuk ke kamarnya langsung menatapnya. Matanya yang tajam menyelidik. "Sendirian? Kenapa?" "Untuk ... memproses semuanya," jawab Lexa, menunduk. "Aku merasa seperti orang asing di tubuhku sendiri. Di rumah sendiri. Bahkan di kulitku sendiri." Dia mengangkat lengan, menunjukkan tato-tato gelap yang membelit. "Ini semua terasa ... aneh." Loco mendekat, wajahnya berkerut. Dia ingin memprotes, ingin mengatakan bahwa dia butuh berada di dekatnya, bahwa dia khawatir. Tapi ada kerapuhan di mata Lexa yang membuatnya mengurungkan niatnya. "Satu minggu," kata Loco akhirnya, suaranya berat. "Tapi kau harus tetap dilayani pelayan dan minum obat." Lexa mengangguk, rasa lega menyembul di dadanya. "Terima kasih." Loco kemudian berbalik pergi, sejak awal menikah, mereka memang tak pernah satu kamar dan bagi Lexa atau Rebecca itu cukup aneh, tapi dia cukup lega dengan hal itu karena tak perlu sering bertemu Loco nantinya. * * Begitu Loco pergi, meninggalkan mansion dalam kesunyian yang lebih pekat, Lexa segera bergerak. Target pertamanya adalah walk-in closet sebesar kamar tidur biasa. Dia membuka pintu lebar-lebar. Di depannya terbentang koleksi pakaian yang kontras dengannya dan mengganggu penglihatannya. Sisi kiri dipenuhi gaun-gaun hitam, kulit, dan logam—gaya yang keras dan seksi, mencerminkan Lexa asli yang lama. Sisi kanan, yang jarang tersentuh, berisi gaun-gaun yang mungkin hanya dipakai untuk acara tertentu. Tanpa berpikir lagi, Lexa meraih keranjang laundry besar dan mulai membongkar. Setiap pakaian tanpa terkecuali, dilemparkan ke dalam keranjang. Dia tidak sekadar membereskan, dia membersihkan. Seperti menyiangi racun dari hidupnya yang baru. "Selamat tinggal, The Old Lexa," bisiknya sambil melemparkan sepasang sepatu boots berhak tinggi dengan paku-paku logam. Setelah lemari pakaian kosong, dia beralih ke meja rias. Di sana, dia menemukan tumpukan makeup dengan warna-warna berani—lipstik ungu tua, eyeshadow hijau metalik, segala sesuatu yang bertolak belakang dengan selera Rebecca yang menyukai nuansa natural dan earth tone. Semua itu masuk ke dalam kantong sampah besar. Proses ini melelahkan secara emosional. Setiap barang yang dibuang adalah pengingat akan kehidupan yang tidak dia inginkan, seorang wanita yang tidak dia inginkan. Tapi di balik kelelahan itu, ada kebebasan. * * Keesokan harinya, dengan bantuan seorang pelayan pribadi yang diperintahkan Loco untuk menemaninya, Lexa memulai pembelian besar-besaran. Dia memilih blus sutra warna pastel, rok A-line, cardigan lembut, dan dress floral yang mengingatkannya pada gaya yang selalu dia tampilkan saat masih menjadi Rebecca. Dia memilih sepatu yang nyaman dan elegan, bukan sepatu yang menyiksa seperti yang disukai Lexa lama. Saat paket-paket mulai tiba, perasaan aneh menyergapnya. Ini bukan sekadar mengganti pakaian, ini adalah pernyataan diri sebagai identitas barunya. Setiap helai kain yang dia gunakan adalah penegasan bahwa Rebecca masih ada, bahwa seleranya, preferensinya, masih bernyawa di dalam tubuh Lexa. Tapi tantangan terbesar masih menantinya, yaitu tato. Tubuh Lexa dipenuhi tato—ukiran naga di punggung, kalajengking di paha, rangkaian tulisan Gothic di lengan. Bagi Rebecca, ini adalah penodaan pada tubuhnya. Dia merasa tato-tato ini adalah grafiti yang merusak kesucian tubuhnya. Dia menghubungi klinik tato terbaik yang bisa dia temukan dan akhirnya pergi ke klinik itu dengan pelayan pribadinya. Loco tahu hal itu karena anak buahnya mengikutinya dengan ketat. Tapi Loco pikir Lexa hanya ingin menambah tatonya seperti biasa, bukan malah menghapusnya. Proses penghapusan tato sangat menyakitkan. Sinar laser yang membakar kulit terasa seperti pisau panas yang mengirisnya berkali-kali. Dia menggigit bibir hingga berdarah, menahan tangis. Tapi setiap rasa sakit itu dia terima dengan sukacita. Ini adalah penyucian dirinya. Setiap tato yang memudar adalah langkah menjauh dari Lexa yang lama. Di cermin klinik, dia melihat perubahan perlahan. Kulit yang semula penuh cerita gelap kini kembali polos, meski masih merah dan meradang. Dia tersenyum melalui air mata kesakitan. Ini adalah tubuh barunya. Tubuh yang akan dia ciptakan sesuai dengan citra Rebecca. Lalu dia menelepon Loco setelah dia berada di mobil. “Aku ... butuh waktu lebih lama." Loco menjawab dari seberang telepon. "Lebih lama? Tapi—" "Aku mulai mengingat beberapa hal," bohong Lexa. "Tapi semuanya masih berantakan. Aku butuh waktu untuk ... menyatukan diriku yang baru." Nadanya memohon. "Seberapa pun kau menyukai Lexa yang dulu, aku bukan dia lagi. Aku butuh membangun diriku dari nol. Beri aku waktu sebulan." "Apa kau benar-benar tidak ingin menjadi dirimu yang dulu?" tanya Loco, suaranya berat. "Apakah kau hanya menyukaiku karena penampilanku yang dulu?" balas Lexa. Pertanyaan itu membuat Loco terdiam. Akhirnya, dengan napas berat, dia mengangguk. "Baiklah … Sebulan.” * * Bulan berikutnya adalah periode ketenangan dan penemuan diri yang benar-benar baru. Lexa tidak hanya mengubah penampilan luar, tapi juga kebiasaan. Dia meminta perpustakaan pribadi di mansion yang berisi buku-buku sastra klasik dan seni—sesuatu yang tidak pernah diminati Lexa lama. Dia selalu memasak makanan sehat, menggantikan kebiasaan minum alkohol dan makan junk food pada Lexa sebelumnya. Setiap pagi, dia berlatih yoga dan meditasi, mencoba menyelaraskan tubuh dan jiwa yang terasa masih asing baginya. Dia bahkan mengubah dekorasi kamarnya—mengganti poster gothic dengan lukisan pemandangan, menukar seprai hitam dengan warna krem yang menenangkan. Proses penghapusan tato terus berlanjut. Setiap sesi adalah siksaan baginya, tapi juga pembebasan. Di depan cermin, dia melihat tubuhnya perlahan berubah. Bekas tato yang memudar seperti luka lama yang sembuh, meninggalkan kulit yang bersih dan baru. Di waktu sore, dia berdiri di depan cermin panjang setelah sesi penghapusan tato terakhir. Tubuhnya hampir bersih dari tato-tato yang dulu mendefinisikan Lexa Ferraro. Dia mengenakan blus putih sederhana dan rok pendek. Wajahnya tanpa makeup, menampilkan kecantikan alami yang dulu selalu disembunyikan Lexa di balik riasan tebal. Dia tidak lagi melihat orang asing di cermin. Kini, yang dia lihat adalah versi baru dari dirinya—Rebecca dalam wujud fisik yang berbeda. Jiwa dan tubuh mulai bersatu, menciptakan identitas hybrid, Lexa dengan jiwa Rebecca. “Aku akan mencintai dan merawat tubuhmu, Lexa,” gumamnya berbisik pada cermin yang memantulkan dirinya. (JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAAAAK)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN